38. Konsekuensi

1.2K 593 13
                                    

Semua perbuatan pasti ada timbal baliknya. Itulah yang sedang terjadi dengan Galan. Berkat Hasil dari kecerobohannya, ia mendapat sangki dari pelatih.

Hukumannya tidak aneh-aneh dan tidak berat. Hanya berdiri tegap dengan posisi hormat bendera di tengah lapangan upacara.

Setibanya di sekolah, Galan segera mencari sosok Rangkas. Perasaan bersalahnya menjalar ke seluruh tubuh. Hatinya cemas bukan main. Ia seperti orang linglung.

Galan berjalan setengah berlari, bersamaan dengan itu pula---bel istirahat berbunyi nyaring. Orang-orang berhamburan keluar dari kelas penuh tanda tanya ketika melihat sosok Galan yang tiba-tiba datang.

"Hei, itu Galan. Katanya dia ikut Olimpiade?"

"Kenapa dia ada di sini?"

"Aku juga tidak tahu."

Galan tidak peduli. Dia terus berlari, menyeret rasa malunya. Tujuannya cuma satu; menemukan Rangkas. Karena Rangkas lah pemegang sekaligus pemilik kebijakan semua juniornya.

Begitu sampai di kelas seniornya itu, ia langsung masuk, tanpa salam tanpa Kalam.

Dengan napas terengah-engah, Galan akhirnya bisa menghadap, bertatap muka langsung dengan Rangkas.

Nah, inilah wujud hukuman yang ia dapat setelah bertemu dengan Rangkas---hormat bendera di depan umum, saat istirahat.

Banyak orang yang mencibir, menjahili, bahkan ada yang sampai memasukan es batu ke dalam bajunya. Tapi Galan tetap teguh, dia berdiri tegap—tidak bergerak sedikitpun.

Rangkas berdiri memantau Galan dari kejauhan. Lebih tepatnya, di depan kelasnya sendiri.

"Bukankah, dia ikut mewakili sekolah dalam Olimpiade Sains tahun ini?"

Dua perempuan berkucir kuda sedang berbisik, memandangi Galan dari kantin.

"Entahlah, aku tidak juga tidak tahu," jawab teman satunya yang mendengar bisikan itu.

Adanya Galan di tengah lapangan membuat buah bibir bagi warga sekolah, terlepas dari keikutsertaannya dalam ajang Olimpiade Sains tahun ini yang mendadak dibatalkan.

"Dasar danton tidak bertanggung jawab!"

Seseorang berseru di belakang telinga Galan. Langkah kakinya terdengar samar, nampaknya—tidak hanya satu orang.

Dalam hati Galan bertanya-tanya. Siapa yang barusan berseru?

Namun, sedetik kemudian pertanyaan itu segera terjawab.

"Kenapa juga Rangkas memilih dia menjadi Danton?" Rey menyembul di balik punggung, beserta ketiga anteknya.

"Kenapa bukan aku saja yang dipilihnya?!" cetus Rey, sambil berkacak pinggang.

"Lihatlah dia." Rey menyuruh ketiga anteknya untuk melihat Galan bersamaan. "Anak miskin ini yang akan memimpin kita?" Rey menyeringai, lalu meludah ke samping kanan.

Mereka tersenyum sinis, memandangi wajah Galan remeh temeh. Belum habis juga. Para dedengkot itu memutari tubuh Galan yang tengah mematung. Mereka laksana penjahat kecil yang bertopengkan sebagai pelajar. Salah satu dari mereka memainkan dasi Galan, mengelus-elus rambut botaknya, dan yang lebih parah memasukan kerikil ke dalam bajunya.

Galan mengerutu dalam hati. Kerut otot didahinya mencuat, memperlihatkan kalau emosinya tengah naik. Jika waktunya berbeda, Galan tidak segan-segan untuk menampar mereka satu persatu.

Dari jarak lima belas meter. Rangkas yang sejak tadi mengawasinya, memutuskan mengambil langkah. Ia tidak bisa diam terus-terusan. Gerombolan Rey memang terkenal suka usil. Kini waktunya dia bertindak, mendatangi Galan yang sedang diganggu oleh kawanan Rey.

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Where stories live. Discover now