56. Kabinet Revolusi

1.1K 570 18
                                    

Galan, Tania, dan Raka berkumpul di salah satu restoran kecil. Malam ini mereka bertiga akan membahas perihal Program Kerja sementara. Sebetulnya ini melanggar aturan. Karena mereka tidak membuatnya dengan mengumpulkan semua anggota. Tapi, mau bagaimana lagi? Anggota belum terkumpul. Tidak ada waktu. Kampanye OSIS akan dilaksanakan besok siang.

Meski banyak yang menganggap OSIS adalah babu sekolah. Tapi, bagi anak-anak aktivis seperti mereka---OSIS bukanlah babu sekolah. Ini adalah ajang untuk melatih kepemimpinan. Dan yang pasti, ajang untuk membentuk karakter.

Tania yang nantinya akan jadi Sekretaris umum—selalu siap dengan buku kecil dan pena—untuk mereka berdua. Jika ada program kerja yang disetujui, tangannya gesit menulis.

Sesekali Tania memberikan komentar jika ada Program Kerja yang mengganjal. Tapi, dia lebih sering menulis daripada memberikan usul.

Setelah semua planning terkonsep, waktunya mencari Kabinet yang tepat untuk menjadi wadah bagi tatanan anggota yang telah tercipta. Karena tanpa wadah, semua program itu tidak bisa di kendalikan bersama.

Di sini, sistem kerja OSIS dibuat bak sistem pemerintahan. Calon ketua OSIS---menjadi calon Presiden, di bawahnya ada wakilnya, hingga jajaran mentri-mentri pun ada.

"Bagaimana kalau kabinet Revolusi? Jika era Presiden BJ. Habibie mengusung kabinet reformasi kita mengusung kabinet Revolusi?" Galan mengusulkan kabinetnya.

Raka tidak langsung menjawab 'iya' . Ia masih berpikir-pikir. Pun demikian dengan Tania.

"Ehem." Seseorang dari meja sebelah berdeham. Ia sedang makan malam sendiri. Gelagatnya orang ini orang terhormat. Dari pakaiannya saja jelas terlihat rapi, memakai setelan jas hitam, dasi, serta sepatu pantofel hitam mengkilap.

Mereka bertiga menoleh, orang itu meneguk jus yang sudah dihidangkan. Kemudian membalas pandangan mereka.

"Kalian sedang membahas apa tadi?" Tanya orang itu. Sembari mengelap mulutnya dengan tissue. Nampaknya makanan dipiringnya tandas.

Mereka bertiga saling pandang. Kenapa tiba-tiba orang itu bertanya kepada mereka?

Belum terjawab pertanyaanya, orang itu beringsut berdiri, berpindah ke meja mereka.

"Boleh saya bergabung?" Tanyanya.

Mereka masih melongo. Lebih tepatnya, mempertimbangkan jawaban dari orang yang tidak mereka kenal. Apakah dia mata-mata? Pertanyaan itu yang sedang mengganjal dibenak mereka.

"Eh, tentu saja." Dengan sedikit gugup, Tania mempersilahkan. Ia tidak mungkin menolaknya bukan? Lagian mereka belum tahu siapa orang berjas hitam ini. Boleh jadi, dia adalah pengawal Presiden.

"Terima kasih."

Pandangan Raka tidak lepas sedikitpun dari orang ini. Meski gelagatnya terihat begitu terhormat, tapi bisa saja 'kan hatinya tidak terhormat.

Galan menggeser kursi, agar ruang meja cukup leluasa untuk empat orang.

"Perkenalkan. Saya, Darlis Atmajaya." Orang itu tersenyum, menjulurkan tangan—sebagai tanda perkenalan.

"Kalian boleh panggil saya, Darlis, Atma, ataupun Jaya."

Mereka meraih juluran tangan, balas tersenyum kecil.

"Jaya. Bapak Jaya." Galan mengulang. "Sepertinya itu cocok untuk anda." Galan berseloroh.

"Terserah kalian mau panggil saya apa. Saya tidak mempermasalahkan. Yang jelas jangan panggil saya, Pak Lisa."

Mereka tertawa. Lelucon yang bagus. Kelihatannya Pak Jaya orangnya asik. Baru kenal saja, langsung akrab. Raka berubah pikiran. Ia langsung menghilangkan kecurigaannya jauh-jauh tentang Pak Jaya ini.

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang