Chapter 37: Last Exam

7.9K 992 970
                                    

Kamar gelap berukuran tiga kali tiga meter itu menjadi saksi bisu asal mula kecerdasan Yukina

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kamar gelap berukuran tiga kali tiga meter itu menjadi saksi bisu asal mula kecerdasan Yukina. Ditemani lilin yang meredup serta tumpukan buku tebal, AFO memulai pendidikan rasionalnya. Dia menepuk kepala Yukina, membisikkan sugesti pada putrinya yang duduk manis di kursi.

“Ketakutan berasal dari ketidaktahuan. Pengetahuan adalah senjata untuk melawannya.”

AFO menepuk kepala Yukina, mencengkeram erat helaian rambut putih yang merasuk di jari-jarinya. Perlahan kepala putrinya yang berusia lima tahun tersebut dia tundukkan, menghadap buku setebal tiga sentimeter di meja.

“Ayah, sakit! Sakit sekali!” Yukina merintih, erangannya terdengar memilukan. Otaknya nyaris meledak karena dijejali sesuatu yang tidak pantas untuk usianya. Ditambah lagi cengkeraman erat ayahnya yang dapat memecahkan kepalanya kapan saja. Menangis takkan mengubah apapun. Yukina sudah lelah hingga tidak sanggup menangis lagi.

“Apapun bentuknya, pengetahuan bisa jadi seefektif senjata. Di saat-saat tertentu, itu bahkan lebih berguna daripada sebilah pedang. Pastikan kau mempersenjatai dirimu dengan baik sebelum bertarung.”

AFO menyelipkan sebuah pensil ke sela ibu jari dan telunjuk Yukina. Banyak memar merah dan biru gelap di sepanjang kedua lengannya. Goresan benda tajam juga ikut menghiasi, mewarnai kulit putih pucatnya dengan darah. Dilihat dari tanda luka yang tertinggal, itu bukanlah tindakan self-harm, tetapi child abuse.

“Dan bunuh mereka dengan itu,” tegas AFO.

“Pengetahuan ... Bunuh ....” Yukina bergumam lirih. Matanya berubah kosong, tersugesti. Otaknya telah tercuci oleh didikan AFO. Obsesi ayahnya membuatnya merasa dirantai. Dia tidak bisa menjalani hidupnya sendiri. Jangankan bermain bebas seperti anak-anak seumurannya, berdiri satu meter dari pintu keluar saja langsung diseret ke ruang penyiksaan.

“Jangan khawatir,” AFO menepuk pundak Yukina, mendekatkan bibir ke telinganya. “Mulai sekarang, aku akan mengajarimu segalanya agar bakatmu bisa dipergunakan dengan baik.”

Sebagai putri yang menyandang nama Shigaraki, Yukina merasa itu adalah takdir yang harus diterima dan dia jalani seumur hidupnya. Kebeliaan membuat Yukina tak dapat menentang itu semua. Kalimat ‘apa boleh buat’ selalu dia bisikkan dalam hati.

“Kau mengerti, Yukina?”

“... Baik, Ayah.”

AFO mengangkat tangannya. Mata refleks Yukina tertutup takut. Dalam ingatannya selama ini, setiap kali tangan ayahnya terangkat, selalu berakhir sebuah pukulan yang menghempaskannya. Itu meninggalkan trauma yang sulit disembuhkan pada dirinya.

Namun kali ini berbeda. Yukina tak merasakan adanya tindakan kekerasan. Sebaliknya, tepukan tangan yang mengenai kepalanya justru terasa lembut, penuh kasih sayang. Sesuatu yang aneh karena tak pernah terjadi sebelumnya. Yukina tahu, lemah lembut bukanlah sifat ayahnya. Penasaran, Yukina pun perlahan membuka mata.

Dᴀʀᴋ Lɪɢʜᴛ [ʙɴʜᴀ × ᴏᴄ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang