49. Malapetaka besar

1.1K 552 6
                                    

Latihan telah beranjak menjadi satu bulan. Wajah-wajah mereka semakin bersemangat. Tidak lama lagi latihan ini usai. Jika sudah selesai, resmilah mereka menjadi anggota Paskibra sekolah.

Satu minggu yang lalu, kabar gembira merebak di seluruh penjuru sekolah. Delapan siswa yang mewakili OSN telah kembali, membawa sederet penghargaan. Dan yang paling membanggakan adalah menyabet juara umum lagi.

Foto-foto mereka ketika mengangkat tropi kemenangan dipajang di Mading Sekolah. Juga diabadikan di museum sekolah.

Perlu kalian ketahui, sekolah ini punya museum tersendiri. Didirikan satu tahun yang lalu, saat Galan masih duduk di kelas X IPA. Isinya pun belum begitu banyak—berkisar sembilan puluh piala, piagam dan beberapa medali.

Sepulangnya mereka, topik tentang OSN menjadi bahan pembicaraan super hangat di seantero dunia persekolahan.

Dan tentu saja bukan hanya di dalam sekolah. Bahkan, di seluruh dunia pendidikan Indonesia—Nama-nama mereka sedang menjadi buah bibir.

"Ah, pasti menyenangkan jika namaku tercantum diantara salah satu dari mereka." Galan bergumam pelan. Membayangkan jika namanya menjadi salah satu bagian dari mereka.

"Jangan bilang kalau kau menyesal karena meninggalkan Olimpiade itu," timpal Rino yang berdiri di sebelahnya.

Galan mengernyitkan bibir, merasa tersindir.

"Ayo pulang. Ini sudah sore. Keburu magrib." Rino menarik lengan Galan agar segera menyingkir dari kaca Mading. Semakin cepat mereka menjauh, semakin cepat pula Galan melupakan OSN itu.

"Eh, aku baru sadar jika sepatumu baru." Rino terkejut mendapati sepatu baru Galan.

"Ini sudah lama," ujar Galan. Mereka menyusuri selasar kelas, menuju gerbang keluar.

"Sejak kapan?"

"Hampir satu bulan ini. Ya, setelah kejadian itu," jelas Galan. "Apa kau benar-benar tidak tahu?" Dia tidak yakin kalau Rino baru tahu, pasalnya sepatu ini sudah hampir satu bulan dipakainya.

Rino menggeleng. Dia sungguh tidak tahu. Katanya, setelah itu ia tidak memperhatikan lagi sepatu Galan.

"Jadi, saat sepatu itu rusak, ayah langsung membelikanmu sepatu baru?" tanya Rino.

"Tidak." Galan menggeleng. "Ayah bahkan tidak tahu kalau sepatuku rusak."

Alis Rino berkerut. "Lantas, sepatu itu dari mana? Kau punya uang sendiri, atau ..."

"Jangan berburuk sangka dulu," Sergah Galan. "Aku memang tidak punya uang—tapi aku tidak mencuri. Sepatu ini pemberian orang."

"Dari orang? Siapa?" Rino mendesak ingin tahu.

"Entah, aku juga tidak tahu sepatu ini darimana. Satu bulan yang lalu, ada yang mengirimiku paket berupa kotak hitam. Misterius. Pengirimnya tidak memberitahukan namanya. Tukang pos juga tidak tahu, dia hanya memberitahu kalau tidak salah pengirimnya empat ornag pemuda seusiaku. Aku menebak Raka, Agat, Dito dan Oscar. Tapi setelah kutanyai—mereka berempat hanya menggeleng, katanya bukan mereka."

Sepanjang jalan Galan menceritakan malam itu. Dari makan malam bersama keluarga, lalu mencoba menjahit sepatu, yang mana Galan mematahkan tiga jarum dalam waktu lima menit—Rino tertawa ketika mendengar cerita itu—jelas saja patah, orang itu jarum kain, bukan sol sepatu.

Galan juga menceritakan saat menerima kotak itu, awalnya dia bingung mau ngomong apa. Seumur hidupnya, tidak pernah dia menerima paket.

Cepat-cepat Galan membukanya, dan yang ternyata isinya—sepatu baru. Ia senang bukan kepalang malam itu. Dia juga memberi alasan kenapa menebak empat orang itu pengirimnya. Rino mengangguk, ia setuju dengan tebakan Galan empat orang pemuda itu—siapa lagi kalau bukan Raka, Agat, Dito, dan Oscar. Itu pasti mereka, hanya saja mereka tidak mau mengakuinya.

***

Waktu melesat dengan cepat, satu bulan kemudian, sekolah kembali digegerkan dengan berita baru. Berita yang tidak begitu enak didengarkan meletus dilangit Sekolah.

Pencalonan OSIS tahun ini tidak seperti tahun lalu, pencalonan OSIS tahun ini sangat mengecewakan.

Berminggu-minggu poster pendafataran OSIS dipajang di pagar sekolah, mading, sampai di setiap kelas ada. Tapi, tidak lebih dari tontonan.

Semua guru dan anggota OSIS yang akan tutup buku tahun ini—bolak balik mengadakan rapat---membahas pergantian OSIS.

Tetapi, tetap saja---hanya satu orang yang mengajukan diri untuk menjadi ketua OSIS. Dan orang itu adalah Rey.

Entah, apa yang membuatnya ingin sekali menjadi ketua OSIS. Yang anehnya lagi, dari ratusan jumlah siswa/siswi yang berdomisili di sini---tidak ada yang mengajukan menjadi ketua OSIS, selain si berandalan itu. Seperti ada yang konspirasi besar di balik semua ini.

Adanya Rey dalam pencalonan OSIS adalah malapetaka besar untuk sekolah. Isu itu telah menjalar, tidak bisa ditutup-tutupi.

Pak Gun—Sang Kepala Sekolah, tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Ia sedang kebingungan mencari penantang Rey di pemilu OSIS tahun ini, jangan sampai anak itu yang terpilih. Jika berandalan itu yang terpilih, entah jadi seperti apa sekolah yang dipegangnya saat ini.

Pak Gun sampai menggigit bibir saking pusingnya memikirkan hal semacam ini. Apa perlu dia turun tangan membujuk yang lain agar ikut OSIS? Itu tidak mungkin. Pak Gun menelan ludah, berita ini hampir dua bulan—dan belum ada perubahan. Bisa-bisanya masalah sepele jadi malapetaka besar.

Pencalonan OSIS tahun ini sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika tahun sebelumnya para siswa/siswi sangat antusias  mencalonkan dirinya. Kali ini, boro-boro antusias bahkan—sepi, sunyi, seperti tidak ada kehidupan.

Padahal, sekolah ini terkenal dengan anak-anak yang rajin dan bersemangat.

Sedari tadi Pak Gun mondar mandir menunggu Ferdy di ruangannya. Ia ingin membicarakan hal ini lebih serius lagi---lantaran beberapa hari lagi pemilihan OSIS akan segera diadakan.

"Aku harus segera mengumpulkan mereka." Pak Gun bergumam.

Satu menit menunggu dengan sabar, Ferdy akhirnya datang.

"Akhirnya kau datang juga." Pak Gun beranjak duduk di kursinya. "Duduk." Pak Gun menyuruh Ferdy duduk tatap muka.

"Jadi bagaimana? Ada perkembangan?" Pak Gun yang sudah tidak sabaran, langsung to the poin.

"Belum ada Pak. Saya sudah mengusahakan, seluruh poster sudah tersebar di setiap kelas. Semua orang juga sudah saya ajak—tapi belum ada kabar yang mau mencalonkan diri." papar Ferdy.

"Setelah saya tanya-tanya kepada mereka, kebanyakan dari mereka menjawab, 'Saya tidak ingin jadi OSIS' itulah jawabannya."

Pak Gun diam sejenak, berfikir.

"Kumpulkan seluruh murid kelas sebelas malam ini." perintah Kepala Sekolah itu. Dia tidak akan mengulur waktu lagi.

"Kenapa malam hari, Pak?" Ferdy tidak mengerti maksud Pak Gun.

"Ikuti saja perintahku!" tegas Pak Gun. Air mukanya gusar, menunjukan kebuntuan pikiran.

"Siap, Pak."

Ferdy beranjak berdiri, pamit.

"Eh, tunggu dulu. Tunggu dulu." Pak Gun menghentikan langkahnya.

"Jangan biarkan Rey---yang menjadi Ketua OSIS tahun ini. Bicarakan baik-baik kepada mereka yang sekiranya punya andil penting dalam sekolah."

Ferdy mengangguk, bergegas keluar dari ruangan kepala sekolah.

Pak Gun menghela napas panjang. Memijat dahinya sendiri. "Kenapa jadi serumit ini?"

***

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Where stories live. Discover now