49. Sebuah Fakta

433 137 10
                                    

Tawa itu menggema. Menguasai seisi penjuru hutan. Hingga memaksa sekawanan burung terbang mengangkasa meninggalkan tempatnya bernaung. Sejenak Dimas yang mendengar itu pun berhenti berlari. Kemudian, diangkatnya kepala tinggi-tinggi, menghadapi rimbunnya pepohonan yang tergesek oleh tiupan angin. Dimas berpikir arah datangnya suara itu terasa begitu dekat dengannya, namun sulit untuk ditemukan. Dia telah menyusuri hutan selama hampir seperempat jam lamanya, namun dia tidak kunjung mendapati keberadaan Eja dan sosok pria tua yang mengejarnya.

"Dimas! Hati-hati!" Depari memperingatkan. Dia berhasil mengimbangi langkah Dimas di saat yang tepat. Sedikit lagi, Dimas nyaris terperosok ke dalam ceruk. Namun, dengan sigap Depari menggapai lengannya dan menarik Dimas menjauh dari tempat itu.

"Apa kau baik-baik saja?" Depari bertanya serius, namun Dimas tidak menghiraukannya. "Apa yang terjadi? Kenapa kau bisa ada di sini?"

"Komandan ...." Dimas menggeleng frustrasi. Benaknya terasa begitu penuh oleh kecemasan hingga sulit sekali untuk dibaginya dengan kata-kata. Depari dengan sabar menunggu penjelasannya. Beberapa saat kemudian dia baru bersedia bersuara, "Tadi Eja ... saya melihatnya masuk ke dalam hutan."

"Apa kau yakin, Dimas?"

Dimas mengangguk tegas dan lekas menjawab, "Sangat yakin, Komandan!" Dimas menekankan bahwa dia tidak mungkin keliru dalam mengenali figur adiknya sendiri. Wajah letihnya tampak dipenuhi oleh gurat kekhawatiran. Depari menepuk pundak Dimas dalam upaya menenangkan. Namun, usaha pria itu tak lantas membuat suasana hati Dimas membaik. Dia hanya ingin segera bertemu dengan Eja dan memastikan adiknya dalam keadaan baik-baik saja.

Berjarak sekian meter dari posisi mereka, terdengar teriakan salah seorang petugas polisi, "Lewat sini, Komandan!" Tatapan keduanya pun lantas teralihkan oleh suara petugas polisi itu. Dimas dan Depari segera beranjak untuk mencari tahu. Wayan-petugas polisi yang tadi berseru-tampak sedang menyibak belukar. Berkat usahanya mereka berhasil menemukan jalan setapak untuk dapat menuruni ceruk tersebut.

Depari mengambil langkah lebih dulu, sementara Dimas berada persis di belakangnya. Bersama Wayan dan dua personil polisi lainnya, mereka berjalan memasuki hutan dengan bantuan alat penerangan. Hari telah beranjak petang. Suasana mendung kian membuat wajah hutan terlihat sangat suram. Cahaya matahari senja tidak sepenuhnya berhasil menjangkau mereka, lantaran terhalang oleh lebatnya pepohonan yang memenuhi hutan itu.

Sekitar lima menit setelahnya, begitu tiba mereka di depan lokasi papan penanda berisikan peringatan adanya bahaya, Depari memberi perintah kepada mereka untuk segera berpencar. Dimas, tanpa banyak bertanya, menyetujui usulan tersebut. Dia hendak mendahului Depari berbelok ke arah timur, namun Depari lekas mencegahnya. "Pergi seorang diri, apa kau sudah gila, Dimas?" seru Depari dengan nada tinggi. "Kau ... ikut bersamaku, Dimas, dan jangan sampai terpisah. Kau tidak membawa perlengkapan apa pun kan saat datang kemari? Aku tidak ingin kau tersesat."

Dimas tidak membanta. Dia berjalan dalam diam dan justru hal itulah yang memantik rasa gelisah di benak Depari. Belum pernah dia melihat Dimas selinglung ini sebelumnya. "Tenanglah. Kita pasti akan segera menemukannya." Depari berupaya menghibur. Sayangnya, ketika mendengar kalimat itu, kedua mata Dimas justru semakin berkaca-kaca. "Dia pasti akan pulang bersama kita-"

"Komandan!"

Ucapan Depari tersela, lagi-lagi oleh teriakan Wayan, yang kali ini datang dari arah selatan. Petugas polisi berpangkat Bintara itu menyerukan kabar mengejutkan. "Ada ... ada mayat di sini!" Spontan membuat Depari dan Dimas saling berpandangan.

Dari sisi kirinya, Dimas melihat suar menyala merah menandakan lokasi Wayan berada saat ini. Jantung Dimas berpacu, berdetak tidak keruan seakan tengah ditabuh oleh rasa takut akan kehilangan. Kumohon, semoga saja itu bukan Eja. Berulang kali benaknya menyerukan kalimat itu, dia menerobos belukar di kedua sisi jalan setapak hingga tergores kulit lengannya.

SIGNAL: 86Where stories live. Discover now