45 || Rumah sakit

209K 19.1K 2.4K
                                    

ARKAN POV.

Jantung gue berdegup dengan kencang serta mata gue menatap Kaley yang berada di dalam ruangan unit gawat darurat dalam keadaan tidak sadarkan diri.

Gue mengutruki kebodohan diri gue sendiri yang enggak bisa menjaga Kaley dengan baik. Sekarang semuanya sudah terjadi, tidak ada gunanya menyesali apa yang sudah terjadi yang ada memperkeruh susana.

"Arkan!"

Gue meluruskan padangan menuju lobi rumah sakit. Disana ada keluarga Kaley. Mereka menampilkan rawut muka yang  tidak bisa diartikan.

Gue bingung harus kaya gimana menjelaskan semua kejadian ini kepada keluarganya Kaley? Bunda nya Kaley  dari jauh udah nangis dan sialnya Vino malah pergi nemenin Viola! Sumur hidup baru kali ini gue gedeg banget sama tuh bocah!

"Kaley gimana keadaanya?" Nyokap gue bertanya disela isakannya, "D-dia baik-baik aja kan?"

"Mah ..." Gue memeluk nyokap erat. Perasaan gue tercambuk mengingat Kaley yang berada di ruangan sana belum lagi dokter sedaritadi enggak keluar-keluar dari ruangan. "K-kaley kecelakan karena nyelamatin Viola."

Nyokap melepaskan pelukannya. Dia menggeleng tidak percaya. "Jangan bercanda kamu Ar."

"Arkan serius." Gue mengangguk. "Maafin Arkan enggak bisa menyelamatkan Kaley Mah ..."

"Jangan minta maaf sama Mama, minta maaf sama keluarga nya Kaley." Nyokap melirik keluarga Kaley yang sedang duduk dikursi rumah sakit.

Gue mengangguk lagi berjalan menghampiri keluarganya Kaley.

"Bun ..." Gue berjongkok dihadapan Bunda. Gue ngerasa bersalah banget sama Bunda dia udah percayai anaknya ke gue tapi gue malah lalai ngejaganya. "A-arkan minta maaf bun ... Arkan udah enggak becus ngejagain Kaley."

"K-kamu enggak salah nak." Bunda menyuruh gue untuk bangun. "Ini semua sudah takdir jangan salahain diri kamu ya?"

"Dengan keluarganya pasien bernama Kaley?" Dokter itu akhirnya keluar setelah beberapa jam lamanya. Gue berdiri dan disusul dengan yang lainya.

"Saya suaminya." Gue mendekat, "Gimana keadaan istri saya?"

"Pasien kekurangan banyak darah. Apakah ada yang sama dengan golongan darah ibu Kaley?" Dokter itu bertanya pada kita semua, "Golongan darah beliau AB, berhubung darah di rumah sakit ini sudah kehabisan beberapa golongan darah, termasuk golongan darah yang bisa di butuhkan oleh pasien."

"AB?" Gue membeo.

"Golongan darah saya AB." Seseorang berteriak dari belakang, "Saya siap mendonorkan darah saya buat pasien tersebut."

Semua orang menyorot kepada sumber suara.

"Viola?" Gue tercengang melihat Viola yang duduk di kursi roda bersama Vino.

Viola memang tidak terlalu parah lukanya tapi kok dia mau ngedonorin darahnya sama Kaley? Sedangan dia kan benci sama bini gue?

"Ikut saya keruangan untuk cek darah Anda." Dokter itu berjalan beriringan dengan Viola. Viola mengiyakan dia mengikuti dokter masuk kedalam ruangan.

Gue masih belum sadar apa yang sebenarnya terjadi.

"Bang ..." Gue tersentak, dia Vino memeluk gue erat. "Maaf gue udah kurang ajar sama lo."

"Gue tau, gue terlalu egois selama ini tanpa memperdulikan lo dan rumah tangga lo." Vino kian mempererat pelukannya,"Mungkin lo gak akan semudah itu maaf gue yang kurang ajar ini."

"Vin," Gue menepuk-nepuk pundak dia, "Gue tau siapa lo bahkan gue tau semua sisi buruk lo. Gue ngerti posisi lo saat itu gue pasti maafin, lo adek gue satu-satunya cuma gue ngasih saran buat lo jangan gegabah dalam bertindak kalau itu ngerugiin banyak pihak, paham?"

"Iya, Vino ngerti." Vino mengangguk. Dia melepaskan pelukannya. "Viola udah inget semuanya bang."

Mata gue berkedip bekali-kali, Viola udah pulih ingatannya? Serius? Huh! akhirnya penderitaan gue berakhir sudah.

"Gue ikut seneng kalau gitu," Gue tersenyum tipis. "Bilangin makasih buat Viola yang mau ngedonorin darahnya buat istri gue."

"Lo gak pantes berterima kasih bang," Vino menggeleng, "Lo udah terlalu baik buat hubungan gue sama Viola, dia merasa sangat bersalah saat istri lo yang nolongin dia, apalagi dia udah ngorbanin nyawanya."

Gue terkekeh, tolong ini cerita kaya film azab yang lagi sesion terakhir.

***

Selepas Isya, gue keluar dari mushola rumah sakit seraya menunggu perkembangan Kaley, setelah mendapatkan donor darah, kata dokter dia sekarang lebih baik kondisinya hanya cedera ringan di kepala, bahkan sekarang dia ada di ruang rawat bukan UGD lagi.

"Arkan, kamu dari mana?" Bunda bertanya, wanita paru baya itu tersenyum tipis.

"Dari mushola Bun." Gue menyodorkan tangan buat salim bunda menyambutnya.

"Makasih ya, udah selalu doain Kaley." Bunda tersenyum.

"Itu udah kewajiban Arkan bun." Gue membalas senyuman Bunda, "Kaley ada perkembangan bun?"

"Dia udah siuman." Bunda terkekeh. Mata gue berbinar seketika. "Dari tadi nanyain kamu mulu loh ..."

"Serius bun?" Bunda mengangguk, gue bergegas bangkit dari kursi. "Arkan mau ketemu Keley dulu yah bun."

Bunda tertawa, "Iya sana."

***

Pelan-pelan gue membuka pintu takutnya dia lagi tidur entar yang ada gue ngenganggu lagi. Mata gue melirik Kaley yang lagi duduk sambil mainin ponselnya.

Dasar rese! Bukanya istirahat ini malah mainin ponsel, gue berjalan mendekat dan Kaley belum sadar atas kehadiran gue.

"Ley," Panggil gue tapi dia masih sibuk dengan ponselnya. Gue berdecak sebal gak tau apa gue khawatir banget sama dia. "Kaleyy ..."

"Eh?" Dia menengok kearah gue, "Mas?"

Gue dengan cepat mendekap tubuh kecilnya, "Jangan ngelakuin kaya kemarin lagi janji?"

"Iyaa ..." Kaley tersenyum, dia mengecup pelipis gue singkat.

"Kamu bikin aku khawatir tau gak?" Gue melirik Kaley males, "Mana lama banget lagi sadarnya."

"Yang pantingkan sekarang udah sadar." Kaley mengusap kening gue yang bercucuran keringat, dia tersenyum manis. "Jangan beratem lagi ya?"

"Udah makan?" Gue mengalihkan pembicaraan.

"Udah," Kaley menunjuk mangkuk yang sudah kosong, "Sama Mama."

"Minum obat?"

"Udah,"

Gue tersenyum, "Pintarnya mahasiswi saya ..."

Kaley terkekeh.

***

Dosen KampusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang