8. Olah TKP Lanjutan

2K 351 67
                                    

Hentakan boots hitam milik Dimas menggema di koridor lantai dua gedung Polresta Barelang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hentakan boots hitam milik Dimas menggema di koridor lantai dua gedung Polresta Barelang. Bunyi ketukannya yang amat tergesa-gesa teredam oleh suara ribut-ribut para tersangka yang tengah digiring ke Divisi Kekerasan dan Kejahatan—yang juga ada di lantai itu. Dimas meneruskan langkahnya tanpa berniat menoleh. Di tengah jalan, dia dihadang oleh seorang polisi berpangkat Bripka. Polisi muda itu memberi hormat padanya dengan sikap tegak, sebelum menyampaikan maksud dan tujuannya.

"Inspektur, konferensi persnya sedang berlangsung saat ini."

Sang Bripka mengabarkan berita kurang mengenakkan untuk Divisi Pembunuhan. Meski begitu, Dimas tetap mengucapkan terima kasih.

"Kenapa buru-buru sekali ...?" Dimas berkata, lebih kepada dirinya sendiri, yang kemudian langsung ditanggapi oleh Bripka itu.

"Karena kasusnya termasuk dalam kematian yang wajar. Tidak ada indikasi pembunuhan sama sekali,"

"Lalu, di mana Haris sekarang?"

"Ada di ruang interogasi bersama Kapten Depari, Inspektur," jawabnya lagi.

Kedua mata Dimas menyambar daun pintu yang bergerak membuka dari sebuah ruangan di ujung lorong. Dimas mengernyit heran saat melihat sosok Kapten Depari keluar dengan wajah lusuhnya yang tak kalah keruh dari wajah Dimas saat ini. Kapten itu berjabat tangan dengan Haris, bercakap-cakap sebentar, kemudian memberi izin pada lelaki yang berprofesi sebagai dokter itu untuk segera meninggalkan Polresta Barelang.

Gelenyar emosi di dada Dimas pun seketika menyeruak, tepat saat Haris melewatinya dengan raut wajah penuh kemenangan. Senyum yang ditampilkan pria itu terlihat sangat menjengkelkan. Ingin sekali rasanya Dimas menonjok wajahnya, menghantamkan mukanya ke tembok berulang kali hingga wajah pria itu hancur dan tidak dapat dikenali lagi.

"Apa-apaan ini, Kapten? Kenapa dia dibebaskan?" protes Dimas kesal.

"Kamu yang apa-apaan, Dimas!" marah Kapten Depari. "Mana bisa kita menahannya tanpa bukti yang jelas, apalagi dalam kasus kematian wajar. Apa kau pikir dia yang menyebabkan kerangka itu berada di ruang bawah tanah selama bertahun-tahun? Haris dan keluarga bahkan baru pindah ke sana seminggu yang lalu."

"Lalu bagaimana dengan rumah tua itu, Kapten? Kita harus selidiki ini." Dimas menatap sosok Haris yang kian lama kian jauh dari jangkauan. Sialan, memang.

"Dari siapa Haris membeli rumah itu?"

Kapten Depari lantas menyerahkan sebuah map berisi berkas fotokopian yang telah diserahkan Haris sebelumnya. Nama Haris Sandi tertera jelas di sana, bahkan surat-surat pendukung lainnya ada di dalam map, luas tanah hingga batas-batas areal rumah juga ikut dicantum, membungkam Dimas bersama seluruh emosinya yang nyaris saja meledak tidak keruan.

Rumah itu memang atas nama Haris. Bagaimana bisa begini? Bukankah kepala desa itu bilang tidak ada perantara jual-belinya? Dimas memijat pelipisnya. Rasanya dia seperti dipaksa makan tahi.

SIGNAL: 86Where stories live. Discover now