48. Teror [2]

425 134 28
                                    

Kendaraan besar yang ditumpangi oleh sejumlah personil kepolisian akhirnya tiba di depan gedung tempat lokasi Eja berada. Mobil Komisaris menyusul tak lama kemudian, diikuti oleh satu unit mobil dinas yang membawa serta anggota Tim Inafis dan barang-barang keperluan olah TKP.

Dilihat dari sisi mana pun, gedung bernama Pusat Rehabilitasi Bersama itu tampak sangat suram. Entah karena cuaca hari ini yang memang sedang mendung, atau karena sesuatu yang sedang terjadi di dalamnya. Depari mengambil langkah turun lebih dulu. Kakinya menginjak dedaunan kering yang berlarian di atas batu terakota. Kemudian, matanya memandang berkeliling, mempelajari seluk-beluk tempat itu dengan saksama. Depari melihat pepohonan tumbuh di mana-mana. Begitu lebat dan tinggi. Mengelilingi satu-satunya bangunan yang berdiri di tempat itu, seolah hendak menyembunyikannya dari mata dunia.

Sesaat kemudian Depari mengalihkan tatapan ke arah lain. "Hei, mobil siapa itu?" Kepalanya mengedik kepada sebuah sedan yang terpakir di dekat bangku taman.

Tak jauh dari sana, Agam yang baru saja keluar bersama Fred spontan saja memicingkan mata. Mobil itu tampak tidak asing dalam ingatannya. Dia membaca sekilas pelat nomor kendaraan yang tertera. Lalu membatin, itu kan mobil yang biasa dipakai oleh Raihana. "Apa Dimas ...."

"Apa? Dimas?" Fred yang tampak begitu tercengang segera saja menyela ucapan Agam.

"Dia di sini? Bagaimana bisa?" Di sisi lain, Depari ikut-ikutan menyerangnya dengan pertanyaan lain. Agam menggaruk pipinya dalam gerakan lambat, tidak tahu harus berkata apa.

Pembicaraan ketiga orang itu tiba-tiba disela oleh bunyi ledakan keras dari arah gedung Pusat Rehabilitasi Bersama. Bukan cuma Komisaris saja yang terlonjak kaget mendengar itu, tetapi semua orang yang datang bersamanya pun dibuat panik dan cemas karenanya.

Ledakan itu membuatnya semakin khawatir akan keselamatan Eja. Dia tercenung. Namun, tidak butuh waktu lama bagi pria itu untuk pulih dari rasa keterkejutannya. Pria itu begitu sigap memberi perintah kepada bawahannya. Dia bahkan ikut turun tangan untuk memeriksa dari mana datangnya suara mengerikan itu.

Seorang polisi berpangkat Bintara lantas menerbangkan drone untuk memantau situasi dari udara. Terlihat dari layar tablet, bubungan asap keluar dari gedung di sayap kiri. Sejumlah personil polisi bersenjata laras panjang pun gegas angkat kaki, menyebar ke sisi gedung bertingkat tersebut. Komisaris mengimbau untuk segera menyelamatkan para korban yang mungkin saja masih terjebak di dalam sana. Namun, mereka harus tetap berhati-hati, dan mengantisipasi adanya ledakan susulan.

Depari memimpin rombongan itu. Entakan kaki mereka begitu cepat dan kuat, sementara wajah mereka tidak gentar sedikit pun dalam menyongsong bahaya yang bisa datang kapan saja.

Ketika hampir mencapai lokasi titik ledakan, tiba-tiba saja Depari berhenti melangkah. Baru saja, dari balik punggungnya, dia mendengar suara pecahan kaca jatuh berserakan di atas tanah. Lekas dia menoleh. Kedua matanya spontan membeliak ketika menyaksikan Dimas melompat keluar dari dalam jendela yang menyerpihkan butiran kaca. Tubuhnya berguling di tanah, lalu kembali bangkit secepat yang dia bisa.

Depari berteriak kepadanya, "Dimas!"

Dimas sempat menolehkan kepala. Akan tetapi, dia tidak mengacuhkan panggilan itu. Dia terus berlari. Mengejar punggung Eja yang semakin hilang dari cakupan penglihatannya.

"Cepat berpencar!" Depari berseru lantang. Dia membawa serta beberapa orang bersamanya, lalu lekas berlari menyusul Dimas ke dalam hutan. Sementara sebagian besar personil kepolisian yang ditinggalkannya, siaga membantu para penghuni fasilitas rehabilitasi. Mereka berupaya keluar dari dalam gedung itu. Satu per satu dari mereka melompat, melewati retakan kaca jendela yang Dimas ciptakan di salah satu ruangan di lantai satu.

Aksi penyelamatan itu berlangsung menegangkan. Wajah-wajah panik itu, begitu berhasil keluar, segera dituntun menjauhi lokasi kejadian.

Ledakan kedua tak lama menyuara, kedengarannya lebih gila dari ledakan sebelumnya. Gedung dan tanah tempat mereka berpijak terasa bergetar, seolah siap ambruk kapan saja dan mengubur mereka hidup-hidup.

Yas menjadi penyintas terakhir yang berhasil keluar dari kengerian itu. Beberapa orang yang tadinya saling berdesakan di barisan paling belakang, tidak sempat lagi menyelamatkan diri. Mereka tertimbun material padat bangunan yang runtuh akibat ledakan ketiga dan seterusnya.

Di tengah-tengah itu semua, Komisaris berlarian sembari memeriksa satu per satu korban yang selamat. "Di mana Eja?" dia bertanya kepada mereka, tetapi tak ada satu pun yang menjawabnya. Ketika tatapan pria itu kemudian bertemu dengan Yas, anak lelaki itu hanya bisa menggeleng kepadanya. Yas berkata, dia tidak tahu di mana Eja berada. Mereka belum bertemu lagi sejak kemarin, usai pemeriksaan kesehatan selesai dilaksanakan.

Komisaris mengusap peluh di wajah letihnya. Ketika situasi telah kembali normal, dia segera mengumpulkan anak buahnya, lantas memberikan instruksi sembari meratapi gedung fasilitas rehabilitasi yang telah rata dengan tanah. "Segera lalukan evakuasi. Kita bongkar reruntuhan bangunan itu. Mungkin saja, masih ada seseorang yang bertahan di dalam sana."

____________________

Berdiri di tengah-tengah belantara hutan sembari memandangi pepohonannya yang tumbuh tinggi dan nyaris mencapai langit, membuat Eja merasa dirinya terlihat begitu kerdil. Tubuhnya berputar cepat. Dan bersama jejak napasnya ysng semakin memberat di kerongkongan, dia memandang berkeliling dengan wajah khawatir. Sedari tadi sesuatu dalam benaknya terus saja menyerukan hal yang sama. Bahwa dia telah berkali-kali menempuh jalur ini. Semua hal terlihat sangat membingungkan. Seolah-olah ... dia berlari hanya untuk tiba di tempat yang sama. Hutan ini tidak hanya menyesatkannya, tetapi juga pikirannya.

Di tengah kebingungan yang sedang melandanya, Eja kembali bergegas mempercepat langkah. Tanpa arah dan tujuan, berlari sejauh puluhan meter hingga lambat laun dia merasakan pandangannya berubah kabur lantaran dirinya mulai kehilangan harapan. Jalur yang dia lalui ternyata tidak selalu mulus. Banyaknya akar pohon yang menyembul dari dalam tanah, telah menghambat pelariannya. Eja sempat tersaruk beberapa kali, sebelum berakhir jatuh ke dalam ceruk yang cukup lebar. Tubuhnya berguling-guling, sebelum kemudian berhenti usai menghantam papan penanda yang tertanam di dekat sebuah pohon.

Pandangan matanya terhadap sekeliling masih berkunang-kunang, tetapi Eja dapat menemukan sosok Haszni Yusuf di atas sana. Dia tampak sedang menjengukkan kepala dan tertawa lebar ke arahnya. Tanah yang menjadi tempat pria itu berpijak menyerpih. Setelahnya, Haszni Yusuf terlihat berjalan mengitari ceruk. Dengan mudahnya dia menemukan jalur setapak yang aman untuk meluncur turun demi mencapai Eja.

Suara dedaunan kering yang diinjak pria tua itu membawa suatu kengerian yang perlahan meriap di balik punggungnya. Sekujur tubuh Eja terus menjeritkan rasa sakit, namun dia tetap berupaya bangkit secepat yang dia bisa.

Akan tetapi, Haszni Yusuf rupanya tiba lebih cepat dari perkiraan Eja. Pria tua itu tertawa kencang. Kemudian, dengan suara lantang dia menyuruh Eja untuk tidak bergerak lebih jauh, juga memperingatkannya, bahwa akan ada banyak hal mengerikan yang akan dia jumpai di depan sana.

Eja tentu tidak berkeinginan menuruti ucapan pria gila itu. Dia berpegangan erat pada papan penanda, mempertaruhkan segalanya, mengerahkan sisa tenaganya untuk kabur kesekian kalinya dari Haszni Yusuf. Namun, belum begitu jauh dia melangkah, Eja terpaksa berhenti tiba-tiba. Perhatiannya kini terpusat sesuatu yang tampak terkubur di antara tumpukan dedaunan kering.

Spontan kedua matanya terbelalak. Angin dari sisi kirinya bertiup kencang, menyingkap benda yang tersembunyi di baliknya. Sebuah arloji usang. Namun, bukan benda tersebut yang sukses membuat Eja menahan napas. Ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan daripada membayangkan kematiannya sendiri. Tulang belulang manusia. Eja nyaris saja menginjak bagian kelima rangka jemarinya.

Mendapati pemandangan mengerikan tersebut, kedua kaki Eja kontan saja gemetar hebat. Dia tersaruk mundur. Sementara Haszni Yusuf yang kini sudah tiba di sisinya tertawa. Tawanya terdengar keras dan lebih menakutkan dari sebelumnya.

_______________________

SIGNAL: 86Where stories live. Discover now