21. Treasure

1.9K 309 53
                                    

Bunyi keriut pintu susah payah Dimas redam saat dia mengendap masuk ke dalam kamar Eja

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bunyi keriut pintu susah payah Dimas redam saat dia mengendap masuk ke dalam kamar Eja. Masih pukul delapan malam tapi kamar Eja sudah gelap gulita. Dimas sedikit berdecih sewaktu matanya menangkap banyak bintang berkilauan di atas langit-langit. Kamar ini tidak mirip kamar laki-laki, pikirnya.

Saat hendak melangkah ke sudut ruangan, samar-samar dia mendengar suara rintihan keluar dari mulut Eja.

"Sakit ... emmh ... Sakit ...."

Hatinya mendadak tidak tenang dan Dimas pun langsung menghambur ke sisi Eja di bibir ranjang, tidak jadi memeriksa lemari baca.

Dimas sedikit mengguncang tubuh Eja agar segera menghadapnya. "Eja, liat Abang. Apa yang sakit?" tanyanya cemas. Dimas lantas menghela napas kesal. "Bodoh ...." Ternyata Eja hanya sedang mengigau saja.

Beberapa menit kemudian tampaknya Eja sudah jatuh tertidur dalam damai. Suara dengkuran halus terdengar. Sejenak Dimas memandanginya dalam diam. Diusapnya pelan bekas luka di pergelangan tangan anak itu yang tampak kehitaman. Luka melintang akibat sayatan dan luka gigit masih membekas. Dimas menghela napas. Mendadak dia menyesali perbuatanya. Luka yang paling membekas pasti ada di hati anak itu dan Dimas merasa bodoh karena dia tidak tahu apa-apa. Nala memberitahunya bahwa Eja dian*l beramai-ramai saat sedang dalam pengaruh narkoba. Sial! Dimas harus melakukan sesuatu pada Baron. Anak walikota itu harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya pada Eja. Sayangnya, Dimas sendiri pun tidak begitu yakin, sebab kasus narkoba tidak termasuk daerah kekuasaannya.

Usai meletakkan hadiah pemberian Nala di meja lampu hias, Dimas pun buru-buru pergi dari sana. Dia tidak ingin Eja terbangun dan memergokinya. Dimas beranjak ke kamarnya untuk mengambil tas ransel besarnya, lalu turun ke bawah. Di undak tangga ke tiga, tiba-tiba ponselnya bergetar di dalam saku. Dimas sempat melirik nama Aryan pada layar sebelum mengangkat panggilan tersebut.

"Inspektur, apa Anda sudah membaca e-mail masuk barusan?"

"Sudah. Saya sedang dalam perjalanan ke kantor. Perempatan macet," bual Dimas asal. Jelas-jelas dia masih ada di rumah.

"Jadi, identitas kerangka itu semuanya perempuan?"

Dimas langsung memutuskan panggilan itu sepihak saat tanpa sengaja telinganya menangkap pembicaraan Agus Sinar di bawah tangga. Papanya sedang menelpon seseorang di sana. Dimas mengernyit heran. Secepat itu Papa mendapatkan beritanya. Padahal konferensi persnya saja belum dilakukan. Seketika timbul benih kecurigaan dalam benak Dimas. Orang yang sedang berbicara dengan Papa bisa jadi seorang informan atau justru seorang polisi. Tapi untuk apa Papa mengetahui informasi ini? Jelas-jelas Papa kan sudah banting setir dari profesi lamanya.

"Kabari secepatnya kalau kalian menemukan kerangka lain. Ini penting. Saya sedang mencari seseorang .... Baiklah. Selamat bertugas—"

"Pa!"

Agus Sinar membeku di tempat, begitu dia berbalik tahu-tahu Dimas sudah berdiri di depannya.

"Oh, Papa kira kamu sudah pergi dari tadi. Shift malam biasanya jam tujuh, kan?"

SIGNAL: 86Where stories live. Discover now