58. Diplomasi yang busuk

1.1K 555 29
                                    

Kampanye untuk calon OSIS diadakan di jam akhir. Seluruh murid dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas dikumpulkan di auditorium sekolah.

Segala persiapan sudah tertata lengkap, tanpa ada kekurangan. Panggung kecil dengan banner di belakangnya terpasang. Kursi-kursi berjejeran, juga satu singgasana berupa podium tertanam di depan.

Auditorium ini sangat besar, dengan ukuran enam kali lebih besar dari lapangan futsal---mampu memuat ratusan orang di dalamnya.

Sayangnya, Kepala sekolah tidak bisa hadir, ia sibuk dengan urusannya. Kendati pun demikian, tenang saja---ada perwakilan dari guru sebagai penggantinya.

Galan, Raka dan empat puluh orang lainnya  duduk rapi membentuk 1/4 lingkaran di sudut ruangan. Ketua OSIS dan jajarannya, duduk di belakang panggung. Ia akan keluar jika kedua kubu sudah siap.

Mereka sedang menunggu Rey dan para anggotanya untuk masuk ke dalam ruangan. Ini adalah acara sakral sekolah. Jadi sudah dipersiapkan oleh para panitia OSIS.

Suasana tegang bercampur aduk di dalam pikiran Raka, meski terlihat tenang---itu hanya dari luarnya saja. Tidak di dalamnya.

"Kau sudah siap?" tanya Raka kepada Galan. Dia tampak ragu sebetulnya.

"Pasti!" Galan menjawabnya mantap, seraya mengokohkan tinjunya.

"Kalian sudah siap?" Galan menoleh ke arah Tania, Oscar, Dito yang berjejer di sebelahnya.

"Jangan tanya!" Oscar paling bersemangat menjawab, yang lain hanya mengangguk.

Pak Arman, adalah salah satu dari guru yang menjadi perwakilan Kepala Sekolah. Sejak tadi ia seperti orang kebingungan. Melihat satu kubu belum datang, bolak balik Pak Arman mengangkat pergelangan tangan---memastikan bahwa kampanye akan segera dimulai.

Lima belas menit menunggu, audien sudah tidak sabar---mereka berseru-seru agar acara ini segera di mulai.

"Mana bisa begitu? Satu kubu belum ada, ya belum bisa dimulai," bisik Pak Arman pada salah satu guru di sebelahnya.

Pak Arman bangun dari kursinya, beranjak melangkah keluar.

"Huh," terdengar suara Galan menghela nafas. "Lama sekali. Aku sudah tidak sabar mengakhiri ini semua."

"Mungkin, Rey kekurangan anggota jadi harus cari anggota dulu," ujar Raka sembari mengangkat alisnya satu.

Lelucon yang bagus.

Galan hanya mengangkat pundaknya ringan. "Bisa jadi."

Empat puluh lima menit berlalu, Pak Arman kembali masuk—ia memberi jempol sebagai isyarat kepada Ferdy---bahwa kubu yang kedua akan masuk.

Suasana menegangkan semakin mencuat, meski mereka sudah yakin akan kemenangan---tapi mereka tidak bisa meremehkan. Biar bagaimanapun mereka tidak tahu apa yang Rey rencanakan.

Pintu terbuka, satu kaki melangkah dengan anggun. Seperti yang kalian tahu---ia adalah Rey, si bedebah yang mendambakan menjadi pemimpin OSIS tahun ini.

Ia menarik senyum lebar, merapikan rambut yang berukuran tidak panjang itu. Mengerlingkan senyum sinis ke kubu Raka dan Galan.

Saat orang kedua masuk, dia juga sama—melangkah anggun, mengenakan dasi abu-abu, lalu menatap ke depan dengan tatapan yang khas.

Seketika mata Galan dan Raka terbelalak. Keduanya kaget bukan main. Apa-apaan ini? Bisa-bisanya mereka menggandeng pemuda blasteran Indo-China yang jelas-jelas orang yang selama ini mereka kenal. Ini benar-benar keterlaluan. Rey jelas sudah merancangnya untuk ini. Dia licik.

Di urutan nomor tiga—sebagai sekertaris, di isi oleh mulut seribu—siapa lagi kalau bukan Yuri. Dengan senyuman angkuhnya dia mengekori kedua kandidat.

"Dasar penjilat! Kemarin mengata-ngatai OSIS sebagai babu sekolah, tapi kenapa—dia malah jadi OSIS? Dasar tidak tahu malu!" berang Raka.

Lalu, setelah Yuri—disusul rentetan anggota-anggota Rey yang sudah jelas profilnya dan sudah bisa ditebak—mereka adalah antek-antek Rey.

Ruangan senyap. Seluruh pandangan tertuju ke arah pintu---tidak ada yang berkedip sedikitpun.

Orang-orang itu laksana pejabat yang sudah ditunggu-tunggu kedatangannya. Padahal yang sebenarnya terjadi, penjahat yang tidak tahu malu.

Tania diam, tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sedangkan Oscar dan Dito, mereka gemas sekali ketika melihat kandidat lawan. Apalagi setelah melihat wakil dan sekertarisnya—ingin rasanya mengumpat.

Raka berdiri, emosinya ingin meledak. Hampir saja dia melangkah, tapi buru-buru Galan menarik lengannya---membuatnya mengurungkan niat.

Sebuah diplomasi yang busuk, dengan perpaduan yang sangat tidak sehat. Seperti halnya jus sayuran yang dipadukan dengan tomat busuk. Itulah perpaduan Rey sekarang.

"Hi, friends. How are you?" Rey melambaikan tangan, tersenyum licik.

Bahkan, tidak pernah terpikirkan dalam benak mereka---jika Rey akan menggandeng sosok itu. Sosok yang selama ini ia kenal dekat, sahabat karib, sahabat kental, sahabat yang sering tertawa bersama. Yang mendadak berubah laksana musuh dalam selimut.

Kalian tahu siapa dia? Dia adalah ....

Agatha legiustman.

***

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Where stories live. Discover now