41 || Viola

202K 17.4K 1.4K
                                    

Gue merapatkan bibir menatap pak Arkan tidak percaya. Jadi selama ini Viola tinggal bareng sama dia? Terus kalau pak Arkan ke rumah Mama selalu ketemu sama Viola dong? Wah gila!

Gue melepaskan pelukannya, duduk di ranjang sambil bengong. Sungguh ini susah buat dicerna dalam pikiran gue. Kenapa gitu? Kenapa harus tinggal bareng sama Viola? Lah kalau gini caranya pasti Viola bakalan lebih deket sama pak Arkan.

Gue memijit pelipis pening. Makin kesini makin rumit masalahnya belum lagi Viola masih menganggap pak Arkan sebagai pacarnya bukan Vino, kalau gue ke rumah Mama entar gue dianggap apaan sama pak Arkan? Teman? Apa teman rasa teman?

Huh! Tapi gue juga penasaran sama Viola waktu dulu ketemu sama dia cuma sebentar dan dalam keadaan ribut.

"Ley," Pak Arkan duduk di sebelah gue, "Kamu maunya aku harus gimana?"

"Maksudnya?" Gue ngeliatin pak Arkan enggak paham, "Emang kamu kenapa?"

"Viola masih ngira aku pacarnya," Pak Arkan menghela nafas, "Kalau aku ke rumah Mama sama kamu aku harus bersikap kaya gimana?"

"Aku enggak tau." Gue menggeleng pasrah, "Aku enggak bisa larang kamu, semua keputusan ada ditangan kamu."

"Aku enggak bisa berpura-pura di depan Viola terus sedangkan aku udah ada kamu." Pak Arkan menjambak rambutnya frustasi, dia ngeliatin gue dengan tatapan sayu. "Ley ... Aku enggak mau ya, ngelihat kamu nangis gara-gara aku lagi."

Gue meringis, iya benar, gue pasti nangis kalau ngeliat pak Arkan bareng Viola tapi kan sekarang masalahnya kalau pak Arkan enggak menjalankan sandiwara itu gimana dengan keadaan Viola?

Apa gue harus egois? Melarang pak Arkan jalanin sandiwara itu? Ayolah Key lo jangan sejahat itu jadi orang. Mungkin sandiwara itu hanya sementara tapi kalau keterusan gimana?

"Aku mau ketemu Viola," Gue menatap pak Arkan serius, "Terserah kamu mau anggap aku apa waktu di rumah mama, itu semata-mata aku hanya mau ngebantu proses penyembuhanya dia."

Tolong jangan bikin gue menyesal atas yang gue ucapin barusan.

"Kamu yakin?" Pak Arkan memandang gue tidak kalah serius, "Tapi aku enggak mau ya Ley, aku enggak mau kalau suatu saat nanti kamu kemakan omongan kamu sendiri."

"Aku percaya sama kamu." Gue tersenyum sekilas, "Jangan kecewain aku."

***

Gue mengembuskan nafas panjang pada saat berdiri di depan pintu. Pak Arkan menggenggam tangan gue erat, gugup. Serius gue gugup untuk masuk kedalam rumah.

Daritadi gue mendekatkan pada diri gue supaya enggak terlihat lemah di depan semua orang. Apapun yang akan terjadi selanjutnya gue harus siap karena itu keputusan gue.

"Kalau kamu gak kuat bilang." Pak Arkan berbisik, "Aku enggak akan ngelakuin yang bikin kamu sakit."

Gue tersenyum sekilas.

Pak Arkan membuka pintu utama rumahnya. Seperti biasa rumah dipenuhi oleh ART.

Semua orang berkumpul di ruang keluarga di sana ada Vino, orang tuanya pak Arkan dan ... Viola.

Gue meringis ngeliat Viola yang begitu kurus duduk di kursi roda dan disebelah Viola ada Vino.

"Mah," Panggil pak Arkan.

Semua orang menengok. Gue bisa ngeliat raut muka Viola yang begitu antusias ngeliat kedatangan pak Arkan.

Gue diam dan bingung mesti ngapain? Nyokap nya pak Arkan juga malah ikutan diam kayanya nyokap juga ikutan bingung mesti gimana.

Gue melepaskan gengaman tangan gue yang masih menyatu dengan pak Arkan. Pak Arkan menyorot gue sebal. Dia sempat mau melayangkan protes keburu gue menghampiri nyokap dulu untuk salim.

"Kaley ..." Nyokap meluk gue, dia berbisik lirih. "Kamu udah tau semuanya sayang?"

"Iya mah." Gue mengangguk, "Kaley gak pa-pa kok."

"Maafin mama," Nyokap terisak disela bisikkannya, "Mama juga bingung mesti gimana?"

"Iya mah gak pa-pa."Gue melepaskan pelukanya.

Mama Miya tersenyum.

Pak Arkan menarik gue untuk duduk disebelahnya, lantas gue duduk. Suasana mendadak mencekam Viola melirik gue tajam. Gue menelan ludah kasar, gue hendak bangkit dari kursi tapi di cegah sama pak Arkan.

"Diam jangan jauh-jauh." Pak Arkan berbisik.

Gue melirik pak Arkan sekilas lalu memberi jarak agar tidak terlalu dekat, lagian gue gak enak sama Vino dari sebelum gue duduk di kursi dia ngeliatin gue kaya gak suka banget.

Bokap sama nyokap bangkit dari kursi, "Arkan, Kaley. Kita keatas dulu, kalau mau ketemu Dean ada dikamar Arkan."

"Iya mah, pah." Gue tersenyum.

Orang tuanya pak Arkan udah masuk kemarnya. Viola masih diam, dia memperhatikan gerak-gerik gue dan pak Arkan.

Gue yang diliatin kaya gitu risih sendiri. Serius gue paling gak suka kalau diliatin sampai sebegitunya.

Cewek itu lebih muda dari gue. Mungkin cuma beda setahunan, kalau sikap dia begitu dingin sama gue gimana caranya gue buat kenalan sama Viola?

Pak Arkan mempertipis jarak dengan gue sontak gue melotot. Mengisyaratkan dia buat menjauh.

"Vilvin," Viola tersenyum, dia melirik gue sekilas, "Dia siapa?"

Hening.

Vino pura-pura mainin ponselnya. Pak Arkan malah ngeliatin gue. Jadi disini gue berasa paling tersudutkan.

"H-hai." Gue membuka pembicaraan. Daripada diem-diem mulu. "Kenalin aku sahabat deketnya Arkan."

Pak Arkan menyorot gue tajam.

"Hallo aku Viola." Viola tersenyum manis, dia sangat lugu. "Salam kenal. Kamu namanya siapa?"

Huh! Gue menghembuskan nafas lega. Gue kira dia bakalan marah sama gue. Soalnya waktu pertama kali datang dia kaya gak suka banget sama gue.

"Kaley Anastasya." Gue mengulurkan tangan, Viola menyambut uluran nya. "Kamu boleh panggil aku dengan sebutan Kaley."

Viola tersenyum dan mengangguk.

"Vilvin aku kangen sama kamu," Viola duduk di sebelah pak Arkan, "Kamu kemana aja? Kok ilang-ilangan mulu."

Mau tau gak rasanya gimana? Gila ini sakit banget woy! Gue gak kuat buat ngeliat adegan selanjutnya lebih baik gue keatas buat nyamperin Dean.

"Aku keatas dulu ya mau ketemu Dean," Gue berdiri. Pak Arkan memandang gue enggak percaya.

"Diam." Pak Arkan berbicara tanpa suara.

Bodo amat. Gue langsung menaiki tangga menuju kamar pak Arkan. Sebelum gue membuka pintu kamarnya pak Arkan, gue masih bisa dengar suara Viola dari bawah. Gue menurunkan pandangan.

Viola lagi meluk pak Arkan dari samping, dia terkekeh geli. "Aku sayang banget sama kamu Vilvin."

Gue memejamkan mata, dada gue mendadak sesak. Gue membalikkan tubuh dan masuk ke dalam kamar dengan perasaan campur aduk.

***

Dosen KampusWhere stories live. Discover now