64. Tiada tara

1K 531 8
                                    

Jalanan mulai lengang. Satu dua mini bus masih berlalu lalang di sana. Kesiur angin merambah pepohonan—memainkan dedaunan.

Beberapa pengunjung telah beranjak, keluar dari kedai kecil ini. Tampaknya mereka ingin segera berlayar di pulau kapuk. Mengingat jam sudah tengah malam—siapa pun pasti ingin tidur.

Tidak ada yang bisa dilakukan sekarang. Menikmati waktu sambil memandangi lampu jalanan adalah cara menikmati malam.

Baru kali ini Galan diajak Raka nongkrong malam di kedai kopi. Biasanya, malam seperti ini ia sudah terlelap tidur.

Mereka hanya berdua, tidak ada Dito, Oscar maupun Tania. Memang tidak apa perjanjian, jadi Raka tidak mengajak kawananya.

Sudah lebih dari dua jam mereka menongkrong. Pengunjung pun tinggal enam orang, sisanya memilih pulang ke rumah—dan tidur.

Galan menguap, sebetulnya ia sudah ngantuk berat. Namun, karena Raka belum mengajaknya pulang—jadi ia enggan mau bicara pulang lebih dulu. Ia mengangkat gelas—menyuruput kopinya lagi. Bola matanya mengembara, mencari jam dinding.

"Jam berapa sekarang?" tanya Galan.

Pertanyaan Galan membuat Raka ikut mencari jam dinding. Jam berapa sekarang? Ia sampai lupa waktu.

Di atas kasir, ternyata jam yang dicari-cari tergantung di sana. Persis saat mata mereka menemukan. Dentingan jam berbunyi, menunjukkan pukul dua belas malam. Pantas saja mata Galan sudah ngantuk berat. Untuk orang orang sepertinya—jarang, bahkan tidak pernah yang namanya melek semalam ini.

"Kita pulang," ajak Raka. Ia beringsut, membayar tagihan di kasir—lalu keluar, disusul Galan.

Kedai kopi ini buka dua puluh empat jam. Jadi, kalau pengunjung mau pulang jam empat subuh pun tidak masalah. Asalkan jangan cuma numpang nongkrong. Yah, minimal beli-beli kopilah. Biar penjaga kedai tidak merasa dirugikan.

Galan dan Raka masuk ke mobil, meninggalkan halaman kedai kopi yang sepi itu.

Memasuki jalan besar, mobil melaju dengan kecepatan sedang. Lalu lalang mobil tidak sebanyak saat siang.

Sepanjang jalan mereka berdua hanya melamun. Tidak ada sepatah katapun terucap. Sama seperti saat di kedai kopi tadi, pikiran mereka berkecamuk, sama-sama memikirkan satu hal.

Siang tadi, setelah semua murid melakukan pemilu. Penghitungan suara dilakukan secara langsung.

Awalnya, Kubu dua yang tidak lain adalah Raka dan Galan memimpin. Tidak ada angka yang bisa mengalahkan mereka.

Raka dan Galan sudah percaya diri luarbiasa untuk menang, Kepala Sekolah pun tidak tanggung-tanggung. Ia sampai menyoraki kubu dua lantaran saking gembiranya. Pun guru-guru lainnya. Semua mendukung penuh kubu dua.

Rey dan Agat tersenyum miring melihat orang-orang itu dengan hebohnya mendukung kubu dua. Padahal permainan belum berakhir.

Tidak lama kemudian, kalian tahu apa yang terjadi selanjutnya? Keadaan benar-benar terbalik kawan. Tidak ada yang menduga ini bakal terjadi. Di detik-detik terakhir, pagar suara bergerak sama cepatnya dengan penulis suara.

Satu persatu angka yang berpihak pada Rey meningkat. Penyebutan nama Rey tak terbilang banyaknya. Seumpama peluru, maka Rey menyerbu habis lawannya di waktu terahir. Entah, siasat apa yang sedang ia jalankan. Yang jelas, siasat itu benar-benar jitu.

Semua melongo. Raka dan Galan menelan ludah pahit. Ini sungguh di luar ekspektasi.

Poin kubu dua yang tadinya memimpin. Detik ini juga, tertingal jauh di kejar oleh deretan angka yang mendukung Rey. Batangan-batangan pagar yang digunakan untuk penghitungan—bergerak cepat seiring cepatnya penyebutan nama Rey.

Kepala sekolah yang tadinya menyoraki dengan heboh, seketika melempem. Ia tidak bisa percaya. Sungguh di luar dugaan.

Guru-guru menelan ludah kegetiran ketika menyaksikan itu. Sementara Rey, ia berhuhu-haha mengangkat tangannya tinggi-tinggi bak juara MotoGP. Agat yang menjadi wakilnya ikut berdiri, tersenyum tipis.

Keadaan yang amat menegangkan itu berakhir tragis. Kepala Sekolah yang berdiri sedari tadi, tiba-tiba menekan dadanya kuat-kuat. Tubuhnya sempoyongan. Dengan sigap guru-guru membantunya keluar dari ruangan.

Galan dan Raka berlari cepat, mendatangi Pak Gun yang tengah megap-megap.

Tidak ada yang tahu apa yang terjadi setelah itu. Yang pasti, lantaran peristiwa itu—perasaan bersalah terukir tiada tara di benak mereka.

***

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Where stories live. Discover now