24. Private School

1.4K 676 29
                                    

Jika ada typo tolong kasih tahu, ya.

***

Hujan siang ini membuat Galan tidak bisa bekerja ke laundrey seperti biasa. Ia tidak mungkin nekat hujan-hujanan hanya karena sebuah pekerjaan.

Seumpama pekerjaan ini resmi, tentu saja Galan akan tetap berangkat. Namun, pekerjaan ini 'kan bukan pekerjaan resmi. Lagi pula Bu Ita juga pasti bisa mengerti keadaannya. Jadi tidak perlu dikhawatirkan.

Galan tengah berdiam diri di sudut kamar kecilnya. Terbenam di antara remang-remang cahaya. Bukan sedang melamun, akan tetapi—membaca.

Guyuran hujan membuat dirinya terkurung—tidak bisa kemana-mana. Jadi ia putuskan untuk membaca.

Seluruh waktunya ia habiskan untuk membuka buku-buku kumuh yang diambilnya saat masih menjadi pemulung. Tidak ada buku baru, semuanya buku bekas.

Sebagian besar buku yang disortir Galan bukan sembarang buku. Ia juga memilah yang sekiranya cocok untuk di pelajari---selebihnya akan dibawanya ke pengepul.

Kini Galan duduk manis di samping jendela kecil kamarnya yang berukuran tiga puluh senti persegi. Membuka lembaran bukunya, menghempaskan tanah-tanah yang menempel di sana.

Cahaya jendela ini tidak lebih dari secercah sinar kecil yang remang-remang.

"Lan!"

Tiba-tiba Rino masuk tanpa salam, sambil membawa sebuah buku di tangannya.

"Ada apa?" tanya Galan saat Rino beringsut duduk di sebelahnya.

Rino tersenyum malu. Galan bingung, bukannya dijawab—malah senyum-senyum tidak jelas.

"Ajarin aku ... Al-jabar," Rino meringis, menjawabnya dengan malu.

Galan mengernyitkan dahinya, bukankah itu pelajaran SMP?

Ia menghentikan bacaannya, menutupnya dengan malas.

"Itukan pelajaran anak kelas dua SMP, masa iya belum paham," ujar Galan.

Ia beranjak melangkah---mencari buku di dalam lemarinya.

"Yeah, kau tahu kan---otakku ini tidak sepintar otakmu."

"Jika saja otakku ini cerdas, mungkin aku tidak berada di kelas IPS," tambah Rino.

"Mentang-mentang kelas IPS di-cap bodoh? Tidak juga. Anak IPA yang kurang cerdas juga banyak. Pembagian kelas bukan dari pintar-bodohnya anak, tapi—lebih condong kemana anak itu." Galan menyangkal perspektif Rino tentang anak IPA. Rino salah besar jika kelas IPA adalah sekumpulan anak pintar. Buktinya, lihat Yuri di kelas? Trigonometri saja dia susah menangkapnya.

Rino terus mengeluarkan bukti kalau anak IPA itu pintar. Namun, Galan tidak menanggapi, ia masih sibuk mencari buku tentang Al-jabar.

Karena merasa tidak digubris, akhirnya Rino diam. Sembari menunggu Galan, ia memandangi foto-foto Presiden Habibie yang tertempel di dinding papan kamar Galan.

Test ... Test ...

Rino mendongak. Sepintas, netranya menemukan celah air hujan yang menerobos masuk lewat atap yang bocor.

Ini bukan pertama kalinya ia masuk ke sini. Rino sering, bahkan hampir setiap hari dirinya masuk ke kamar kedap udara ini. Jadi ia tidaklah kaget.

Setelah mendapatkan buku yang dicarinya, Galan kembali duduk di sebelah Rino.

Namun, saat ia duduk---Rino justru beranjak berdiri.

Tiga puluh detik Galan menunggui Rino. Tetapi, tetap saja Rino masih berdiri.

"Ini orang!" Galan menggerutu dalam hati. Kesal. Bukannya langsung belajar, malah disuruh menunggu.

"Hei, jadi tidak!" Galan berseru, mendengkus. Ia sudah kelewat kesal.

Rino yang tengah mengamati hujan, mengomentari jendela kecil tiga puluh sentinya.

"Kenapa tidak kau besarkan saja jendelanya," ujar Rino. Dia seperti tidak tahu kalau Galan habis berseru kesal. "Ini terlalu kecil, jadi cahaya yang masuk hanya remang-remang," lanjutnya.

"Sudahlah! Kau mau belajar atau tidak?!" Galan berseru lagi. "Kalau tidak, aku mengembalikan buku ini ke lemari!"

Mendengar itu Rino langsung membalikkan badannya, sambil tersenyum tanpa dosa. "Baiklah, sory, sory."  Baru kali ini Rino mendengar Galan berseru mau marah.

Galan membuka bukunya tepat di lembar bertuliskan 'Al-jabar' di bagian atas halaman.

"Kita mulai dari penemunya." Galan menunjuk satu bagian yang menjelaskan penemu Al-jabar.

Al-jabar sendiri tidak lain adalah nama yang diambil dari nama penemunya, yaitu Ajabar Al-khawarizmi.

"Kita patut bangga sebagai orang Islam, karena salah satu peradaban matematika dunia---pernah ditemukan oleh kaum kita."

Galan menerangkan sedetail-detailnya mulai dari penemunya, tahun ditemukannya, hingga yang paling dasar ilmu tentang Al-jabar semua ia uraikan.

Jika paham, Rino akan mengangguk-angguk. Akan tetapi, jika belum---dia pasti menggeleng.

Pembelajaran ini seperti halnya sekolah privat---hanya saja bukan guru yang sudah mahir yang menjadi pengajar. Melainkan Galan. Meski begitu, Galan juga tidak kalah pintar.

Gemuruh air hujan berbunyi di atap sana. Terdengar jelas—namun, tidak mempengaruhi kefokusan pikiran mereka.

Di luar, sudah sangat jarang pemuda-pemudi seperti mereka berdua. Bahkan, anak kecil pun sekarang---jarang yang mau belajar sendiri di rumah.

Hampir seluruh generasi seolah tengah dilanda penyakit dalam bentuk yang lebih canggih.

Boleh dikata, game hanya alat penghibur---tetapi tujuan yang sebenarnya lebih dari itu.

Dilihat dari sisi negatifnya lebih besar pengaruhnya ketimbang nilai positifnya.

Barangkali jika Galan dan Rino punya handphone, kemungkinan besar mereka juga akan meninggalkan buku-buku ini dan memilih bermain game online seperti anak lainnya.

***

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Where stories live. Discover now