27 || Nama panggilan

203K 18.1K 976
                                    

Gue menghempaskan tubuh ke ranjang. Pungung gue nyeri banget rasanya. Mungkin karena efek dorongan kak Missel di kampus cukup keras, bibir gue lebam dong, itu cewek tenaganya besar juga.

Gue menatap langit-langit kamar. Teragedi waktu dikampus terhiyang. Waktu gue didorong, ditampar bahkan dikatain. Itu baru kak Missel yang ngelakuin gimana entar kalau ketua komonitas penggemar pak Arkan tau?

Kadang gue mikir alay banget orang-orang sampai bikin komunitas segala.

Gue memijit pelipis pening. Shit! gue baru nyadar kalau gue pulang duluan tanpa ngabarin pak Arkan dulu. Tangan gue mengambil ponsel di tas kecil mencari kontak pak Arkan.

"Hallo pak." Ujar gue waktu sambunganya terhubung.

"Iya, kenapa?"

"Saya lupa ngabarin kalau saya udah pulang duluan dan sekarang dirumah."

Gue bisa mendengar pak Arkan menghela nafas panjang.

"Kenapa enggak ngabarin sih?"

"Kan saya udah bilang, lupa."

"Dirumah mamah atau dirumah kita?"

"Dirumah kita."

"Yaudah saya sekarang pulang. Kamu diam-diam jangan kemana-mana!"

"Iyaa."

"Mau saya beliin apa?"

"Seblak boleh?"

"Enggak."

Gue berdecak sebal, "Ish! tadi nawarin mau beli apa, giliran mau seblak gak boleh!"

"Cari yang lain kek."

"Apa dong?"

"Nasi padang mau?"

"Boleh."

"Yaudah saya beliin dulu. Assalamulaikum."

"Wallaikumsalam."

Gue mutusin sambunganya. Memejamkan mata gue sebentar dan kebablasan tidur, udah biasa. Itung-itung nunggu pak Arkan pulang. Gue mengambil guling untung dipeluk berhubung pak Arkan gak ada jadi pake guling dulu. Dasar bucin!

Lama-kelamaan tidur gue terusik. Pada saat sesuatu yang kenyal menempel di pipi gue. Gue membalikan badan berusaha tidur lagi. Badan gue capek banget rasanya, nyatanya tidur gue malah makin diusik. Gue mengeram kesel.

"BISA DIEM GAK SI-" Gue meringis, "Eh? pak Arkan."

Pak Arkan menyorot gue malas, "Dari tadi dibangunin juga gak bangun-bangun."

"Ya, kan saya tidur." Gue menatap pak Arkan lebih males, "Mana nasi padangnya?"

"Di meja makan," Pak Arkan meluk gue dari samping, "Itu bibir kenapa?"

Tubuh gue menegang, gue harus jawab apaan ini? Ayolah gak mungkin kan gue ceritain masalah dikampus barusan. Apalagi masalah ini menyakut dia.

"Kebentur dinding." Gue nyengir.

Pak Arkan mendongak. Dahinya berkerut-kerut. "Gak mungkin, saya enggak oon Kaley."

"Terserah bapak mau percaya atau enggak."

Pak Arkan mengecup bibir gue sekilas, "Ditampar sama Missel?"

Gue diam. Kok dia bisa tau?

"Kata siapa?" Tanya gue dengan gelagat sok enggak tau.

"Saya barusan."

"Mandi gih." Gue mengalihkan pembicaraan daripada ngebahas itu-itu mulu yang ada makin kesel gue sama kak Missel. "Saya siapin makan dulu."

Pak Arkan menggeleng, "Jawab dulu itu bibir kenapa? Sampe lebam gitu."

"Yaelah pak, saya kan udah bilang kebentur dinding."

"Gimana ceritanya kebentur dinding tapi lebamnya diujung bibir?" Pak Arkan berdecak sebal, "Gara-gara Missel kan?"

"Iya ..." Gue mengangguk pasrah, "Bapak tau dari mana?"

"Gosip." Pak Arkan menjawab singkat, "Missel sudah saya tegur."

Mata gue membulat, "serius?"

"Hm." Dia bergumam, "Lain kali kalau ada yang ngebully kamu lagi bilang ke saya Kaley. Apalagi ini menyangkut saya."

"Iya deh maaf." Gue melepaskan pelukannya, "Mandi ah sana!"

"Mandiin." Ujar pak Arkan jahil.

Gue bergidik ngeri, "Apaan gak mau. Mandi sendiri!"

"Ck, Iya!"

***

Pukul 7 malam disini gue sama pak Arkan ada di meja makan cuma berdua. Ih! Gue tuh kangen sama Dean tapi gimana gue juga sibuk kuliah. Belum lagi tugas-tugas yang tiap hari selalu ada.

Gue mendesah pasrah. Mata gue sesekali melirik pak Arkan yang masih asik makan. Niatnya gue besok mau ke rumah sakit dr.Amara bekerja.

Berhubung jadwal kampus gue besok lumayan luang, gue masih ada waktu panjang buat keluar walaupun ada kelas pagi cuma sebentar bolos dulu aja lah.

Gue makan aja gak nafsu. Kepikiran siapa yang sakit waktu dirumah nyokapnya pak Arkan. Gue mengambil gelas. Meneguknya sedikit.

"Pak." Panggil gue.

Pak Arkan menatap gue, "Hm?"

"Besok saya berangkat sendiri. Pak Arkan berangkat kekampus duluan aja." Ujar gue. Dalam hati ini tuh berdo'a agar pak Arkan enggak tanya kenap-

"Kenapa?"

Gue menghela nafas pasrah, "Masuk siang."

"Iya?" Pak Arkan menyelidik.

"Iya." tapi boong. Gue mengangguk mantap. Gak pa-pa titip absen dulu bulan ini.

Pak Arkan mengangguk, "Pulangnya jangan kaya tadi lagi pulang bareng saya."

"Harus banget emang?" Gue tersenyum geli.

Pak Arkan menatap gue kesal, "Harus lah. Lagian kamu tuh susah banget diajak pulang bareng. Sekalinya mau harus dibujuk dulu."

"Bukan gitu," Gue tersenyum, "Saya males digosipin aja."

"Kaley," Panggil pak Arkan, "Coba ganti deh panggilnya jangan pake Saya-pak gak enak di dengar nya."

Gue yang lagi mengaduk makanan jadi mendadak berhenti, "Terus panggil apa?"

"Aku-kamu."

Uhuk ...

Gue tersedak nasi, menatap pak Arkan horor. "Aku-kamu?"

"Iya." Pak Arkan tersenyum, "Kita kan udah nikah masa iya panggilnya Saya-bapak mulu."

Gue meringis, "Iya juga sih."

"Coba kamu panggil Aku dengan sebutan mas."

Gue memejamkan mata. Jantung gue berdegup kencang. "M-mas."

"Iya sayang?" Pak Arkan ngakak.

Gue menutup muka pake telapak tangan dan ngerasain ada sensasi berbeda di dalam diri gue. "Apaan sih!"

"Biasain ya, kamu panggil aku dengan sebutan mas."

"Iya." Gue mengangguk terpaksa. Jujur aja sebenarnya agak geli aja gitu tapi ya mau gimana lagi orang benar kok yang dibilangin pak Arkan. "Tapi kalau dikampus mah enggak."

Pak Arkan menaikan alisnya sebelah, "Kanapa emangnya?"

"Malu lah." Cibir gue, "Masa iya sama dosen sendiri panggilanya mas sih?"

"Kenapa harus malu? Orang kita udah nikah ini." Ujar pak Arkan.

"Pak ..." Rengkek gue.

"Tuh kan kamu panggil aku pak lagi. Males ah." Pak Arkan bangkit dari kursi.

"MAS ARKAN!" Teriak gue lantang," SAY- EH? AKU LUPA!"

"Aku males Kaley." Saut pak Arkan dari tangga.

Cielah masalah panggilan aja ribet banget sih!

***

Dosen KampusWhere stories live. Discover now