39. The legend of Moskov

1.2K 614 34
                                    

Keberuntungan akan selalu berpihak pada orang yang berusaha untuk memperbaiki dirinya. Begitulah kata orang tua zaman dahulu. Dan perumpamaan itu yang tengah terjadi pada Galan.

Caranya meninggalkan Olimpiade demi Organisasi, telah banyak membuat para seniornya kagum. Bahwa kesetiaannya pada Sang Pusaka tidak boleh diragukan lagi.

Walaupun sebetulnya Olimpiade itu sudah jauh-jauh hari ia impikan. Tapi, pada kenyataannya—Galan tetap memilih kesetiaan daripada sebuah identitas.

Tidak mengapa, tidak mendapat label Sang Juara—yang pasti, tetap merah putih di dalam dada. Dan tak tergantikan.

Seperti kata penulis legendaris Tere-liye, "hanya kesetiaan pada prinsiplah, yang akan memanggil kesetiaan terbaik."

Dan kali ini Galan sudah membuktikan kesetiaannya itu.

Usai menjalani hukuman. Jika kalian mengira Galan akan terkapar kehausan, kalian salah. Justru nasib baik selalu memihak dirinya.

Ada tiga nasib baik yang Galan terima usai menyelesaikan hukuman. Yang pertama, dia tidak jadi dikeluarkan oleh Rangkas. Dalam artian bisa dimaafkan. Yang kedua, saat kehausan menyekik kerongkongan—Tanpa dipinta—spontan teman-temannya bergegas membeli air minum, memberikannya kepada Galan.

Sungguh pemandangan yang jarang sekali terjadi. Tania, Raka, Agat, Oscar dan Dito—kelima kawanan itu memberikan botol minum secara bersamaan. Membuat dirinya bingung mau memilih yang mana dulu. Alangkah indah persahabatan mereka. Tidak pandang bulu antara si kaya dengan si miskin. Sama-sama membantu.

Keberuntungan yang terakhir, belum selesai pembelajaran sekolah—Raka sudah lebih dulu menawarkan tumpangan mobilnya.

Dan sekarang—Galan sudah di dalam mobil, bersama Rino, dan Oscar yang duduk di sebelahnya.

Galan melamun. Keinginan untuk meraih predikat sebagai Sang Juara telah musnah. Ada sedikit kecewa yang menggantung di hatinya. Lantaran kesempatan itu tidak akan terulang lagi.

Galan menghembuskan napas berat. Masih berandai-andai jika dia menang.

Buru-buru Galan menggeleng. Bukankah semua ini adalah keputusannya? Mau bagaimana lagi? Dia harus segera mengubur semua mimpi-mimpi itu.

"Sudahlah. Sampai kapan kau akan mengingat Olimpiade itu?" Oscar membangunkan lamunannya. "Ayolah, jika kau termenung terus—kau jadi terlihat seperti perem--"

"Berhentilah bergurau! Leluconmu itu tidak lucu!" Galan melengos, suasana hatinya sedang tidak baik.

"Oke. Baiklah Danton. Maafkan aku." Oscar meminta maaf sambil cengengesan.

Oscar memperbaiki posisi duduknya. Meraih handphone di saku celana. "Kau mau mencoba game ini?" Oscar menjulurkan handphone nya.

Galan menggeleng kecil. "Tidak, aku tidak bisa main game." Galan menolaknya. Jangankan main game, membuka layar handphone saja—mungkin dia tidak tahu.

"Baiklah. Kalau kau tidak tidak mau." Oscar membuka layar handphone, lalu memainkan game kesukaannya itu.

"Yakin, tidak mau mencoba?" Oscar memincingkan mata—kembali menawarkan handphone-nya. Galan hanya diam.

"Rino, kau mau mencoba?" Oscar beralih ke Rino.

Sama halnya dengan Galan, Rino juga menggeleng. "Tidak, aku tidak bisa."

"Ah, rugi kalian tidak mau main game. Padahal game ini seru sekali. Jika kalian mencobanya, kalian pasti ketagihan." Oscar mencoba meyakinkan. Tapi, lagi-lagi Galan dan Rino menggeleng. Tidak tertarik.

Oscar bersungut-sungut, ajakannya seperti angin lalu. Tidak digubris sedikitpun.

Jalanan macet. Klakson bersahut-sahutan ke sana kemari. Banyak pengemudi mobil berseru, tidak sabaran. Satu dua pengendara motor melepas helem, mengeluh. Menggaruk kepalanya yang gatal. Sejumlah pengamen jalanan mulai menyebar, memberikan petikan gitar sambil bernyanyi riang.

Di balik kemacetan seperti ini ternyata banyak memberikan keuntungan bagi sebagian orang, termasuk penjual makanan dan minuman jalanan, juga para pengamen.

Galan menyandarkan tubuhnya ke jok mobil. Tidak ada percakapan di antara mereka. Raka sibuk memegang kemudi, Rino sibuk menonton orang-orang yang tengah berseru-seru. Sementara Oscar, Ia asik sendiri dengan handphonenya. Seolah game adalah acara terbaiknya untuk mengisi waktu luang.

"Yey!" Oscar menjerit senang.

Sontak Galan dan Rino menoleh bersamaan. Heran dengan tingkah Oscar. Mereka berdua tidak paham kenapa Oscar begitu senang.

"Lihatlah, hanya butuh lima belas menit aku mengalahkan lawan. Semua Minion, turret, altar, musnah!"

Galan dan Rino diam, tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Oscar.

"Paling juga baru rank warrior, sombong amat." Raka yang sejak tadi diam, akhirnya ikut nimbrung.

"Enak saja!" Oscar melotot. "lihat!" ia memperlihatkan layar handphone-nya.

"Rank Epic?" Raka berdecak, remeh.

"Iri bilang sahabat!" Cetus Oscar, tidak mau diremehkan. Raka hanya terkekeh geli, tidak mau memperpanjang keributan.

MVP

Itulah huruf yang keluar saat Galan menengok layar game yang sedang dimainkan Oscar.

"Kau ingin memainkannya?" Oscar menawarkan sekali lagi. Barang kali Galan berubah pikiran.

"Tidak. Aku tidak tertarik memainkan game."

"Ah, iya. Aku punya punya kata-kata mutiara dari game. Siapa tahu kata-kata itu bisa mengembalikan gairah hidupmu." Oscar membuka salah satu foto hasil screenshot-an.

"Coba lihat ini." Oscar menyodorkan handphone-nya tepat di depan muka Galan.

Galan memajukan wajah, membacanya perlahan dalam hati.

"Semua orang bisa berubah, begitu juga aku."

~Moskov~


***

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Where stories live. Discover now