Bagian 31 | Melindungi

860 49 4
                                    

"Woi, Gal. Gue baru dapat kabar kalau kemarin mamanya Indira meninggal. Lo samperin sana, gih. Kayaknya dia masih syok," ujar Darren memberi tahu saat dia melihat grup angkatan yang membahas tentang kematian ibu Indira karena kecelakaan.

Galasta melotot tak percaya. Padahal baru beberapa hari yang lalu dia masih berbincang akrab dengan Saras. Meninggal memang anytime. Galasta buru-buru berlari dari kelasnya. Ia tidak mendapati Indira di dalam kelas. Hanya ada beberapa anak, termasuk salah satu cewek yang membuat kontes aneh di lapangan.

"Hei, lo lihat Indira nggak?" tanya Galasta langsung.

Nesia menoleh. "Barusan dia ke taman belakang sekolah," jawab Nesia membuat Galasta langsung berlari keluar kelas. Nesia geleng-geleng sendiei melihatnya. "Dasar anak muda zaman sekarang. Nggak tahu terima kasih."

Galasta memelankan langkahnya saat melihat sosok gadis yang sedang duduk menyendiri di kursi taman belakang sekolah. Gadis itu mengeluarkan isakan lirih tertahan. Galasta mengulas senyum prihatin, ia duduk di samping gadis itu yang sepertinya tidak menyadari keberadaan Galasta.

"Nangis ya nangis aja kali. Nggak usah sok tegar kalau air mata tetap mengalir," ujar Galasta membuat Indira menoleh-menampilkan wajah syoknya.

"Gue nggak nangis kok," Indira berkata dengan suara parau. Ia mengusap air matanya secara kasar yang dicegah oleh Galasta.

Galasta menatap manik mata Indira dengan tatapan dalam. "Nggak usah malu. Nangis ya nangis aja. Bahu gue selalu stand by buat dijadikan sandaran. Siapa tahu kalau abis nangis, hati lo bakalan lega menerima kehilangan," ucap Galasta menepuk bahunya.

Entah kenapa, Indira menurut saja. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu Galasta. "Gue masih nggak nyangka aja, Gal. Mama tiba-tiba pergi. Gue belum menerima kehilangan yang satu ini. Gue sedih banget. Rasanya kesepian meskipun ada Kaisar, tante Viona, dan om Rendra," ujar Indira.

Galasta mendengus tidak menyukai saat Indira menyebut nama Kaisar. "Sekarang lo tinggal sama siapa?"

"Sama tante Viona, adiknya mama," jawab Indira. "Kehilangan seorang ibu rasanya benar-benar nggak enak. Dunia gue berasa runtuh. Masa depan mendadak ngeblur. Gue bingung harus lanjut bagaimana. Mana gue belum balas budi, bisanya nyusahin."

"Jangan bilang gitu. Jangan menyesali, mending lo berdoa buat mama lo. Keterpurukan hanya akan membuat lo merasa larut dalam luka bikin susah bangkit," ujar Galasta dengan kalimat sok bijak yang tak jelas. Terdengar menggelikan bagi Indira.

"Makasih udah pinjamin bahunya," ujar Indira tersenyum tulus kembali pada posisi semula. Galasta balas tersenyum disertai anggukan.

"Janga sedih lagi. Cewek cantik kayak lo nggak boleh sedih," Galasta mengedipkan matanya jail. Indira tertawa menepuk bahu Galasta.

"Gue ke kelas duluan, ya," ujar Indira tetap mengulas senyum.

"Nah, gitu dong. Senyum baru cantik. Yuk bareng ke kelasnya."

Galasta merangkul bahu Indira menuju kelas. Mereka berdua berjalan diirngi tawa riang tanpa peduli tatapan-tatapan aneh di sepanjang koridor. Bahkan saat ada yang mengabadikan dalam frame kamera.

***

"Gal."

Sebuah suara menghentikan langkah Galasta menuju parkiran. Cowok itu menoleh ke belakang melihat sosok Damian berdiri dengam raut wajah dstar khasnya. Galasta mengernyit. Tumben sekali ketua OSIS saingannya ini memanggil.

"Ada apa? Tudep aja gue nggan suka basa-basi," ujar Galasta cuek. Rasa tidak sukanya masih melekat mengingat bagaimana saat Damian sempat mepet-mepet pada Indira.

Damian diam mengotak-atik gawai lalu menunjukan sebuah video yang terjadi di jalan waktu itu. Galasta mengamati lekat dengan dahi berkerut. Ini kejadian waktu itu yang membuat Alura masuk rumah sakit. Galasta menampilkan wajah cengo setelah menonton secara lengkap.

"Jadi, kesimpulannya adalah Alura yang membuat drama. Biar lo marah dan akhirnya refleks menampar Indira," Damian menjelaskan. Galasta tidak percaya dengan perilaku jahat Alura. "Dan gue pernah memergoki dia ngelabrak Indira bareng Cherry, Jean, sama Sukma."

Galasta mengangguk mengerti. "Ngomong-ngomong, atas dasar apa lo ngasih tahu gue? Bukannya lo suka sama Indira?"

Damian tertawa membuat Galasta terpukau baru kali ini Damian tampak ekspresif. "Gue nggak suka sama Indira. Gue cuma minta tolong lewat dia biar bisa PDKT sama Nisa," ujar Damian.

"Nisa yang bar-bar banget bikin challenge tiktok sama Nesia?" Galasta mengernyit.

Damian menggangguk semangat. "Iya. Yaudah, cuma itu yang mau gue omongin. Duluan, ya!" Damian melambaikan tangan singkat sebelum lepas dari pandangan Galasta menuju ruang basecamp alias ruang OSIS.

"Alura, Alura, gue masih nggak nyangka niat lo bisa sejahat ini," decak Galasta tak percaya. "Gue jadi semakin merasa bersalah karena udah pernah tampar Indira. Padahal sekarang gue cuma anggap lo sebagai adik perempuan."

Galasta melanjutkan jalan ke parkiran sembari menyelam masa lalu. Dulu, ia memang menyukai Alura sejak pandangan pertama. Ia mengenal Alura dari Haikal, mantan sahabatnya. Mereka bertiga menjalin hubungan persahabatan. Hingga saat masa putih biru, rasa laknat itu mulai muncul ke permukaan.

Yamg sialnya juga dirasakan oleh Haikal. Galasta dan Haikal tidak lagi berteman dekat karena sama-sama menyukai Alura. Apalagi setelah tahu kalau Alura juga mencintai Galasta. Tetapi, karena perilaku Haikal yang membuat Alura celaka akibat kecelakaan, cewek itu dibawa ke rumah neneknya yang berada di Amsterdam untuk melakukan operasi pemulihan.

Hingga saat ini, perasaan Galasta belum memudar. Namun, jelas jenis rasa yang berbeda. Bukan rasa cinta lagi, melainkan rasa ingin melindungi sebagai kakak laki-laki. Terkadang, rasa memang dapat berubah seiring berjalannya waktu.

***

Ini Aku [Completed] ✔Where stories live. Discover now