Bagian 29 | Kalut

609 44 2
                                    

"Eh, masa nih ya kemarin si Damian nge-add Line gue. Follow IG bahkan kasih lope sampai ke akar-akarnya terus nge-tc Whatsapp. Padahal gue nggak pernah ngasih tahu dia, kok dianya tahu ya?" tanya Nisa heran menatap Indira sembari menunjukan tingkah Damian men-stalk sosmednya.

Indira meneguk salivanya gugup. "Mu-mungkin dia dapat dari data peserta didik pas awal MPLS. Kan dia ketua OSIS tuh pasti menyelidiki lo," jawab Indira beralibi-meski setengahnya memang benar. Dia yang memberikan pada Damian agar cowok itu tak terus merecoki.

Nisa mengangguk membenarkan. "Iya juga sih. Cuih memanfaatkan jabatan sebagai ketua OSIS itu tindakan berlabel ilegal. Pertanyaannya, kenapa dia mau tahu banget soal gue?"

Indira menepuk jidatnya. Nisa terlalu bodoh mengerti soal cinta. Ia hanya sosok yang sok tahu soal cinta-suka memberi wejangan padahal dianya sendiri jomlo dari lahir. Mau PDKT sama Nisa kuncinya satu, harus bersabar.

"Ya, mungkin dia suka sama lo kali atau tertarik," Indira mengatakan secara frontal biar Nisa langsung paham tidak berbelit-belit. "Gue sering lihat dia memperhatikan lo secara lekat. Sangat dekat. Bahkan menjadikan video adu tiktok lo sama Nesia sebagai mood boaster."

"Lah? Seriusan? Masa dia suka sama gue? Nggak mungkin. Dia bukannya suka sama lo ya? Dan kok lo bisa tahu kalau dia suka lihat video tiktok gue?" Nisa menatap Indira heran.

Indira terdiam sejenak merangkai kata-kata agar tidak ketahuan. "Tiap ketemuan, dia selalu lihat ke IG lo. Ketawa sendiri lihat video lo sampai gue dikacangin tahu," lapor Indira antusias.

"Lo cemburu ya? Dih. Dia pasti cuma ngetawain gue. Pasti ilfeel banget ewh," Nisa dalam mode overthinking. Indira berdecak. Nisa mah orangnya emang gitu, suka overthinking kalau dikasih tahu ada yang suka sama dia. Jadinya susah bikin percaya.

"Kalau dia beneran suka. Gimana tanggapan lo?" tanya Indira bagai reporter yang sedang mewawancarai.

Nisa merenung. "Gue? Gue tahu kalau Nesia suka sama Damian. Meskipun dia rival gue, tapi, gue nggak akan berebut cowok kayak childish. Bakalan kasih ke Nesia kesempatan PDKT sama Damian. Lagian gue belum suka sama Damian. Jadi, memberi kesempatan why not?" jawab Nisa.

Indira tersenyum. Nisa dan Nesia diam-diam saling memedulikan satu sama lain. Mereka berdua sudah seperti saudara. Indira tahu kalau mereka itu sudah dewasa pasti akan mengerti apa yang harus dilakukan saat-saat pelik tentang perasaan. Nisa selalu bisa membuat siapa pun nyaman berteman dengan dia.

"Bentar. Gue bayar dulu ya," pamit Nisa ke salah satu stand kantin guna membayar pesanan mereka berdua.

Indira diam mengedarkan pandangan ke sekeliling kantin hingga bersitatap dengan manik mata milik Galasta. Wajah Indira memerah mengingat kemarin saat di rumah Galasta. Rasanya berdebar-debar mendapatkan pujian dari Melisa.

"Woi, ngelamun. Mikirin apa lo?" tegur Nisa ternyata sudah kembali di hadapan Indira.

"Kemarin gue ke rumah Galasta."

"Hah? Seriusan? Gue heran. Sebenarnya hubungan kalian udah sejauh mana?"

***

"Nis, duluan aja ya gue mau ke toilet dulu," ujar Indira buru-buru pergi menuju toilet menuntaskan panggilan alam sebelum mendapatkan persetujuan dari Nisa. Indira menatap pantulan wajahnya di cermin. Dahinya berkerut melihat empat sosok lain muncul bersamaan.

"Mau lo apa?" tanya Indira langsung tanpa mengalihkan pandangannya dari cermin. "Kalau mau ngomong atau kasih ancaman langsung aja. Childish banget sih."

"Sialan!" umpat Alura. "Gue di sini mau memperingatkan sama lo jangan melangkah lebih jauh lagi atau lo akan merasa sakit hati. Tujuan gue ini baik biar lo sadar diri. Galasta enggak mungkin benar-benar suka sama lo."

"Maksud lo apa?" tanya Indira heran.

Alura tertawa. "Lo lihat aja nanti. Lo akan tahu alasan Galasta PDKT sama lo. Uh, kalau gue jadi lo gue bakalan mundur sadar diri."

Indira hanya mengernyit tak mengerti. "Lo bisa ngomong lebih jelas nggak? Gue nggak paham," desis Indira.

"Ya, pokoknya ada. Dan itu masih dirahasiakan. Ntah bagaimana nasib lo nanti. Siap-siap berlembar-lembar tisu. Nangis karena kebanyakan berharap," ujar Alura disusul oleh tawa Cherry, Jean, dan Sukma. Lalu mereka berempat melakukan high five ala cabe-cabean sebelum pergi meninggalkan Indira yang menampilkan wajah cengo.

"Maksudnya apaan coba. Mak lampir emang suka gak jelas," Indira mengedikan kedua bahu bersikap bodo amat. Ia berjalan keluar toilet sambil bersenandung lirih. Kaki jenjangnya berhenti melangkah saat mendengar bunyi dering gawai.

"Siapa?" Dahi Indira mengernyit melihat nomor tidak terkenal menelpon. Dengan rasa ragu ia memilih untuk menjawab telepon.

"Halo? Siapa?"

"Halo, apa benar ini keluarga nyonya Saras?"

Indira mengernyit. Entah kenapa perasaannya mendadak tidak tenang. "Iya, saya anaknya. Kenapa ya?"

"Saya dari rumah sakit Paramedika ingin memberitahu kalau sekarang nyonya Saras dirawat di rumah sakit kami karena kecelakaan."

Deg!

Tubuh Indira bergemetar mendengar suara di seberang sana. Perasaannya menjadi kalut, ia bahkan tidak bisa mengeluarkan sepatah kata apa pun untuk membalas perkataan suara di seberang sana.

Dunia Indira terasa runtuh. Saras kecelakaan katanya? Air mata Indira menetes. Tanpa babibu, ia berlari menuju parkiran diiringi perasaan kalut dan air mata yang masih mengalir deras tak mau berhenti.

"Ma, mama," gumam Indira melajukan motornya dengan kecepatan cepat hingga beberapa kali melewati lampu merah. Ia benar-benar merasa khawatir dengan Saras.

***

Ini Aku [Completed] ✔Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora