Bagian 28 | Pertandingan

449 45 5
                                    

"Mampus! Telat!" seru Indira melirik ke arah jam dinding yang menunjukan pukul tujuh kurang lima belas menit. Ia buru-buru mandi dengan ala kadarnya lalu memakai seragam secara asal-asalan saking kalutnya. Meskipun mungkin usaha yang akan tiada hasil karena bel masuk kurang lima belas menit lagi.

"Ma, Indira berangkat udah telat! Makannya di kantin sekolah aja!" teriak Indira segera melesat pergi keluar rumah. Saras mengernyit melihat ke arah kalender. Ia merampas kalender duduk segera menyusul Indira keluar mengetahui sekarang tanggal berapa.

"Hei, ini tanggal merah, Indira!" teriak Saras membuat Indira yang sedang men-starter motor terdiam menatap Saras penuh tanda tanya. Saras menunjukan kalender duduk yang menunjukan tanggal dengan warna merah.

Indira bernapas lega. "Astaga kenapa sampai lupa. Duh, kirain bakalan telat terus dihukum sama bu Jamilah," gumam Indira mengembalikan motor pada semula. Ia melangkah masuk mengikuti Saras.

"Makanya, biasakan bangun pagi jangan telat," pesan Saras.

Indira mengembungkan pipinya. "Tadi malam ngerjain tugas Bio sampai larut makanya keblabasan. Bikin mumet sih. Kan sebel. Ntar Indira bantu bikin kuenya abis ganti baju. Bye, Ma!" Indira melesat ke kamar segera mengganti seragam dengan kaos polos biasa.

Tok! Tok! Tok!

"Eh? Siapa yang bertamu sepagi ini?" gumam Saras bertanya. Ia mencuci tangan di wastafel buru-buru membuka pintu. Saras terkejut melihat kehadiran sosok cowok berbalut kemeja kotak-kotak, celana jeans hitam, jam tangan hitam, serta topi berwarna putih.

"Pagi, tante. Masih ingat saya kan? Galasta," Galasta menunjukan cengiran ramahnya. Saras mengangguk mempersilakan Galasta masuk.

"Ada apa ya bertamu pagi-pagi begini? Mau ketemu sama Indira?" tanya Saras memgintrogasi.

Galasta tersenyum semi-formal, ia mengangguk antusias. "Iya, tante. Indiranya ada di rumah?"

"Ngapain lo ke sini?" Teriakan melengking itu membuat Galasta dan Saras menoleh pada sosok Indira yang kini mendelik horor. Seolah baru saja melihat makhluk halus. Tatapan memincing ia layangkan pada Galasta. "Mau lo apa ke sini, hah?"

"Indira, yang sopan. Galasta tamu, loh. Dia juga teman kamu yang suka bikin galau katanya," Saras mendadak seperti ember bocor.

Galasta menyeringai penuh kemenangan. "Oh ya, tante? Indira galau gimana? Mikirin saya ya?" tanya Galasta.

"Iya dia sampai jejeritan nangis lebay gitu lihat foto kalian berdua pas jalan," jawab Saras kian menjadi berkomplotan dengan Galasta membuat Indira melotot gemas sendiri. Ia mengembungkan pipinya merasa malu.

"Mama jahat. Sungguh teganya dirimu," ujar Indira mendadak lebay. Ia duduk di samping Saras dengan wajah tertekuk badmood. "Ngapain ke sini? Langsung aja deh, gak usah basa-basi! Abis itu pergi jauh-jauh sana."

"Gue mau ajak lo jalan. Boleh kan tante?" Galasta menatap ke arah Saras meminta izin. Saras mengangguk, "Boleh banget! Masa tadi Indira malah mau berangkat sekolah. Dia butuh jalan-jalan kayaknya."

"Ha? Udah pakai seragam gitu, tan?" Saras mengangguk semangat memberi tahu. Indira malas mendengar aibnya sendiri disebar memilih melipir ke kamar mengganti kaos biasanya dengan baju lebih layak pakai untuk jalan.

***

"Gal, sebenarnya ini mau ke mana sih? Lo mau nyulik gue ke mana?" tanya Indira beruntun sejak Galasta melajukan kuda besinya. Galasta tak menjawab ocehan Indira yang penuh tanya. Ia memberhentikan motornya di depan sebuah rumah bergaya Eropa sederhana.

Indira mengerjap menatap sekeliling dengan tatapan takjub. Terlihat sangat mewah dengan nuansa alam. "Ini rumah siapa?" tanya Indira masih merasa takjub. Ini keren! Mirip penggambaran di novel-novel fantasi Eropa. Suka dibahas saat pembelajaran Sejarah.

"Rumah gue," jawab Galasta. Indira terdiam sejenak, otaknya me-loading ucapan Galasta. Ru-mah gu-e.

"APA?!" pekik Indira histeris nyaris saja kabur berlari kembali ke rumah kalau saja Galasta tidak menyeretnya masuk secara paksa. "Hiks, gue mau pulang. Gue nggak mau ketemu ayah lo apalagi ibu lo. Gue belum siap. Gue harus apa nanti? Mana cuma pakai kemeja sama celana jeans kayak cowok. Duh, malu sekali!"

"Orang tua gue lebih suka lihat orang yang berpenampilan apa adanya. Nggak usah sok pakai gaun kalau lo nyaman pakai kemeja," ujar Galasta tenang mengetuk pintu hingga muncul sosok wanita paruh baya.

"Galasta, kirain siapa. Biasanya langsung masuk," decak Melisa. Galasta memamerkan sederet gigi putihnya. "Eh, bawa tamu juga. Siapa nih? Pacarnya Galasta ya?"

Indira gelagapan. "Bukan, tante! Aku Indira Venelopa, teman sekolahnya Galasta," ujar Indira menekankan kata teman lalu menyalimi tangan Melisa.

"Cuma teman ya?" Melisa menggoda. "Saya Melisa, mama Galasta. Yaudah yuk, masuk. Kebetulan ada Alura juga di sini."

Indira melotot. Ada mak lampir juga?

"Ada siapa, Ma?" tanya Samuel.

"Ada tamu, Pa," jawab Melisa menunjuk Indira yang tersenyum merasa keki. Apalagi melihat tatapan tajam milik pria paruh baya yang ia yakini adalah ayah Galasta seolah mengintimidasi.

Indira berusaha sopan menyalimi tangan pria itu. "Saya Indira Venelopa, teman sekolahnya Galasta," ujar Indira tersenyum kaku lalu matanya menoleh pada sosok Alura yang sedang duduk di samping laki-laki mirip Galasta entah siapa tapi seperti pernah bertemu sebelumnya.

Alura menoleh. Bertemu pandang dengan Indira. Ia menampilkan wajah syok. "Lo ngapain di sini?" jeritnya histeris lebay.

Indira mendengus. Menghadapi manusia jenis kayak Alura itu menguras emosi. Memerlukan tenaga yang banyak. "Dia gue ajak ke mari," ujar Galasta menyela Indira yang mau menjawab.

"Loh, kak Indira yang senior aku di karate itu kan? Anak didiknya pak Huda," ujar laki-laki itu. Dahi Indira mengernyit. Mengingat kapan terakhir kali dia bertemu dengan pak Huda, guru karatenya yang masih muda dan jelas kegantengannya.

"Oh ya! Kamu salah satu junior kan?" Indira mengingat minggu kemarin ia sempat menjadi pengajar senior bersama pak Huda.

"Aku Naufal. Kakak keren abis kelihatan pro banget. Aku nge-fans sama kakak, loh. Teman-teman aku juga pada suka sama kakak. Ramah, baik, keren lagi," ujar Naufal berbinar menjulurkan tangannya.

Indira tertawa menerima uluran tangan Naufal. "Ah, biasa aja. Masih keren kak Bisma kok," ujar Indira menyebut salah satu temannya.

"Ekhem," dehem Galasta menatap Naufal agar segera melepas tangannya. Padahal baru beberapa detik, si banteng udah ngamuk. Cemburu, masnya? :v

"Mumpung Indira sama Alura ada di sini. Bantu tante bikin kue yuk!" ajak Melisa merangkul mereka berdua lalu menyeret ke dapur tanpa persetujuan.

Seru nih, dah kayak pertandingan perebutan calon mantu, batin Melisa terikik.

***

Ini Aku [Completed] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang