52. Kekalutan

480 138 11
                                    

18 Agustus 2006

Panas membakar punggung. Di pintu gerbang Polda Kepulauan Riau, sejumlah anak terlihat sedang melakukan parodi baris-berbaris. Selangkah demi selangkah barisan mereka mendekati titik lapangan, diiringi oleh tatapan bangga para orang tua yang turut hadir menemani mereka dalam upacara peresmian gedung baru Polda Kepri.

Dimas berada dibaris ketiga, bersebelahan dengan Agam. Wajahnya tampak berseri-seri. Tak ayal membuat Samuri tersenyum sepanjang ia memperhatikannya. Tak ada satu pun yang luput dari pandangannya. Setiap gerak-gerik Dimas menjadi suatu hal yang paling ditunggu-tunggu Samsuri. Seolah dialah pusat semesta, pusat segala-galanya.

Dimas membuatnya seantusias itu sampai-sampai Elizar yang berdiri di sisinya berkerut kening, merasa penasaran dengan gelagat Samsuri. Dia bertanya serius, "Siapa yang sedang kau perhatikan sampai senyum-senyum begitu?

Samsuri terenyak seketika. Dia melirik sekilas, berusaha memperbaiki air mukanya, namun sulit sebab Dimas berada tepat di depan matanya.

"Hanya ... seseorang." Samsuri menjawab demikian pada akhirnya. Dia mengedikkan kepala ke arah Dimas, lalu berkata pada Elizar tentang bagaimana perasaannya saat ini. "Lihatlah anak itu! Dia sangat cocok kan mengenakan seragam kepolisian? Topinya sedikit kebesaran. Tapi ... tidak masalah."

Samsuri menceracau. Elizar sendiri masih terlihat kebingungan, siapa gerangan yang telah menyita perhatian Samsuri sampai sedemikian rupa. Di depan sana, bukan hanya Dimas satu-satunya anak yang memakai seragam polisi, tetapi anak-anak dari sekolah lain, yang turut diundang dalam upacara peresmian itu, sebagiannya turut mengenakan seragam serupa. Sedang sebagiannya lagi memilih seragam tentara dan variasi pakaian tradisional sebagai dress code sekolah.

"Namanya Dimas. Dia putra Agus Sinar."

"Ah ...," Elizar baru mengangguk paham begitu menemukan wajah Dimas di tengah barisan. "Tapi aku tidak melihat ada Agus Sinar di sana."

"Mungkin dia sedang sibuk meliput acara ini untuk dijadikan bahan berita."

Samsuri tercenung pada menit berikutnya. Mendadak terngiang-ngiang akan percakapan terakhirnya dengan Dimas beberapa waktu lalu. Waduk ATB. Tempat itu sungguh sangat menganggunya. Apa yang akan terjadi di sana nantinya, Samsuri masih saja bertanya-tanya. Seiring waktu berjalan rasa penasaran memenuhi benaknya lebih banyak ketimbang rasa cemasnya akan kehilangan saat-saat berharga bersama Elizar dan Eja. Sayangnya, Samsuri tidak punya jawaban pasti untuk pertanyaannya itu. Sebab sejak hari itu, dia tidak pernah lagi menerima transmisi dari Dimas.

Dia menunggu-nunggu, tetapi HT tua itu tidak pernah lagi menghubungkannya dengan Dimas. Mereka seakan berpisah begitu saja, tanpa salam perpisahan yang pantas untuk diucapkan. Sekarang, melihat Dimas di depan matanya, Samsuri berpikir untuk menghampirinya dan ingin menanyainya tentang itu. Namun, ini mustahil. Anak itu bukanlah Dimas yang Samsuri kenal melalui HT.

Ada yang membuatnya berbeda. Kendati Samsuri belum pernah bertatap muka dengan Dimas yang dikenalnya melaui HT, Samsuri melihat mereka seperti dua orang yang berbeda. Barangkali rentang waktu, yang terjadi di masa sekarang dan masa depan, telah menempanya menjadi pribadi yang demikian. Samsuri ingin melihatnya tumbuh, mencermati dari jauh bagaimana Dimas menghabiskan tahun-tahun hidupnya hingga beranjak dewasa, tetapi harapan itu terlalu besar untuk menjadi kenyataan.

"Aku yakin dia akan tumbuh, dan menjadi polisi yang bertanggung jawab. Tidak sepertiku ...." Samsuri bergumam, menyimpan kalimat itu untuk dirinya sendiri. Sehingga Elizar tidak perlu mendengarnya.

Tepuk tangan tedengar dari penjuru mata angin saat serangkaian acara memasuki bagian yang paling ditunggu-tunggu, yakni prosesi pemotongan pita yang dilangsungkan oleh Kapolda di dekat pintu masuk gedung baru. Dimas telah hilang ditelan kerumunan dan Samsuri tidak begitu memperhatikannya lagi. Dia berjalan meninggalkan Elizar di sana, menemui Ayis yang tampak sedang terlibat pembicaraan serius dengan Dahlan di sisi luar lapangan.

SIGNAL: 86Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ