53 || Aktivitas

196K 17.3K 560
                                    

Seperti kemarin pak Arkan perintahkan. Gue mengerjakan soal yang enggak ketolong banyaknya, kepala gue rasanya mau meledak. Pusing antara tugas dan skripsi. Belum lagi satu soal jawabannya hampir memenuhi satu lembar buku.

Lah, ini apa kabar gue disuruhnya ngerjain lebih dari sepuluh soal?

Pak Arkan emang minta gue pites!

"Kurangin dong soalnya." Ujar gue ke pak Arkan. Orang itu malah menaikkan sebelah alisnya dengan ekspresi yang minta ditampol.

"Gak bisa lah," Gerut pak Arkan. Dia merebahkan kepalanya dipundak gue. "Salah siapa orang lagi ngejelasin malah dengerin musik?"

Itu juga kan gara-gara elo!

Coba kalau gue enggak bergadang kemarin malam pasti enggak ngantuk dikelas.

"Tega banget sih?" Gue melirik kearah pak Arkan sedikit, lalu memandangi lagi kertas yang punuh dengan coretan.

"Mau tidur Ley." Pak Arkan mendongak.

Gue membuang nafas pelan. Memang ini udah pukul 1 siang, biasanya pak Arkan selalu tidur karena malamnya dia harus mengerjakan berkas-berkas kantor maupun tugasnya sebagai dosen. Kadang gue juga kasian sama dia karena tenaganya terlalu diporsir.

"Yaudah tidur sana." Ujar gue anggar pak Arkan tidur di ranjang, karena sekarang posisi kita sedang di lantai, "Aku mau ngerjain tugas dulu belum selesai, ntar nyusul."

"Gak mau." Pak Arkan menggeleng. "ayo tidur."

"Iya, kamu duluan, ntar aku nyusul." Gue menempelkan bibir ke pipinya pak Arkan pelan.

Pak Arkan tetap menggeleng. Dia memilih mengambil selimut dan berbalik lagi kearah gue lantas menutupi seluruh tubuhnya dan tertidur. Gue memandang dia penuh arti. 

"Tidurnya di kasur." Tegur gue.

Pak Arkan tidak merespon kedua bola matanya sudah tertutup. Gue mendengus membiarkan pak Arkan tidur dengan posisi paha gue sebagai bantalan.

Percuma kalau gini caranya yang ada makin susah ngerjain tugasnya, untung aja ada meja kecil mempermudah pekerjaan gue.

***

Terlalu lama menunggu pak Arkan bangun, lebih baik gue masak buat makan malam walaupun gue tidak terlalu ahli dalam bidang permasakan se-enggak nya gue udah belajar sedikit demi sedikit.

Pelan-pelan gue membenarkan kepala pak Arkan dan merebahkan diatas bantal. Kaki gue udah kesemutan woy! Karena terlalu lama dalam posisi yang sama.

"Masak apa ya?" Mata gue menatap lekat bahan masakan yang berada dilemari pendingin.

Di sana terdapat : sayur-sayuran, daging mentah, dan beberapa rempah-rempah. Kalau dipikir-pikir otak gue udah cape banget buat memikirkan sesuatu yang kurang penting. Masak apa aja yang penting bisa ditelen.

Beberapa potongan daging gue ambil, gak pa-pa coba dulu malau gagal gue suruh pak Arkan yang habisin. Gue meletakkan bahan-bahanya diatas meja. Tangan kanan gue memulai memotong kecil-kecil daging itu sampai step terakhir.

Semua makanan udah siap dihidangkan. Gue meletakkannya di atas nampan dan menaiki tangga untuk memberikannya ke pak Arkan.

"Belum bangun juga nih orang." Gue menyimpan makanan itu di atas meja dan menghampiri pak Arkan yang masih tergulung selimut tebalnya.

"Mas, bangun." Gue mengoyang-goyangkan tubuhnya. Bukan pak Arkan namanya kalau disuruh bangun dia langsung bangun. Pasti dia akan menggangkatkan bantalnya dan menemukannya diatas muka.

"Ayo dong bangun." Gue menarik pelan bantal itu dari atas mukanya. Pak Arkan membuka matanya dengan sipit kemudian tertidur lagi.

Rese banget nih dosen.

"Bangun mas, ini udah sore!" Gue berdiri diatas tubuhnya kemudian menarik kedua tanganya.

Gagal.

Gue merendahkan diri. Memandang wajah pak Arkan dari dekat tidak terhitung berapa kali gue memuji parasnya dan gue gak bisa ceritain sebagaimana gantengnya pak Arkan karena dia itu suami gue bukan suami kalian ...

Seketika gue tertawa kecil kalau cara halus gak bisa, cara sedikit kasar tidak salah bukan?

"Mas, aku izin pergi sama Reynald ya?" Gue berbisik.

Ajaib! Mata pak Arkan langsung terbuka lebar. Dia menatap gue tidak suka.

Gue nyengir.

"Coba ulangin tadi bilang apa?" Pak Arkan menyorot gue tajam.

"Bercanda ..." Gue terkekeh. "Makan dulu, belum makan siang kan tadi?"

Pak Arkan menggeleng. Dia menarik gue dalam dekapannya. "Belum."

"Lepas ah!" Gue berontak.

Pak Arkan berdecak sebal, "Mana makananya?"

"Ini," Gue menyerahkan makanan itu, "Abisin."

"Kamu enggak makan?" Tanya pak Arkan.

"Udah barusan."

"Kok kamu enggak ngebangunin aku sih?" Tanyanya dengan nada sedikit tidak suka.

"Tadinya aku mau bangunin kamu, lama kamu bangunannya."

"Yaudah kalau gitu, kamu kan udah makan ..." Ujar pak Arkan pelan. Gue mengangguk. Makanan yang tadinya ada ditangan dia sekarang berganti menjadi ditangan gue. "Suapin."

"Udah besar tapi masih aja disuapin." Cibir gue.

"Kan sama istri sendiri." Bela pak Arkan.

"Tugas aku udah beres." Ujar gue.

Pak Arkan mengangguk, "Skripsi kamu?"

"Gak tau pusing." Ucap gue pasrah.

"Namanya sekolah Ley."

"Coba kalau kuliah enggak ada skripsi enak kali ya?" Ucap gue sambil senyum plus bengong.

"Buat kampus sendiri aja." Pak Arkan memutar bola matanya malas.

"Oh ya," Seketika gue teringat sesuatu, "waktu kamu kuliah skripsi juga dong ya?"

"Yaiyalah!" Pak Arkan menyentil jidat gue pelanm

Gue meringis, nggak perih sih sebenernya. "Terus gimana?"

"Gimana apanya?"

"Susah gak?"

Pak Arkan mendadak tersenyum meledek, "susah banget, apalagi saat sidang skripsinya."

Gue tertegun lalu diam sebentar, "Beneran?"

"Iya," Dia mengangguk, "Dosen pembimbing aku juga killer."

"Kaya kamu dong." Ujar gue pelan.

"Siapa bilang?" Pak Arkan mengerutkan dahinya.

Gue tertawa, "banyak loh yang bilang kamu killer ... bukan aku aja."

"Aku tau," Tegasnya kemudian tersenyum jahil. "dan banyak juga yang bilang aku ganteng."

"Kalau itu boong," Tungkas gue.

"Emang iya?" Pak Arkan mendekat. Dia menatap gue lama. Gue mengedipkan mata berkali-kali. Anjir banget ini manusia! Ya, kalau diliatin sedekat itu gue gugup lah.

"Apaan sih!" Gue mengalihkan pandangan.

Pak Arkan diam. Cowok itu masih setia memperhatikan gue.

"Merah tuh pipinya." Pak Arkan terkekeh geli.

Coba bilang sama gue cewek mana yang enggak salah tingkah diliatin cowok sampai sebegitunya?

"E-enggak ya!"

"Coba lagi." Godanya dan mulai melanjutkan aksinya.

"Nanti malam tidur diluar." Ujar gue sinis.

"Bercanda!" Tegasnya.

Gue mengembuskan nafas pelan, dilanjutkan dengan rutinitas seperti biasa.

***

Dosen KampusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang