Bagian 18 | Buruk

406 58 2
                                    

Kembali menjemput Senin, si monster day. Setelah semalaman ia tidak bisa tidur, Indira memantapkan tekadnya untuk kembali ke titik awal. Di mana dirinya dan Galasta tidak saling mengenal. Bertingkah laksana orang asing itu lebih baik dari pada nantinya harus berurusan dengan Melanie atau Alura.

"Eh, bu Jamilah mukanya jutek beud njir. Lihat tuh perutnya maju ke depan kayak orang hamil. Keringatnya segede gaban!" seru salah satu personil kelas Indira di belakang yang sudah asyik berghibah ria.

"Heh, jan gitu ntar kualat. Mending lihatin tuh Damian ganteng banget ya amsoy jadi pemimpin upacara. Aura kegantengannya berkali-kali lipat nambah! Duh, jadi pengin nyaring keringatnya buat gue," celoteh siswi lainnya.

Nesia melotot. "Jangan Damian dong! Dia gebetan gue dari awal MPLS. Gantengnya subhanallah. Harusnya aku yang di sana," nyanyi Nesia menunjuk ke arah sosok perempuan yang termasuk petugas upacara.

"Halah, baru gebetan kali, Nes. Damian masih ada lowongan. Gue tuh cantik bohay, gak mungkin tetolak 'kan?" Betapa percaya dirinya siswi tersebut.

"Percuma kalau otak kosong kayak Syakira. Lo perlu IQ 170 buat bersanding sama Damian," oceh Nesia. Upacara diriingi perdebatan antara Nesia dan siswi itu juga lainnya yang asyik berghibah ria.

Namun, baru beberapa menit. Dihebohkan dengan Damian yang mendadak ambruk. Indira melotot tak percaya, kaki jenjangnya secara refleks menghampiri. Ia dengan beberapa petugas PMR membantu membawa Damian ke ruang UKS. Tak peduli dengan tatapan para murid maupun guru.

"Duh, Dam. Lo kenapa pingsan segala sih?" oceh Indira kesal, tersirat khawatir yang begitu mendalam. Indira menatap Damian khawatir yang sedang diperiksa oleh salah satu adik kelas yang tergabung sebagai petugas PMR.

"Kak Damian pingsan karena kelelahan. Dan kayaknya dia belum sarapan, Kak," ujar petugas PMR tersebut menatap Indira. Indira bernapas lega mendengarnya. "Oh ya, Kak. Saya dan teman saya jam pertama ada ulangan Matematika Wajib. Kami tinggal nggak papa ya?"

Indira mengangguk. "Iya, nggak papa. Belajar yang rajin sana," ujar Indira sok menasehati. Biar dibilang baik hati sama adkel, padahal dirinya sendiri jarang belajar. Baru buka sampul aja udah mual suluan, kayaknya bawaan debay.

"Makasih, Kak. Permisi." Dua petugas PMR keluar dari UKS, Indira duduk di kursi dekat bankar.

Matanya menatap lekat wajah Damian yang terlihat begitu sempurna. Wajah tampan bak artis, pipi tirus, hidung mancung, alis tebal, ditambah mata hitam lekat yang tampak tajam. Blush. Indira merasa wajahnya panas saat kini matanya menatap lekat bibir merah muda-lantaran tak pernah memakai rokok.

Hei, Indira sudah tidak waras! Kenapa bibir Damian tampak menggoda hasrat? Indira menarik napas berusaha mengendalikan diri, ia menyandarkan tubuhnya di kursi. Tatapan masih tak lepas dari wajah Damian, kedua tangan tergerak membelai surai hitam Damian yang beraroma wangi.

"Gantengnya masya Allah. Nggak kuat hayati," gumam Indira memkik tertahan. Ini terdengar lebay, tetapi, memang kenyataan kalau tiap lihat cowok ganteng Indira selalu merasa jedag-jedug gak keruan. "Ya Tuhanku, jiwa jomlo meronta-ronta ingin segera melepas kesendirian. Oh My God!"

"Lama-lama gue bisa gila di sini. Mending balik ke kelas aja. Bentar lagi jamnya bu Jamilah," gumam Indira melirik jam dinding. "Nggak papa kali ya gue tinggak sendirian Damian."

Belum sempat berdiri, tangan Indira dicekal.

"Jangan pergi, i need your love."

Hah? Love?

***

"Kenapa sih hati gue gampang ambyar begini? Damian tuh butuh bantaun lo. Love dalam artian bantuan. Lo cewek strong, Ra! Nggak boleh gampang baper kayak gini. Harusnya anti baper-baper club," cerocos Indira menatap pantulan tubuhnya pada cermin kamar mandi.

Ia membasuh mukanya. Berniat untuk mengenyahkan ingatan memalukan tadi. Efek salah mengartikan kosa kata membuat Indira kegeeran. Love yang Damian maksud adalah bantuan, bukan cinta. Aish, nggak salah kan kalau dia kegeeran?

Indira menghela napas kembali menatap cermin. Dari atas sampai bawah meneliti penampilannya. Ia malah merasa aura cowok, merasa kalau dia cewek strong anti baper-baper club. Tapi, kenapa hatinya mudah sekali ambyar karena perlakuan manis? Menyebalkan.

Jangan sampai hatinya berhasil digoyahkan oleh Galasta dan Damian. Jangan juga Kaisar. Semua cowok mengandung unsur berengsek. Mereka menyakitimu dengan cara sendiri. Indira tidak mau punya cowok semacam ayahnya. That's so stupid.

"Ekhem." Indira tersentak melihat sosok Cherry, Jean, dan Sukma kini tengah menatap dengan tatapan tak bersahabat. Mereka bertiga bersedekap dada, bertingkah sok paling berkuasa.

"Mau apalagi?" tanya Indira langsung, tidak mau berbasa-basi.

Cherry terkekeh berjalan menghampiri Indira lalu mengalungkan tangannya ke leher. Ia menatap lurus ke arah cermin. "Lo cukup bagus akhir-akhir ini udah ngejauhin Galasta. Cuma lo jangan deket-deket sama Damian juga dong. Dia gebetan gue," pinta Cherry memasang wajah sok memelas.

Indira yang tak paham mengernyit. "Lo udah ada Galasta masih ngincer Damian? Mau polistri?"

"Astaga. Ternyata IQ lu cukup rendah. Galasta itu pacar teman gue sedangkan Damian gebetan gue. Jadi, lo jangan macam-macam. Alalagi sampai mepet-mepet kayak jablay. Ngerti?" Cherry memberi nada mengancam.

"Heh, gue bukan jablay! Lagian lo siapa? Apa hak lo melarang gue buat berteman sama Galasta atau Damian?" tanya Indira menantang. Berusaha membuka gerbang keberaniannya.

"Astaga, Ra. Ternyata kejadian waktu itu masih belum mempan buat lo juga, hah? Lo mau gue tambah sekarang?" desis Cherry menarik kerah seragam Indira.

Indira melotot. "Kemarin emang gue lagi dalam fase 'nggak berdaya'. Sekarang gue pasti bisa melawan lo dengan jurus karate gue! Gue nggak bakalan membiarkan lo menyakiti my self. My self is as diamond, you know it?"

"Halah! Kita bertiga, lo cuma satu. Mana bisa menang?" Cherry tersenyum meremehkan. Ia mulai menjambak rambut Indira. Jean dan Sukma mengunci kamar mandi. Cherry mendorong Indira ke salah satu bilik toilet. Membuat cewek itu meringis memegangi kepalanya yag berdenyut.

"Jangan berani keroyokan! One by one, dong!" protes Indira tidak terima. Ia masih tetap bertahan. Matanya menatap nyalang ke arah Cherry.

Sayangnya, muka Cherry terlalu tebal. "Suka-suka gue dong. Bersama-sama itu lebih baik. Pekerjaan akan cepat selesai. Gimana sih. Gue mau buat lo jera. Sampai saat ini belum ada yang tahu kelakuan gue ke lo. Kalau lo laporin, gue 'kan bakalan menghancurkan toko kue mama lo."

Indira hanya bisa memendam kekesalannya. Ia tidak bisa melawan. Menerima perlakuan Cherry pasrah. Entah dari mana Cherry tahu tentang Saras. Yang pasti, ancaman itu terdengar amat menjengkelkan.

Indira benci saat dirinya tak bisa berkutik di hadapan lawan.

***

Ini Aku [Completed] ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora