55 || Takdir

207K 18K 1K
                                    

Gue menatap lurus melihat langit malam. Mendongak ke atas untuk melihat bintang dan bulan.

Semuanya diluar dugaan. Gue sempat berpikir bahwa pernikahan ini hanyalah sebuah paksaan tanpa unsur cinta dan akan berakhir teragis. Namun gue salah, nyatanya ini lebih indah dari yang gue bayangin.

Mencintai seseorang yang bahkan enggak sama sekali gue kenal. Berniat untuk mencintainya pun tidak.

Memori saat pernikahan gue sama pak Arkan berputar otomatis.


Senyum gue mengembang. Ada sensasi lain dalam diri gue saat mengingat momen itu. Momen yang saat bersejarah dalam hidup gue.

Sebuah tangan kekar melingkar sempurna di pinggang gue. Gue tersenyum kecil. "Kenapa?"

"Kamu yang kenapa?" Pak Arkan balik bertanya. "Ngapain malam-malam gini diluar sambil melamun hm?"

"Enggak cuma nyari udara malam aja." Gue membalikan badan menghadap pak Arkan.

"You are mine and will forever be like that. I promise." ucapnya seraya memeluk gue.

"Promise?"

"Promise."

Gue melepaskan pelukanya. Mengamati wajah pak Arkan dari dekat. Bola matanya kebiruan, bibirnya pink alami, alis yang tebal dan hidung mancung.

Sempurna.

"Hobi amat Ley melamun," Pak Arkan memperhatikan gue males.

Gue bedacak sebal. Baru aja romantis eh, sekarang balik lagi ke sifat aslinya.

Ngeselin.

Gue duduk di balkon kamar. Di samping pak Arkan. "Oh ya, soal skripsi aku gimana?"

"Belum aku cek." Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi tetapi matanya tak lepas dari gue.

"Aku pengen cepat-cepat lulus," Gue mengeluh. "Mau kerja juga."

"Yang kerjakan aku," Ujar pak Arkan, "Setelah lulus kamu dirumah aja gak usah kerja."

Gue membuang nafas pelan, "Ini kan cita-cita aku mas." 

"Aku tau," Pak Arkan mengangguk, "Gini aja kamu kerjanya di rumah sakit aku aja gimana?"

Gue menoleh kaget kearah pak Arkan, "Kamu punya rumah sakit?"

"Enggak sih," Pak Arkan menggaruk tengkuknya bingung, "Maksudnya punya ayah aku."

"Jadi kalau kamu kerja di rumah sakit ayah bisa lebih enak gitu dan yang lebih penting itu biar mudah aku buat awasi kamu." pak Arkan nyengir.

"Aku bukan anak kacil yang perlu diawasin." Gue mendengus.

"Kata siapa?" Pak Arkan tersenyum meledek, "Tiap malam kalau mau ke kamar mandi aja harus aku temenin."

Gue melotot.

Ember banget mulutnya. Gue kan cuma sekali diantar ke kamar mandi itu juga waktu malam hari apalagi mati lampu jadi gue bangunin pak Arkan.

"Kan cuma sekali." Gue memutar bola mata malas.

"Berkali-kali juga boleh." Pak Arkan tersenyum genit.

"Mau kamu itu mah." Gue berbicara sambil masuk kedalam rumah. Niatnya mau ngerjain skripsi lagi biar cepat beres.

"Mau kemana Ley?" Pak Arkan berteriak dari luar.

"Ngerjain skripsi."

***

Di pagi harinya. Gue sama pak Arkan udah bersiap untuk ke kampus. Sekarang gue lebih sering berangkat bareng dia daripada naik ojol. Lebih hemat katanya.

"Hari ini bimbingan?" Gue bertanya seraya membantu pak Arkan membereskan rambutnya.

"Ayo aja." Pak Arkan mengangguk.

Dia terus memperhatikan gue.

"Ngapain sih liatin mulu?" Gue menyimpan sisir di meja rias lalu mengambil pewangi rambut yang biasanya pak Arkan pakai.

"Lah terserah aku dong. Mata-mata aku." Jawabnya.

Gue membalas dengan cibiran.

"Selesai!" Gue bertepuk tangan satu kali pada saat rambut pak Arkan tertata rapi, "wih . . cakep juga ya kamu ternyata."

Pak Arkan melipatkan kedua tangannya di atas dada, "Tuh mulut minta aku sumpel?"

"Mau dong." Gue tersenyum aneh.

Gak pa-pa itung-itung membalaskan aski pak Arkan barusan.

"Yakin?" Pak Arkan berjalan mendekat.

"Hm." Gue ngangguk.

"Coba sini deketan."

Gue mendekat.

"Awas ya kalau marah ntar." Dia mencoba memastikan gue.

"Enggak." Gue menggeleng kuat.

Pak Arkan memiringkan kepalanya. Gue tersenyum miring. Lantas kabur keluar kamar sambil tertawa terbahak-bahak.

"ENGGAK JADI DEH MOHON MAAF HAHAHA!!!"

"KALEY!" Teriak pak Arkan menggema dalam kamar, "AWAS KAMU YA!"

Gue yang mendengar itu dan terus berlari keluar. Berangkat bareng pak Arkan dengan kondisi seperti ini sama saja menyerahkan diri. Lebih baik gue naik ojol daripada diterkam di mobil nanti.

Mencegah lebih baik daripada mengobati.

Gue masuk ke dalam taksi online yang gue pesan beberapa saat lalu. Untung aja itu taksi online datangnya cepat banget klau enggak bisa berangkat bareng sama pak Arkan.

Gue mengambil ponsel, berniat untuk menghubungi pak Arkan.

Pak Arkan.

Kaley : Mas, aku berangkat ngampus pake ojol. Maaf aku duluan ada tugas yang belum beres sampai ketemu di kampus sayang ...

Pak Arkan : ya

Kaley : marah nih ceritanya?

Pak Arkan : Berisik.

Gue terkekeh membacanya.


Kaley : Cepet berangkat, nanti kesiangan.

Pak Arkan : Iya, ini juga mau berangkat tapi mau mampir kekantor dulu.

Kaley : Yaudah kalau gitu, hati-hati

Pak Arkan : Siappp


***

Gue menutup ponsel dan memasukkan lagi ke dalam tas. Memandang jalanan ibu kota yang selalu ramai.

Mata gue tertuju pada seorang cowok yang mengendarai mobil, kayanya gue kenal. Gue melebarkan mata dan bukanya itu mobil pak Arkan ya?

Loh itu bocah udah disini ternyata. Bukanya tadi bilang baru mau berangkat?

Gue menghela nafas. Kebiasaan pak Arkan kalau lagi bawa mobil sendiri itu cepetnya bukan maen kaya mau ngajak mati barengan.

"Itu anak  ..." Gue menggeleng pelan dan bersandar kekursi.

Dan melanjutkan perjalanan menuju kampus.

***

Dosen KampusWhere stories live. Discover now