Bagian 16 | Ternyata

489 56 7
                                    

Indira menyunggingkan senyum tipis menatap boneka beruang, foto polaroid, juga gantungan berbentuk dream catcher. Ketiga barang yang cukup spesial pemberian dari Galasta. Indira menutup kedua wajahnya malu sendiri mengingat kejadian tadi di sekolah. Mengapa rasanya sebahagia ini?

Apakah ini yang dinamakan dengan cinta? Rasanya memang menyenangkan. Tetapi, mengapa ada cinta jikalau berakhir perpisahan? Indira tercenung, mendadak teringat dengan sosok ayah bajingannya. Ah, ralat, mantan ayah lebih tepatnya. Entah di mana pria itu berada sekarang, Indira tak pernah tahu siapa istri barunya.

"Indira!"

Panggilan dari Saras menyentak alam sadar Indira. Mata bulat hitamnya mengerjap. Tanpa ba-bi-bu, kaki jenjangnya berlari keluar kamar mencari keberadaan Saras. "Iya, Ma!" teriaknya membalas.

"Ada apa, Ma?" tanya Indira setelah berada di hadapan Saras yang tampak asyik berkutat dengan tempat makan. Memasukan beberapa roti buatan sendiri yang digunakan untuk mencari penghasilan tambahan. Tidak terlalu bergantung dengan uang transferan mantan ayahnya.

Saras diam, masih serius dengan aktivitasnya. Indira ikut diam mengamati dengan dahi berkerut heran. "Ini mama bikin bekal. Nanti kamu antar ke rumah papa ya?" pinta Saras memasang senyum. Dia sudah menebak apa reaksi Indira, putrinya itu melebarkan mata.

"What you say, ma?! Aku? Ke rumah papa? Ogah! Mending jadi duta sampo lain." Indira mengoceh sewot sambil bergidik ngeri kembali melanjutkan, "Mama tuh aneh banget. Ngapain pakai ngirim kue segala? Harusnya tuh mama hajar si pelakor wush bug pakai jurus karatenya Indira. Lagian mereka bisa bikin sendiri, mama jangan terlalu baik sebagai perempuan. Minta hak keadilan dong!"

Saras tertawa melihat Indira yang sudah memasang posisi karate. "Menyambung silaturahmi, Ra. Mama nggak mau punya musuh. Kalau mama melawan, malah kelihatan belum move on dari papa dong?" tanya Saras bercanda.

Indira mengerjap. "Benar juga! Yaudah kalau gitu biar Indira cariin papa baru! Gimana?" Indira balik menawar, sambil menaikan salah satu alisnya, menggoda.

"Nggak usah, makasih. Nanti biar mama cari sendiri aja di aplikasi Tantan," ujar Saras tertawa.

"Yee si mama kelihatan ngenes pakai aplikasi," Indira ikut tertawa.

"Udah jangan ketawa mulu. Sana anterin kuenya. Alamatnya udah mama tulis di situ," Saras meredakan tawa. Ia menyerahkan tempat makan pada Indira.

Dengan rasa ogah-ogahan, Indira menerimanya. "Yaudah, aku anter duluan. Assalamualaikum." Indira mencium tangan Saras.

"Walaikumsalam, hati-hati di jalan. Jangan ngebut bawa motornya!" peringat Indira dibalas acungan jempol.

Indira mengeluarkan motor matic andalannya. Sebelum melaju, ia menengok ke secarik kertas yang telah tertulis alamat lengkap. Dahi Indira mengernyit rumah istri baru mantan ayahnya tak jauh dari sini. Lingkup mereka nyaris dekat ternyata.

"Sebelum ke sana. Gue harus nyiapin kata-kata nyinyir buat dia!" ucap Indira lalu akhirnya menyalakan mesin motor. Jantungnya bergemuruh, merasa berdebar. Bagaimana rupa istri mantan ayahnya?

Tak memakan waktu lama, Indira sampai di rumah tersebut. Indira tersenyum singkat pada satpam. Ia memarkirkan motornya di pekarangan rumah. Matanya mengedar sekeliling. Nuansa alam yang cukup menarik. Indira menekan bel satu kali. Muncul sosok wanita tua yang kemungkinan besar adalah pembantu di rumah ini.

Ini Aku [Completed] ✔जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें