25 || Penasaran

214K 18.3K 705
                                    

"Kaley," Panggil pak Arkan.

Gue yang berbaring melirik pak Arkan sekilas, "Hm?"

"Liat saya dulu." Tegur pak Arkan.

Tanpa banyak bicara gue langsung membenarkan posisi jadi menghadap dia, "Apa?"

Pak Arkan menatap gue lekat, tangannya melingkar di pinggang. "Saya kayanya udah mulai sayang banget sama kamu."

Gue mengedipkan mata berkali-kali. Seolah ini cuma mimpi ayolah Ley! Jangan kaya kemarin!

Gue masih diam dan menelan ludah yang mulai keliru, "G-gimana pak?"

Pak Arkan mendengus, "Enggak."

Gue berdecak sebal, udah terbang langsung terbuang. Mungkin itu cuma pikiran gue yang mulai ngawur.

Tangan gue membenarkan rambut pak Arkan yang sedikit berantakan, "Besok ada kelas?"

"Ada, cuma dua kelas. Jadi pulangnya lebih awal dari kamu," Pak Arkan mengangguk tapi matanya terpejam. "Besok juga ada meeting dikantor. Kemungkinan saya lembur, kamu dirumah sendirian gak pa-pa?"

Enggak, hati gue bilang gitu. Tapi mulut gue bertolak belakang. "Jangan terlalu forsir pak, baru juga sembuh."

Pak Arkan terkekeh dia membuka matanya. "Yaudah enggak jadi deh."

"Lah?" Kening gue berkerut, "Kenapa emangnya?"

"Kata kamu kan enggak boleh," Jawab pak Arkan dangan muka polos.

Mata gue membulat. Kok dia bisa tau sih? apa jangan-jangan ...

"Pak Arkan bisa baca pikiran orang?"

"Oh jadi benar, padahal saya tebak aja." Pak Arkan mengangkatkan bahu.

Mati kutu!

"Udah tidur ah." Gue memejamkan mata terpaksa daripada ngebahas itu lagi kan, malu gue.

Pak Arkan tertawa, dia menusuk-nusukan telunjuknya ke pipi kanan gue, "Saya enggak bakalan lembur Kaley."

Gue berdahem.

"Selamat tidur," Pak Arkan mengecup pipi gue sekilas.

***

Tengah malam kebiasaan gue dari kecil suka bangun karna haus. Pelan-pelan gue menyikrikan tangannya pak Arkan yang melingkar sempurna diperut. 

Gue beranjak dari kasur pelan-palan takut pak Arkan kebangun. Gue harus turun kebawah ambil minum tapi dikamar pak Arkan juga ada lemari pendingin, tapi gue lebih suka minum air biasa.

Gue mengikat rambut gue asal. Tepat pada saat ditangga gue melihat dr.Amara yang keluar dari kamar? ntah kamar yang mana.

Dulu gue kesini cuma ada empat kamar. Kamar pak Arkan sama Vino diatas. Sedangkan kamar Orang tuanya pak Arkan ada dibawah dan satu lagi kamar tamu.

Jadi di rumah ini ada berapa kamar?

Gue menuruni anak tangga tergesa-gesa waktu melihat dr.Amara mau berjalan menuju gue.

Gue bersembunyi dibalik kulkas besar di dapur, ribu-ribu pertanyaan bermunculan.

Kenapa dr.Amara ada disini malam-malam? dan yang lebih parahnya ada yang sakit kah di rumah ini?

Kening gue berdenyut pening, gue tau siapa dr.Amara bahkan gue kenal.

dr.Amara duduk diruang tamu bersama nyokap dan bokap-nya pak Arkan, jadi mereka ada urusan apa sampai dr.Amara datang kerumah tengah malam gini?

Gue menguping sedikit dibalik tembok. Jarak gue sama meraka lumayan dekat.

"Gimana keadaanya dok?" Nyokap bertanya pada dr.Amara, bisa dilihat jelas bawah muka nyokap pak Arkan khawatir.

dr Amara tersenyum, "Ada perkembangan nyonya."

Nyokap tersenyum sumringah, "Syukurlah."

"Kira-kira kapan dia siuman?" Bokap pak Arkan bertanya dingin.

Gue bergidik ngeri dengar nada bicaranya Ayah mertua. Baru kali ini gue dengar dia bicara sedingin itu.

dr.Amara tersenyum segan, "Mungkin dua sampe tiga bula lagi tuan, tapi saya tidak berjanji."

Bokap berdecih, "Bisakah anda bergerak lebih cepat lagi? saya muak ngeliat muka dia."

dr.Amara meringis, "Sakitnya cukup parah, saya disini juga berusaha semaksimal mungkin."

"Sudah, kamu tidak perlu merasa bersalah Amara." Nyokap berusaha menenangkan dr.Amara.

dr.Amara tersenyum lega. Dia berdiri dari sofa itu, "Kalau gitu saya permisi dulu."

Nyokap mengangguk, "Hati-hati."

Gue keluar dari tempat persembunyian menuju dapur, bahkan rasa haus gue langsung ilang entah kemana.

Gue menuangkan air dengan tangan yang bergetar, rasa panik keluar tiba-tiba gak mungkin kan pak Arkan yang sakit? oh enggak mungkin!

Gue meminum sedikit air yang berisi air putih itu, tenggorokan gue mulai menyempit, rasa penasaraan sekaligus takut berbaur menjadi satu.

"Kaley." Seseorang menepuk pundak gue pelan.

Tubuh gue mendadak kaku, ternyata Pak Arkan.

"Kok bangun?" Tanya gue sambil meletakkan gelas barusan.

"Hm," Pak Arkan bergumam tidak jelas, "Kamu ngapain disini?"

Gue berdesir, "Haus, dikamar pak Arkan enggak ada air biasa."

Pak Arkan mengangguk. Dia melepaskan pelukannya,"Yaudah tidur lagi apa mau shalat malam dulu?"

"Shalat dulu aja pak, kepala saya mulai pening."

Pak Arkan menatap gue khawatir, "Kamu sakit?"

"Enggak, saya enggak sakit pak, cuma ..."

Kepala saya pening gara-gara mikirin kejadian barusan.

"Cuma?" Pak Arkan mengangkatkan sebelah alisnya.

Gue gelagapan, "Cuma ... ayo kita shalat!"

Pak Arkan terkekeh, "Ayo."

Pak Arkan berjalan duluan keatas. Gue dibelakangnya, mata gue enggak bisa diam. Sesekali melirik setiap sudut rumah pak Arkan.

Gue pengen tau dr.Amara keluar dari kamarnya siapa? Vino kah? Tolong lah! Vino kamarnya di atas lagian enggak mungkin Vino deh, soalnya dia baik-baik aja.

Watu gue berbelok untuk menaiki tangga mata gue berhenti di sebuah pintu? itu bisa dibilang pintu? dahi gue berkerut-kerut melihat apa itu pintu atau bukan?

Karena warna dan teksturnya serupa dengan dinding, bahkan kalau diliat sepintas pasti enggak bakalan ada menyangka kalau itu pintu dan gue enggak se-bego itu untuk tidak menyadari bahwa itu pintu, jelas di sana ada goresan yang berpola kotak tapi tanpa kenop.

Jadi apa yang disembunyikan dibalik pintu itu?

dr.Amara kunci jawabnya.

***

Dosen KampusWhere stories live. Discover now