23. P e r u m p a m a a n K l a s i k

150 29 48
                                    

Sesampainya di rumah yang lumayan besar, yang semuanya terbuat dari rangkaian kayu-kayu nan kuat itu, Valda menggiring langkah Vanilla menuju pintu utama tempat tinggal Bi Soraya.

"Ass--"

"Eh teteh?" baru hendak mengetuk, pintu sudah di buka lebih dulu oleh Bi Soraya.

"Bi," Vanilla langsung menyalim punggung tangan kakak sulung ayahnya itu.

"Bener iyeu teh si teteh Vanilla?" tunjuk Bi Soraya lagi sambil memperhatikan tiap inci wajah gadis di depannya ini.

"Bukan. Aku mah jodohnya Mas Kateha, Bi."

"Hmm bener ini mah. Yang suka nyebut Kateha Katehi Kateteng kalo bukan Teh Vanilla siapa lagi?" Bi Soraya terkikik sendiri.

"Keciri ya, Bi? Hehe."

"Banget, Teh. Kemana aja kamu? Gak pernah mampir-mampir ke rumah Bibi! Orang hidup di kota mah gitu ya. Sejak nyebur di kota, bakalan jarang banget mampir ke kampung asal," sindir Bi Soraya sambil mencibir, melipat tangannya di depan dada serta bersender ke daun pintu yang berwarna cokelat dengan raut yang seolah marah.

Vanilla memberi gestur penolakan. "Enggak juga, Bi. Aku akhir-akhir ini emang bener-bener sibuk sama kuliahan. Beneran. Bayangin aja deh, Bi. Baru pindah lagi ke Jakarta tau-tau langsung sibuk ngurusin pendaftaran ini-itu buat kuliah, jadi belum sempet kesini. Maaaaf banget." bibir Vanilla melengkung ke bawah, dia cemberut, sedih, sekaligus merasa bersalah juga karena setelah 4 bulan pindah ke Jakarta, baru ini mengunjungi bibinya.

"Atuh jangan cemberut gitu, ih. teu geulis jadina!"

"Maafin aku..." Lirih Vanilla lagi seraya menangkupkan kedua telapak tangannya di bawah dagu dengan ekspresi yang imutnya suka bikin Valda hampir khilaf.

Wanita yang berkisar 55 tahunan itu menggenggam lengan Vanilla. "Hereuy wae atuh, Teh. Kamu nih gitu doang percaya," katanya tertawa kecil.

"Kamu bawa siapa, Teh? Kasep pisan ieu."

Keasikan ngobrol, mereka melupakan Valda yang sedaritadi menyimak perbincangan antar keponakan dan bibi itu.

Akhirnya gue di anggep, batin Valda yang sabar menghadapi 2 perempuan yang asik dengan dunia mereka.

Mendengar itu, membuat Vanilla mendengus kasar. Bibi dan mamanya sama saja ternyata. Mata mereka langsung bergemilang, berkilau, berbinar saat bersitatap dengan cowo keturunan Dewa Yunani itu.

Tapi untungnya, Bi Soraya masih dalam batas wajar, tidak seperti Mamanya.

Dasar nyonya besar satu itu.

Kelakuannya seperti masa ABG kurang membahagiakan.

"Tanya langsung ke orangnya aja, Bi. Dia punya mulut kok," kata Vanilla jutek seperti biasa.

"Ujang teh namina saha?"

Valda meraih lengan Bi Soraya kemudian menempelkan pada jidatnya dengan sopan dan penuh rasa hormat. "Valda, Bi," jawab Valda. Sedikit-sedikit ia paham bahasa Sunda.

"Saha na Teteh atuh?"

"Cuma---"

"Kabogoh, bi," sambar Valda. Yang langsung di pelototin Vanilla.

"Eleh eleh, si Teteh udah besar, udah berani bawa kabogohna kadieu ya, cieee." Bi soraya menggelengkan kepalanya, menatap Vanilla dengan jenaka.

"Jangan perca--"

"Vanilla masih malu-malu, Bi. Makanya gak mau ngaku."

"Hmm awewe mah memang kitu. Hihihi." Bi Soraya malah terkikik geli.

MoonniteWhere stories live. Discover now