50. Ultimatum dua

1.1K 546 12
                                    

Hampir tiga bulan, mereka berlatih di lapangan hijau itu. Meski harus berangkat pagi pulang sore---tidak masalah, selagi itu untuk kebaikan—dengan senang hati mereka lakukan.

Benar kata pepatah dulu, untuk mendapat sesuatu yang besar---butuh pengorbanan yang besar pula.

Padahal ini belumlah seberapa, dibandingkan perjuangan pahlawan untuk mengibarkan Sang Pusaka---ini tidak ada apa-apanya.

Di bawah gelapnya lintang malam, udara berhembus sepoi-sepoi, sebagian pekerja telah pulang---beristirahat di dalam rumahnya masing-masing.

Galan pun demikian, ia sudah bersiap mengantupkan kelopak matanya. Ia akui tubuhnya lelah, seharian penuh ia berdiri di bawah lampu sang surya. Hanya malamlah yang menjadi sandaran dari kelelahannya.

Ia telah mematikan lampu, menarik selimut—segera hanyut bersama mimpi halusinya.

Bersamaan dengan itu, Rey dan para dedengkotnya baru saja keluar dari mobil, jumlah mereka banyak. Sekitar lima belas orang.

Mereka berdiri tidak jauh dari rumah Galan.
Dengan senyum yang mengembang, mereka bersiap dengan rencana besarnya.

Rey mengait sebelas orang berbadan besar, dengan pakaian laksana preman pasar. Entah darimana Rey mendapat dukungan itu. Yang jelas, mereka menyebut Rey dengan sebutan 'Tuan'.

"Apa yang harus kami lakukan, Tuan?" Tanya salah satu di antara mereka.

"Tunggu saja perintah ku." Rey mendengkus, memberi kode kepada kawanannya agar menyalakan obor.

Ia bergegas menyalakan handphone-nya, memanggil seseorang dengan Video call.

"Kita bertemu lagi kawan."

Rey menyapa Raka lewat video call, di tangannya sebuah bambu yang telah disulapnya menjadi obor, menyala terang dalam gelap.

"Kau dapat nomorku dari mana, hah?!" Raka langsung berseru di sebrang sana.

"Kau tidak perlu tahu---aku dapat nomormu dari mana," jawab Rey santai.

"Kau tahu aku sedang di mana?" Rey balik bertanya, kamera handphone sengaja diarahkan ke belakang punggung—agar Raka bisa melihat.

Spontan Raka berteriak, mengeluarkan kata-kata kotornya yang tidak senonoh. Rey bergegas menghabisi suaranya, ia tidak tahan mendengar ocehan Raka.

Lengang.

"Apa yang akan kau lakukan, Rey!" Raka membentak, bola matanya terbelalak begitu menyadari keberadaan Rey.

"Jangan melotot begitu." Rey menarik senyum kecut. "Kau kira aku takut denganmu?"

Raka ketar-ketir melihat akal busuk mereka, sejak tadi pikirannya terpusat pada kobaran api dan rumah Galan yang terlihat di belakang sana. Dia bisa menebak apa yang akan dilakukan anak berandalan ini.

"Kau benar-benar bedebah!" Raka memaki Rey di ujung sana.

"Aku hanya ingin membantu pemerintah menghanguskan tempat ini, apa salahnya?" Rey mengecilkan suara handphonenya, tahu---kalau Raka akan melontarkan sumpah serapah kepadanya.

"Jadi---bagaimana? Apa kau siap dengan pemilu OSIS tahun ini?"

"Kau ...!!" Raka berteriak, kesal. Ingin sekali ia membanting handphone-nya. Ternyata ini hanya akal-akalan Rey untuk memancingnya dalam pemilu OSIS tahun ini? Sebegitu naifnya dia sampai menghalalkan segala cara? Ini memang tidak masuk akal, tapi ini memang benar-benar nyata.

"Aku berjanji, jika kau membakar rumah Galan. Malam ini juga kau akan kulaporkan ke polisi!"

Rey mematikan handphone.

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Where stories live. Discover now