Bagian 25 | Tamparan

616 46 0
                                    

"Bukan gitu ceritanya, Gal. Aku nggak ngerebut, mau minjam. Cuma Indira nggak boleh, dia malah buang ke jalan raya gitu aja. Pas aku mau ambil, nggak tahu aku salah apa, dia dorong gitu aja," kata Alura menatap Galasta agar terlihat meyakinkan.

Alura sebenarnya belum boleh pulang dafi rumah sakit karena ada cedera ringan di kepala dan kaki, tetapi, memaksakan diri dnegan embel-embel nama Galasta. Kini, ia sedang berada di taman belakang sekolah yang sepi bersama Indira, Galasta, dan Kaisar. Mengenai klarifikais tentang tragedi kemarin.

Jelas sekali, cerita Alura dan Indira mempunyai versi berbeda. Dan sudah sangat jelas kalau Galasta lebih memercayai Alura. Terlihat dari katanya yang seolah ingin menikam Indira. Indira yang merasa tak bersalah balik menatap sinis. Benar kan kalau dia tidak bersalah? Alura mengarang cerita begitu apik.

"Jadi, yang lo ceritain kemarin cuma buat nutup perilaku lo yang nggak etis itu sampai membahayakan nyawa Alura? Lagian kenapa sih nggak dipinjamin aja? Tinggal kasih kan gampang nggak buat Alura masuk rumah sakit segala," oceh Galasta.

Karena barang itu dari orang spesial! Ingin sekali Indira meneriaki sederet kalimat tersebut. Namun, yang keluar hanya, "Lo jangan asal percaya gitu aja! Lo harusnya mencari kebenaran dari kedua sisi. Ini malah kelihatan kalau lo hanya memihak, menyudutkan, tanpa tahu kebenaran."

"Bagi gue, kebenaran adalah Alura," ujar Galasta membuat Alura tersenyum puas. Ia diam-diam menatap Indira meremehkan. Lalu mengacungkan ibu jari dalam posisi terbalik. Kedua tangan Indira mengepal erat, keinginan untuk menonjok muka sok jujur milik Alura semakin membesar.

"Benar apa kata Indira. Lo harus cari kebenaran dari dua sisi jangan asal percaya aja, Gal," ungkap Kaisar mendukung Indira.

"Lo lebih belain dia dari pada gue? Dia itu salah. Titik." Galasta dalam mode keras kepala. Ia tidak mau Alura disalahkan. Karena selamanya Alura itu benar. Tidak pernah berbohong pada Galasta.

Kaisar menghela napas. "Lo bucin boleh, tapi, soal kejadian kayak gini jangan asal memihak, Gal. Nggak adil buat salah satu sisi tersangka. Setiap manusia nggak selamanya benar menurut lo. Bisa aja dia memakai topeng," ujar Kaisar menekankan dua kata terakhir. Tatapannya melirik Alura sinis, sudah lama Kaisar tidak suka Alura. Yang ditatap balas tak kalah sinis.

"Yup! Lo bucin kelewatan sampai mau aja dimanfaatin. Kayak cowok nggak punya harga diri. Padahal mah cewek banyak," Indira menyunggingkan senyum santai, menjorok ke mengejek. "Dan lo, Alura. Lo terlalu drama queen. Mengarang cerita sedemikian rupa. Cantik-cantik penuh drama. Peran lo cocok jadi antagonis."

"Lo jangan menghina Alura!" Galasta tidak terima.

Indira malah menantang. "Emang kenyataannya gitu 'kan? Sahabat lo itu drama queen!"

Plak!

"Jaga omongan lo!"

Hening. Indira terdiam memegang pipinya yang habis kena tampar spesial dari Galasta. Indira tidak menyangka kalau Galasta akan semarah itu. Padahal Alura hanya cedera ringan. Tamparan tidak terasa sakit. Hanya saja ada hati yang remuk di dalam sana.

Galasta juga sama-sama terdiam. Ia tidak bisa menyangka akan menampar Indira. Ini di luar kendali, ia tidak suka Alura dihina.

***

"Ra, lo diem mulu dari tadi. Kenapa sih?" tanya Nisa untuk kesekian kali melihat Indira yang sedari tadi bungkam tidak konsentrasi. Hanya menatap whiteboard dengan tatapan kosong. Diajak ngobrol, enggak jawab. Udah mirip dengan zombie. Nisa 'kan jadi ngeri.

"Ra, udah bel pulang. Lo mau menetap di sekolah?" tanya Nisa menggoyang-goyangkan bahu Indira. Indira tidak merespons, ia malah memegangi pipi yang terlihat memerah. "Pipi lo kenapa? Dari tadi dipegang mulu. Kayak abis ditampar. Ditampar sama siapa?"

Indira tetap tidak merespons. Ia mengemasi barang-barangnya ke dalam tas. "Huft. Gue lagi mau sendiri. Lo jangan khawatir, gue lagi butuh refreshing. Jangan chat duluan sekarang, gue mau meditasi jadi matiin HP seharian. Bye," cerocos Indira panjang lebar lalu melenggang pergi dari kelas.

Meninggalkan Nisa yang terdiam bengong. "Dia kenapa sih?" gumamnya bertanya pada cicak-cicak di dinding.

"Kenapa gue jadi sadgirl begini anjir? Padahal ini cuma tamparan. Bukan gelut kayak biasa. Kenapa lemah banget hati gue sialan. Kenapa harus baper coba? Kenapa?" Indira memaki-maki diri sendiri. Ia mengacak-acak rambutnya frustrasi.

"Kayaknya lo lagi ada masalah," ujar Damian muncul lalu merangkul Indira. Indira hanya menatap Damian tanpa minat, ia berusaha menepis rangkulan. "Nggak usah mikir macam-macam. Tenang aja, gue cuma mau ngajak lo jalan biar nggak frustrasi. Biar lo nggak setres."

"Ke mana?" tanya Indira penasaran.

"Udah ikut aja!" tegas Damian, memaksa.

Indira mendengus. "Lo mau nyulik gue ya?" tanya Indira su'udzon. Damian tidak menjawab, ia semakin erat merangkul Indira. Indira meronta-ronta, tetapi, tetap saja gagal. Hatinya sedang penat, tenaga berkurang.

Dari kejauhan, Galasta diam menatap pemandangan di depan sana. Entah kenapa, rasa nyesek itu kembali menyergap. Walaupun sudah ada Alura di sampingnya, ia malah merasa aneh. Ia juga merasa bersalah telah menampar Indira. Galasta menghela napas, hubungannya dengan Indira berlika-liku tidak jelas.

"Gal, kok ngelamun? Mikirin apa?" tanya Alura memegang lengan Galasta erat.

Galasta meringis. Ia tidak suka sikap Alura yang mendadak posesif seperti ini. "Gue mikirin Indira," ujar Galasta jujur sambil menatap Indira sendu.

Alura melepas cekalan tangan pada lengan Galasta. "Kenapa kamu mikirin dia sih, Gal? Dia kan udah jahat sama aku," ujar Alura menekuk wajah.

"Eh, jangan ngambek dong. Nanti aku beliin es krim coklat kesukaan kamu ya?" tawar Galasta memcubit pipi Alura gemas.

"Ih main cubit aja. Yaudah yuk kamu harus traktir aku banyak!"

"Oke siyap!"

***

Ini Aku [Completed] ✔Where stories live. Discover now