31 || Flashback

187K 15.9K 1.1K
                                    

Gue turun dari balkon kamar. Niatnya mau pulang. Kasian juga kan Kaley dirumah sendirian apalagi ini udah malam. Waktu gue turun tangga gue enggak sengaja liat Vino yang lagi di kamar rahasia? Ya ... bisa di bilang begitu karena cuma keluarga gue aja yang tau. Ralat, Amara juga tau.

Gue yang penasaran berjalan menuju ruangan itu. Gue terdiam memmantung melihat pemandangan di depan. Vino yang lagi memegangi tangan Viola. Dia memandangi sendu Viola yang terbaring tidak berdaya di atas kasur.

Semua perlalatan medis menyatu dengan tubuhnya. Gue meringis melihat Vino yang menangis sambil berbisik sesuatu ditelinga Viola. Seakan cowok itu menyampaikan keluh kesahnya. Hati gue ikut perih ngeliat adek gue yang begitu rapuh.

Untuk kesekian kalinya dilema itu datang, dalam hati gue mau membantu Vino tapi gimana dengan istri gue Kaley?

Lagian kalau gue bersandiwara kaya dulu lagi itu juga pasti nyakitin Vino. Apa dia sanggup ngeliat gue sama Viola? sedangkan Vino lah yang menunggu bertahun-tuhun Viola untuk sadar dari komanya.

Enam tahun yang lalu ...

Semuanya berkumpul menonton siaran televisi, kecuali Vino adek gue. Itu bocah emang hobi banget keluyuran malam-malam, kalau dibilangin pasti jawabnya gini 'Masa remaja itu hanya satu kali dalam seumur hidup ... Jadi nikmatilah.'

Gue cuma bisa geleng-geleng. Vino yang masih berseragam SMA. Orang tua gue juga membebaskan Vino untuk menikmati masa remajanya. Tapi, masih dalam pantauan bokap jika udah kelewatan baru di tegur kalau masih ngelunjak bopak selalu menyita fasilitasnya.

Brak!

Suara pintu utama terbuka dengan kasar. Sontak gue sama yang lain nya ngeliat sang pelaku dan itu Vino yang lagi mengendong seorang cewek?

Semua orang tertegun melihat cewek itu tidak sadarkan diri dan lagi darah berceceran di mana-nama. Gue yang belum bisa mencerna apa yang terjadi cuma bisa bengong. Vino berjalan tergesa-gesa menuju kita, pelipisnya banjir keringat.

"Yah! bantu Vino yah!" Dia menurunkan cewek itu di sofa, "Anak orang sekarat ini!"

"Telefon dr.Amara bang cepet!" Vino menepuk-nepuk pipi cewek tadi, "Yaallah .... anak orang bisa mati kalau lo bengong mulu!"

Gue ngambil ponsel dimeja. Jari gue mencari kontak Amara.

"Hallo Amara? bisa lo kesini sekarang?"

"..."

"Okey gue tunggu."

Sambungan terputus.

"Vino!" Bokap memijit pelipisnya pening, "Itu anak orang kamu apain?!"

"Vino ajakin ke club yah ..." Vino meringis, "Pulangnya aku mabuk terus niatnya mau bawa pacar aku pulang tapi di jalan malah kecelakaan."

"Pacar?" Mata bokap membulat, "Kamu pacaran Vino?!"

"Iya ..." Vino nyengir, "Dari kelas dua SMA."

"Astaga!" Bokap menggeleng-geleng kapalanya takjub.

Nyokap memutar bola matanya malas, "Hasil kamu itu!"

Gue mengganga.

Vino menepuk-nepuk dadanya bangga.

"Perimisi." Suara itu mengalihkan padangan kita, "Ada yang bisa saya bantu?"

"Tolong periksa dia-"

"Viola." Vino meralat.

Bokap mandang sinis Vino.

Amara mengangguk. Dia mulai memeriksa Viola. Dahinya berkerut, "Pasien kritis."

Vino terdiam. "Gak mungkin ..."

"Detak nadinya lemah tuan, harus ditangani secepatnya."

"Lakukan yang terbaik buat Viola!"

Amara mengangguk yakin. Dia membawa Viola ke rumah sakit dan di ikutin Vino serta yang lainnya.

Suasana mencekaram. Vino yang tadinya masih cengegesan sekarang dia diam. Menatap kekasihnya yang di dalam UGD punuh arti.

Gue yang melihat itu menepuk bahunya, "Tenang. Viola pasti baik-baik aja."

"V-viola kak ... dia kritis gara-gara gue." Vino meluk gue erat, "K-kalau gue enggak ajak dia ke club mungkin dia enggak ada disini."

"Ini takdir." Gue berusaha nenangin Vino, "Ini bukan salah lo."

"Tapi-"

"Pasien Koma!" Suster keluar dari ruang UGD tergesa-gesa. Membawa beberapa alat-alat yang diperlukan.

"K-koma?" Vino menatap tidak percaya, "V-viola koma?"

Gue menelan ludah kasar melihat Vino yang mulai kacau. Dia menyenderkan dirinya kedinding.

"I-ini bohong kan?" Vino kacau, "V-viola baik-baik aja kok ... D-dia enggak koma."

"V-viola gak mungkin koma." Vino menggeleng kuat. "Enggak!"

"Vin ..." Gue merangkul dia agar sedikit tenang,"Viola bakalan sembuh kok."

"V-viola ..." Vino bergumam,"Maafin gue ..."

***

Hampir satu bulan Viola koma di rumah sakit bahakan Vino udah membawakan dokter-dokter terbaik. Namun naas Viola enggak sadar-sadar dari komanya.

Vino mulai putus asa. Dia terus menyalakan dirinya sendiri atas yang terjadi pada Viola. Vino yang tiap hari keluyuran malam sekarang di rumah sakit terus nemenin pacaranya itu.

Orang tua Viola sudah meninggal. Mau gak mau Vino yang menanggung semuanya. Bokap marah besar saat tau satu fakta bahwa Viola anak wanita malam.

Dia tidak mengijikan Vino untuk berhubungan lagi dengan Viola. Benar kata orang, cinta itu buta. Vino membantah abis-abisan bokap. Sampai suatu pernyataan yang meyakinkan bokap untuk mengijikan Vino menjenguk Viola.

Yang membuat gue syok setengah mati adalah saat Viola sadar dari komanya dia menganggap gue sebagai PACARNYA bukan Vino!

Vino murka sama gue. Dia bahkan enggak bertegur sapa setelah kejadian itu. Gue enggak terima dong, jelas gue cari tau pada dokter yang nangani Viola, yaitu Amara.

Amara mulai menjelaskan yang terjadi pada Viola. Viola terkena benturan hebat pada saat kecelakaan yang membuat dia lupa ingetan. Yang buat gue aneh kenapa malah gue yang dia anggap sebagai pacaranya? Gue akui muka gue mirip banget sama Vino. Ya tetap aja dong masa enggak inget siapa Vino?

Dari sana gue mulai stres. Viola setiap harinya semakin membaik. Dia masih enggak percaya bahwa gue bukan pacaranya. Vino yang berstatus sebagai pacarnya terus memberi tau Viola bahwa Vino lah pacarnya.

Suatu hari Vino terlalu memaksakan Viola untuk mengingat siapa dirinya. Sampai akhirnya Viola down lagi dan kepalanya terlalu lemah untuk mengingat kejadian-kejadian masa lalunya.

Viola drop, dan kritis kembali.

***

Dosen KampusWhere stories live. Discover now