42 || Permintaan

203K 17.5K 934
                                    

"Kaley pulang." Rengek pak Arkan. Dari tadi pak Arkan minta pulang-pulang mulu. Gue kan masih mau main sama Dean.

"Bentar dulu," Gue menatap pak Arkan malas, "Lagian masih jam tujuh."

"Aku males ditempelin Viola mulu." Pak Arkan menyenderkan kepalanya ke dinding. Dia ngeliatin gue yang lagi mengelus-elus kepalanya Dean. "Dean juga udah tidur."

"Viola nya gimana?" Gue bangkit dari ranjang menuju pak Arkan, "Aku enggak enak sama dia kalau kita pulang barengan entar dia mikir yang aneh-aneh."

"Kamu ngapain sih peduli banget sama dia?" Pak Arkan melirik gue sinis, "Lambat laun juga semuanya bakalan kebongkar Ley."

"Aku tau." Gue mengangguk, "Tapi se-enggak nya kita berusah. Aku enggak tega ngeliat dia kayanya sayang banget sama kamu."

"Tapi aku sayang nya sama kamu." Pak Arkan memeluk gue dari samping. Kepalanya ditenggelamkan di cerukan leher. "Pulang Ley ..."

"Kamu ngantuk?" Gue menundukkan kepala ngelihat pak Arkan yang lagi memejamkan matanya, "Mau nginep aja?"

"Mau pulang " Cabik pak Arkan. Gue menghela nafas. Pak Arkan itu susah banget kalau diajak keluar yang banyak orang. Pasti dia minta pulang mulu. Walaupun sekarang dirumahnya sendiri.

"Yaudah ayo," Gue mengambil tas dilaci. Sesaat gue ngeliat Dean yang udah tertidur pulas.

"Ayo." Pak Arkan bangkit dari kursi.

***

Gue melemparkan tubuh ke kasur. Rasanya beban di kepala gue berkurang sedikit, dengan santainya pak Arkan malah ngerebahin dirinya diatas tubuh gue. Gue berdecak sebal ini berat woy!

"Minggir sana ah berat kamu tuh!" Gue udah berusaha keras mendorong tubuh nya tapi gagal karena tubuh nya pak Arkan itu berat banget. "Kalau mau tidur itu pake baju kenapa sih?"

Gue memegangi pungung pak Arkan yang polos. Tiap hari ngeluhnya masuk angin giliran disuruh pake baju bilangnya gerah.

Dasar!

"Gerah ley." Adu pak Arkan. "Oh iya, kemarin aku liat kamu keramas."

Gue diam, ngeliat pak Arkan dari bawah curiga, "Kenapa emangnya?"

"Udahan pms nya?" Pak Arkan nyengir. Gue mengangguk, "mau."

"Mau apaan?" Gue menggangkatkan sebelah alis heran.

"Mau kamu lah!" Pak Arkan berdecak sebal.

"Kan aku udah bilang setelah wisuda." Gue mengusap rahangnya pak Arkan, "Lagian kalau aku kasih kamu sekarang yang ada kamu makin rese."

"Lama." Pak Arkan berbisik. "Kita nikah udah lumayan lama loh ... masa kamu belum percaya sama aku?"

"Enggak gitu maksud aku." Gue mengehala nafas. Adu debat sama dia masalah beginian dari sudut mana pun gue pasti kalah. "Aku juga kan lagi mau skripsi sekarang."

"Tetap aja lama." Pak Arkan kekeuh atas pendirianya.

"Cuma nunggu sebentar aja mas." Gue mulai pusing kalau pak Arkan udah merengek-rengek begini, "Setelah aku lulus wisuda, terserah kamu mau apain aku juga, pasrah aku mah."

"Serius?" Pak Arkan yang tadinya leha-leha sekarang jadi antusias, "Kamu jangan bohong ya Ley."

Gue ngangguk.

"Oke, kamu gak boleh nolak setiap aku minta." Pak Arkan tersenyum miring. "Apapun dan kapanpun."

Gue tercengang, menatap pak Arkan tidak percaya.

Pak Arkan tersenyum lebar. Gue meringis mengutruki ucapan gue barusan.

"Ley aku laper," Pak Arkan duduk dipinggir gue.

"Tadi aku masak sayur sama tempe mau?" Gue ikut duduk dihadapan pak Arkan.

"Mau." Pak Arkan mengangguk.

Gue turun dari ranjang berjalan menuju dapur. Makanan yang gue bikin kembali gue hangatkan. Setelah beberapa menit akhirnya mateng juga untung aja pak Arkan orang nya enggak rujit soal makanan kalau dia susah makan pasti gue makin repot.

Gue menghela nafas, menaiki lagi tangga ke lantai buat ngasih makanan ke dia. Percuma ada meja makan tapi setiap sarapan selalu di kamar tidur.

"Nih." Gue meletakkan air putih di meja serta makanannya, "Emang kamu di rumah Mama enggak makan?"

"Gimana mau makan?" Pak Arkan mengambil air dan meminumnya, "Violanya nempel mulu kaya karet."

"Gak boleh kaya gitu." Gue terkekeh mendengar cibiran nya. Pak Arkan kalau ngatain orang itu nyesek sampai dalem.

"Kapan kamu mau mulai skripsi sama aku?" Pak Arkan melirik gue dari samping, "Lebih cepat kan lebih baik, biar cepet wisuda juga."

"Itu mah mau kamu." Cibir gue, "Aku belum dapat gambaran buat skripsi aku."

"Jangan kelamaan gak baik." Pak Arkan tersenyum penuh arti. Gue tuh ngerti maksud dia nyuruh gue cepat-cepat wisuda. "Setelah lulus kamu kerja Ley?"

"Ya kerja lah!" Jawab gue lantang. Kan gue kuliah tuh buat kerja dan ngejar cita-cita gue dari kecil. "Paling kerjanya juga enggak jauh-jauh amat dari tempat tinggal kita lagian aku enggak mungkin kan ninggalin kamu sendiri."

Pak Arkan diam, dia ngeliatin gue lama. Gue salah ngomong ya?

"Kenapa?" Tanya gue heran, "K-kamu izinin aku kerja kan?"

"Kalau kamu kerja aku sama siapa?" Pak Arkan menatap gue males, "Kerja sebagai dokter itu makan waktu banget loh ..."

Gue kali ini yang diam. Yakali gue kuliah bertahun-tahun kuliah cuma jadi ibu rumah tangga? Yallah Kaley gak mau!

"Kamu pasti sibuk Ley kalau udah kerja di rumah sakit." Pak Arkan mengeluh, "Aku gak mau ya waktu kita berkurang nanti kamu pasti gini, kalau udah pulang kerja langsung tidur."

"Kata siapa?" Gue terkekeh geli. "Aku enggak mungkin kaya gitu lah sama kamu."

"Bohong."

Gue membuang nafas kasar dan mempertipis jarak, menghadapi pak Arkan dalam mode begini itu harus extra sabar karena mengundang beribu-ribu emosi.

"Emang kapan aku bohong sama kamu?" Gue menarik pak Arkan dalam dekapan.

"Kamu enggak usah kerja aja ya?" Pak Arkan membalas pelukannya, "Kan gaji aku juga cukup buat hidup kita kedepanya."

"Mas ..." Gue menatap pak Arkan enggak percaya. Ya emang gue akuin kalau gaji dosen sama perusahaanya juga udah lebih dari cukup. Tapi masalanya ini tuh cita-cita gue yang selalu diimpi-impikan dari kecil.

"Lay." Pak Arkan malah manggil gue, "Kita gak ada niatan buat ke hotel berdua gitu?"

"Gak usah ngaco deh!" Gue memutar bola mata gue males, "Kalau kita kehotel mau ngapain kita disana aku tanya?"

"Bikin penerus Arkan junior ..." Pak Arkan ngegigit pipi kanan gue.

Gue menggerang kesal menghapus bekas gigit pak Arkan.

Rese banget emang!

***

Dosen KampusWhere stories live. Discover now