Bagian 11 | Pertanyaan

397 57 1
                                    

Indira menatap hamparan danau luas di depannya dengan tatapan takjub. Sehabis dari mall tadi, Galasta mengajaknya ke tempat rahasia. Yang ternyata adalah sebuah danau luas dengan di pinggir danau terdapat lapangan Basket, berbagai jenis tanaman bunga, dan satu kursi kayu lawas yang masih layak pakai.

Kawasan ini berada di balik sebuah rumah kosong tak berpenghuni. Awalnya, Indira merasa takut. Namun, setelah masuk ia langsung takjub dengan pemandangan yang seperti taman bunga. Dari sini, Indira juga mendapat pelajaran kalau pepatah itu memang benar, don't judge by a cover.

Indira merentangkan tangannya menikmati semilir angin yang berhembus. Puas mengamati gemercik air, ia berlari mengelilingi taman bunga. Tentunya juga mengabadikan momen epic seperti ini dengan kamera gawai.

Dari tempat duduk, Galasta tersenyum melihat tingkah laku Indira yang begitu exited. Diam-diam, ia mengabadikan saat-saat di mana Indira bisa tertawa tanpa beban. Cewek itu mirip sekali dengan Alura; tingkahnya yang riang begitu tahu tempat rahasia yang jarang diketahui orang ini.

"Ya ampun! Rasanya hepi banget!" seru Indira kini merebahkan tubuhnya di antara bunga-bunga yang beberapa berjatuhan laksana musim gugur. Manik matanya menatap langit berbinar. Sesekali matanya terpejam saat merasakan embusan angin membelai pipi. "Gue nggak tahu ternyata masih ada satu tempat sejuk di tengah kesibukan kota Metropolitan."

"Ya. Andai dulu gue nggak sengaja lempar bola ke dalam rumah kosong ini. Mungkin gue nggak akan menemukannya," ujar Galasta yang tahu-tahu sudah merebahkan tubuhnya di samping Indira. Tanpa sadar kedua tangan mereka saling menyatu membentuk hati.

"Kok bisa sampai ke sini?" tanya Indira.

"Di dekat sini ada rumah mantan sahabat gue. Kita main lempar-lemparan bola pas umur delapan tahun di pinggir jalan. Terus bola yang gue tendang masuk ke rumah kosong ini, alhasil dijasikan basecamp buat kumpul kita bertiga," cerita Galasta.

Indira mengernyit. "Mantan sahabat? Siapa? Kok bertiga? Bukannya kalian berdua?"

Bibir Galasta melengkungkan senyum tipis. "Ya ada lah. Ditambah sama Alura. Kita bertiga suka ke sini bareng-bareng. Akrab banget sampai rasa sialan itu menghancurkan segalanya."

Indira berusaha memahami maksud Galasta. Mengkaitkannya satu per satu membentuk sebuah 'kesatuan'. Pasti ada kejadian masa lalu keterkaitan antara mantan sahabat Galasta, Galasta, dan Alura. Pertanyaannya, siapa mantan sahabat yang dimaksud? Dan siapa juga itu Alura? Ingin bertanya, Indira ingat batasan.

Galasta menoleh mengamati Indira yang tampak mengernyit. Kentara sekali kalau ia sedang menahan rasa penasaran. Galasta tertawa pelan, membiarkan dugaan-dugaan Indira dengan otaknya itu. Biarkan Indira menyatukan potongan teka-teki tentang masa lalunya.

"Eh, gu-"

Belum sempat Indira selesau bicara, tiba-tiba sosok Haikal muncul. Ia tersenyum remeh pada Galasta. "Wow, berani banget lo bawa orang lain di tempat ini," ujarnya menekankan pada kata orang lain sambil melirik ke arah Indira.

"Ngapain lo di sini?" tanya Galasta ketus.

"Hanya kunjungan seperti biasa. Kenapa? Harusnya gue yang nanya. Ngapain lo bawa orang lain ke sini?" Sekali lagi, Haikal melirik ke arah Indira. Indira yang disindir hanya mengerjap tak mengerti.

"Suka-suka gue," Galasta melirik sinis.

Haikal tertawa. "Oh, lo udah berhasil menang? Dan lo udah move on dari Alura?"

Tangan Galasta mengepal. "Dia cuma bahan taruhan. Gue nggak akan lepasin Alura buat berengsek kayak lo!" desisnya penuh penekanan.

Indira mengerjap, tak paham apa yang dibicarakan. Kenapa selalu ada nama Alura yang disebut? Siapa sebenarnya dia? Kenapa terlihat begitu sepesial? Sungguh, banyak pertanyaan yang ingin Indira ajukan pada Galasta.

Bug!

"Galasta! Haikal!"

***

Indira menatap foto polaroid keluarganya dengan tatapan kosong. Sejak pergelutan antara Galasta dan Haikal tadi, sifat Galasta mendadak berubah. Ia menjadi dingin, bahkan dengan teganya Galasta meninggalkan Indira sendirian. Catat. SENDIRIAN!

Rasanya kesel pengin nonjok, Galasta setega itu. Cowok itu mengingatkannya pada sosok mantan ayahnya. Kasar, tidak pengertian, tega pada Saras. Kalau gini 'kan Indira jadi uring-uringan sendiri. Dia tidak menghiraukan nontifikasi dari Galasta. Moodnya benar-benar buruk.

Indira berguling ke sana ke mari mengelilingi kasur. "ARGGHH! GUE KESEL SAMA LO GAL! GUE BENCI! KENAPA NGGAK RELA BEGINI SIH? GUE KENAPA?!" teriaknya tanpa sadar begitu nyaring.

Saras yang sedang mencuci tangan di wastafel tersentak mendengarkan raungan anaknya. "Indira kenapa?" gumamnya bertanya-tanya langsung berjalan menuju kamar Indira.

Tok tok tok!

"Indira, kamu kenapa teriak-teriak?" tanya Saras mengetuk pintu Indira tiga kali.

Tak selang lama kemudian, Indira membuka pintu. Gurat wajahnya tampak kusut tak bersemangat nyaris menangis. Saras mengernyit khawatir, "Kamu kenapa? Sakit?"

Indira menghambur ke pelukan Saras, menangis terisak. "Lagi kesel ish, ma! Firasat mama salah. Galasta berengsek, sama kayak papa. Semua cowok sama aja! Masa aku dtinggalin sendirian gitu aja sendirian? Enggak tanggung jawab banget!"

Saras tertawa, ternyata ini masalahnya. "Galasta ninggalin kamu mungkin dia lagi ada urusan atau moodnya buruk," ujar Saras membelai surai hitam Indira.

"Tapi, nggak gitu juga dong! Kan bikin kesel," ujar Indira mengerucutkan bibirnya kesal.

"Emang tadi kalian ke mana? Kencan?" tebak Saras menggoda.

Wajah Indira mendadak memerah malu. "Apa sih? Aku sama Galasta cuma teman enggak lebih. Lagian amit-amit punya pacar begajulan kayak dia," elaknya bergidik.

"Temen bisa jadi demen, loh," Saras tertawa.

"Apa sih, Ma! Kok rese?"

***

Ini Aku [Completed] ✔Où les histoires vivent. Découvrez maintenant