36. Rahasia Gambar dalam Gambar

1.3K 216 41
                                    

Berulang kali Fred mengetuk pintu, tetapi tidak ada satu orang pun yang menyahut

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Berulang kali Fred mengetuk pintu, tetapi tidak ada satu orang pun yang menyahut. Tangannya sedang penuh saat ini, terpaksa dia menggerakkan kenop pintu dengan sikunya. Setelah mencoba selama beberapa saat, pintu kayu berukir di hadapannya pun membuka kemudian. Fred masuk tanpa pikir panjang. Dia sudah membuat janji, tetapi tampaknya Dahlan masih sibuk mengurus jenazah di laboratorium. Sesuai dengan perkiraannya, Dahlan tidak ada di ruangan saat ini.

Pot berisi tanaman yang sejak tadi dibawanya pun dia letakkan di tengah-tengah ruangan. Manik matanya kemudian bergulir, menelisik seisi ruangan bernuansa cokelat tua tersebut. Satu. Sudut matanya menangkap sebuah kamera CCTV yang diletakkan di dekat pintu masuk. Hanya satu. Jenis Dome Camera. Namun, diposisikan menghadap ke dalam ruangan. Akan sangat mencurigakan jika Fred bertindak sesuka hati. Dia mesti mencari cara lain untuk bisa mendekati PC di atas meja kerja Dahlan.

"Jo, beralih ke plan b." Fred berbisik melalui earpiece-nya. Di seberang sana Joanna segera menjawab "Roger, Kapten" dengan suara berat yang dibuat-buat.

Fred lalu duduk dengan tenang di atas sofa tamu sembari menyilang sebelah kaki. Dia menguncir rambutnya ke belakang, kemudian menata rambut depannya yang tersisa hingga sedemikian rupa untuk menyembunyikan earpiece yang dia kenakan di telinga kanan. Sialan, batinnya. Kali ini Agus Sinar benar-benar menempatkannya dalam masalah besar. Sama seperti dua tahun lalu—saat Fred terpaksa membobol Bank DNA dalam database milik Pusat Orang Hilang atas perintahnya. Orang-orang dari Divisi Cyber berhasil mengendus jejaknya pada saat itu. Fred terkena sial. Dan, kini, Agus Sinar justru memintanya menyelidiki Dahlan.

Fred sontak bangkit dari sofa ketika mendengar suara langkah kaki dari luar. Dahlan masuk tak lama kemudian. Mendapati Fred yang tengah melambaikan tangan, Dahlan hanya melirik sekilas. “E-mailnya sudah dikirim?” Dia sibuk bertelepon dengan seseorang—entah siapa. “Baiklah. Akan segera kuperiksa.”

Fred memasang senyum terbaiknya ketika melihat Dahlan berjalan menuju meja kerjanya. Dia berbisik lagi pada Joanna, “Dahlan sudah menghidupkan PC-nya.” Lalu, kembali menyunggingkan senyum.

“Lama tidak bertemu, sekarang kau mengubah gaya rambutmu,” ucap Dahlan ketika manik matanya bertemu dengan Fred.

“Yah ...,” Fred melenguh panjang, agak kikuk dibuatnya. “mayat-mayat itu membuatku tak sempat memotong rambut, Pak,” kelakarnya.

“Mau bagaimana lagi,” balas Dahlan kemudian. “Pembunuhan nyaris terjadi setiap hari, tapi Batam hanya punya satu Kepolisian Resor. Kita masih kekurangan anggota Tim Inafis.”

Fred hanya membalas dengan gumaman singkat. Dilihatnya Dahlan kembali sibuk memainkan tetikus dan PC-nya.

Sembari menunggu, Fred memilih melihat-lihat ruangan Dahlan. Sederet foto berpigura yang dipajang di dinding ruangan menariknya untuk mendekat. Kebanyakan potret yang diabadikan di dalamnya adalah foto-foto Dahlan semasa muda. Fred mengangguk-angguk. Dahlan memang telah banyak berkontribusi dalam dunia kepolisian, pikirnya. Ketika terjadi pemekaran di tubuh Satuan Reserse Kriminal, Dahlan lebih memilih bergabung dengan Unit Identifikasi ketimbang divisi-divisi lainnya. Di sanalah awal mula Dahlan mulai menggeluti seluk beluk olah TKP, mayat, dan teka-teki perkara. Tak terhitung berapa banyak kasus yang telah ditanganinya.

SIGNAL: 86Donde viven las historias. Descúbrelo ahora