83. Istana Merdeka

1.7K 616 65
                                    

Selesai sudah tugas mereka. Tidak ada kesalahan gerakan, posisi atau kelebihan langkah sedikitpun. Semua mulus, terkendali.

Di aula berukuran dua puluh meter persegi ini mereka semua dijamu dengan cara istimewa. Sejumlah enam puluh delapan orang diperlakukan bak prajurit gagah berani usai menunaikan kewajiban.

Mereka adalah bagian dari putra putri terbaik bangsa, yang sejak dini mengabdikan diri mengemban tugas untuk NKRI.

Tidak ada yang mau ketinggalan momen ini. Semua wajah bahagia, berseri-seri, tidak ada yang memasang wajah kusut.

Satu dua dari mereka mengobrol kecil, ada yang tertawa bareng. Ada yang senda gurau layaknya sahabat karib.

Galan dan Tania bercakap sendiri. Mereka tengah membicarakan apa yang akan terjadi sepulangnya mereka. Apakah sekolah akan menyambut dengan meriah? Apa justru tidak ada.

"Ehem," Iqbal berdeham. Sengaja sekali. "Hei, aku lihat sejak tadi kalian hanya mengobrol berdua saja," Iqbal kembali menggoda. Matanya memincing jail.

Galan memperbaiki posisi duduknya. Jangan sampai temannya satu ini merusak suasana. Cukup kemarin saja, kali ini jangan.

Ia kemudian pundak Iqbal, berbisik pelan. "Hei, anak kecil tidak boleh tahu."

Iqbal memangut-mangut, memonyongkan bibirnya. "Bilang saja kalau kalian sudah lama pacaran."

Spontan tangan Galan menutup mulut Iqbal. Seruan 'Ciee' langsung menguap. Ternyata sejak tadi banyak memperhatikan. Galan langsung salah tingkah. Ingin sekali menjitak manusia usil satu ini. Satu dua orang tertawa terpingkal-pingkal. Diikuti oleh seluruh anggota lainnya.

Tania hanya menggaruk leher belakang. Mencoba setenang mungkin. Perlu kalian ketahui, selama Diklat ada satu peraturan yang wajib ditaati oleh mereka. Peraturan itu ialah, 'tidak boleh suka satu sama lain, tidak boleh pacaran' dari peraturan itulah kenapa banyak yang suka satu sama lain tapi mereka tahan.

"Anak-anak, waktunya pulang ..." Sekejab tawa mereka lenyap. Entah dari mana asalnya—seorang perempuan berjilbab coklat datang berseru. Siapa lagi kalau bukan, Bu Susi.

"Yahhh ...."

Seketika keluhan merebak di langit ruangan.

Berbulan-bulan mereka bersama, dari latihan bersama, makan bersama, yel-yel bersama, nyanyi bersama. Semua itu mereka rasakan bersama.

Perjuangan yang paling mengesankan ini akan menjadi cerita, akan menjadi sejarah, dan akan menjadi kenangan yang pastinya tidak akan pernah terlupakan.

Getir rasanya. Dari tampangnya, pelatih bisa menilai bahwa mereka tampak keberatan jika harus berpisah saat ini juga.

Galan dan Iqbal saling pandang, satu menit yang lalu mereka usil, saling ejek, ketawa bareng dan sekarang mereka harus segera berpisah. Pulang ke rumahnya masing-masing. Pulang ke sekolah masing-masing.

Mereka akan merindukan pertemuan seperti ini, perkumpulan yang hangat seperti ini. Dan yang pasti, pengalaman seperti ini.

"Kalian masih betah di sini?" tanya Bu Susi setengah berseru setelah melihat wajah mereka kusut bak lap lantai.

"Betah, Bu!" Teriak mereka serempak. Memang tak bisa dipungkiri, kehidupan di sini memang menyenangkan—meskipun setiap pagi harus bangun jam 03:45. Latihan berjam-jam, itu tidak membuat mereka jengah.

Mengingat perpisahan akan segera datang. Keadaan tiba-tiba hening. Wajah-wajah mereka terlipat. Ada yang merangkul erat teman-temannya tak mau berpisah. Ada yang sudah berpamitan sambil berlinangan air mata. Ada pula yang hanya datar—terutama laki-laki, mereka tidak mau menangis—mereka pantang untuk menangis. Itu memalukan.

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Where stories live. Discover now