32. Regret

1.6K 229 76
                                    

Suara berdebum keras terdengar dari kejauhan.

Kepanikan di wajah Samsuri tergambar jelas. Berulang kali dia mengintip ke dalam jurang, tetapi tidak ada apapun yang tampak di matanya. Jurang tersebut seperti membentuk sebuah pusaran—di mana kegelapan sepenuhnya menyelubungi tiap sisinya. Dia tidak bisa memperkirakan seberapa dalam jurang tersebut menelan wahyam beserta mobilnya.

Samsuri mulai meracau dengan segenap perasaan ngeri. Matanya awas, membaca kondisi sekitar. Seseorang dari suatu tempat mungkin saja memergokinya. Dan kemungkinan terburuknya, Samsuri akan dipaksa bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Wahyam.

Samar-samar terdengar bunyi ranting yang diinjak oleh sepatu seseorang.

Secepat kilat, Samsuri menengok ke belakang. Sayangnya, dia tidak sempat menghindar saat sebuah batang kayu tiba-tiba menghantam belakang kepalanya dengan keras. Akibatnya, Samsuri pun jatuh terjerembab, nyaris mencium tanah. Sembari terengah-engah, dia membalikkan tubuh, kemudian berguling dengan cepat ketika lagi-lagi batang kayu mengayun ke arahnya.

Samsuri berteriak sejadinya. Hampir saja! Sekitar lima jengkal dari kepalanya, ujung batang kayu tersebut mendarat di atas tanah.

Samsuri tidak punya kesempatan untuk terkejut lagi sewaktu mendapati Wahyam telah berdiri di hadapannya. Dengan beringasnya, Wahyam kembali melancarkan pukulan berikutnya, tetapi kali ini Samsuri berhasil menahannya dengan tangan, sekuat tenaga mendorongnya, sampai kemudian batang kayu tersebut melompat dari tangan Wahyam.

Tanpa sadar Samsuri mendengus. Dengan menyerang secara frontal seperti ini, bukankah sama saja Wahyam membuka kedoknya sendiri?

Dukun itu jelas merasa terancam, karena itulah tanpa ragu-ragu dia menyerangku secara membabi-buta.

"Kaulah yang telah membunuh Siti Sundari." Ucapan bernada tuduhan Samsuri lontarkan seraya bangkit berdiri. Dia meringis kesakitan, merasakan darah mulai mengucur dari belakang kepalanya.

Wahyam merentangkan kedua tangan lebar-lebar. Detik kemudian dia tertawa keras tanpa bisa dicegah. Dunia seakan berada dalam genggaman tangannya. Kegelapan serta desau angin yang melatarbelakangi, membuat ekspresinya terlihat seratus kali lebih menyeramkan.

"Di mana kau sembunyikan tuan Hachiko? Katakan!" sergah Samsuri yang merasa begitu muak melihat tingkah dukun gila itu. Namun, tindakannya tersebut justru membuat gelak tawa Wahyam kian membuncah dan tak kunjung mereda. Samsuri terpaksa meraup leher kaus Wahyam, agar dukun itu bersedia menatapnya.

"Apa kau ... membunuhnya?" Bola mata Samsuri bergerak liar, menelusuri setiap inci wajah Wahyam.

Meski Wahyam tidak mengatakan 'iya' secara gamblang, seringai menyebalkan di wajahnya seolah menegaskan bahwa dia memang telah menghabisi tuan Hachiko di suatu tempat. Samsuri menjadi semakin berang dibuatnya. Perjuangan Hachiko dalam mencari-cari keberadaan tuannya .... Bagaimana bisa? Anjing itu bahkan sampai tidak berdaya karenanya.

"Kenapa kau membunuhnya?!"

Wahyam tampak terdiam selama beberapa saat. "Kau tidak memiliki bukti apapun, karena itu kau hanya bisa berteriak-teriak padaku," balasnya kemudian, tanpa rasa belas kasih sedikitpun.

Kata-kata Wahyam pun seketika menohok Samsuri. Dalam hati dia ikut membenarkan. Namun, seolah tak peduli dengan itu semua, dia mengulang kembali pertanyaan sebelumnya. Sayangnya, sekeras apapun dia mendesak Wahyam, dukun itu tetap enggan mengakui perbuatannya. Semuanya terasa bagai sia-sia. Alat perekam yang sejak tadi Samsuri siagakan dalam saku jaketnya tidak akan berlaku di meja pengadilan.

Sebuah pemikiran keji mendadak terlintas dalam kepala Samsuri. Jika menyeret Wahyam ke hadapan hukum merupakan suatu hal yang mustahil, mengapa semua tidak diselesaikan di sini saja? Lubang neraka telah terbuka lebar di hadapan mereka. Samsuri hanya perlu mendorong Wahyam, lalu semua akan berakhir sampai di sini.

SIGNAL: 86Donde viven las historias. Descúbrelo ahora