41. Transmisi Terakhir II

1.3K 210 41
                                    

"Inspektur ...." Samsuri tertawa renyah di dalam mobilnya. "Bagaimana kabar Anda? Saya ... ck ... empat tahun tidak mendapat kabar dari Anda ... em ... kemana saja Anda selama ini?"

"Empat tahun?" Hati Dimas kontan mencelus mendengarnya. Basa-basi soal bertukar kabar tidak lagi penting sekarang. "Letnan, apa mungkin, sebentar lagi akan diadakan acara peresmian gedung baru Mapolda Kepri?" tanyanya cepat dan sedikit menggebu-gebu

"Benar sekali, Inspektur! Anda tahu ...." Samsuri menjelaskan dengan penuh antusias, berbanding terbalik dengan reaksi Dimas yang justru gelisah dan cemas. Hatinya bukan lagi mencelus, tetapi seperti dipaksa turun ke telapak kaki.

Saking kebingungannya, Dimas sampai tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Samsuri masih menguasai line dengan cerita-cerita konyolnya tentang acara peresmian Mapolda Kepri yang katanya akan diadakan empat hari lagi.

Empat hari lagi, batin Dimas. 18 Agustus. Dimas akan diculik. Lalu Lydia akan tewas di hari yang sama.

Namun, alih-alih membicarakan soal hal tersebut, Dimas justru menanyakan hal lain pada Samsuri. Dimas merasa dia tidak bisa egois, apalagi mementingkan diri sendiri. Samsuri pun—dia memiliki Eja dan Bunda Elizar di sana—orang-orang yang pasti sangat berati dan sangat dia kasihi.

Durasi waktu tidak bisa diprediksi. Dimas tidak ingin hubungan transmisi ini berakhir tanpa sempat dia menyuarakan isi pikiran.

"Letnan, apa Anda punya kenalan atau teman yang tinggal di sekitar Waduk ATB?"

"Waduk ATB?" Samsuri mengulangi dengan kening berkerut. Sejenak pandangannya menerawang kaca depan mobil, berpikir. "Tidak ada, Inspektur," jawabnya yakin sekali.

Dimas langsung membatin, lalu untuk apa Letnan Samsuri pergi ke Waduk ATB? Siapa yang dia temui?

"Memangnya kenapa dengan Waduk ATB, Inspektur? Apa ada kasus pembunuhan di sana?" Samsuri menegakkan punggungnya. Mendadak dia merasa tertarik lantaran tiba-tiba Dimas menyebut nama Waduk ATB.

Dimas kontan tercekat dibuatnya. Tidak menyangka reaksi Samsuri akan sampai sedemikian rupa. "Bukan. Jangan dipikirkan. Bukan apa-apa." Dimas menjeda cukup lama. Suara statis dan gumaman Samsuri pun mengambil alih transmisi. Ada banyak hal yang ingin Dimas utarakan sebenarnya. Terutama, soal menghilangnya Samsuri dan tentang kematiannya. Tetapi Dimas tidak tahu harus bagaimana memulai.

Kalau saja Letnan Samsuri tidak pergi ke waduk itu, mungkin Letnan Samsuri masih hidup sampai saat ini, pikirnya.

Bagaimanapun Dimas mesti mencegah peristiwa nahas itu. Samsuri tidak boleh sampai pergi ke Waduk ATB.

"Letnan, berjanjilah, apapun yang terjadi, jangan pernah pergi ke waduk itu! Anda tidak boleh pergi ke sana!"

"Ada apa, Inspektur?" Kening Samsuri makin berkerut dalam dibuatnya. Semakin Dimas berkata untuk tidak pergi ke tempat itu, dia justru semakin dipantik rasa penasaran.

"Pokoknya Anda tidak boleh pergi ke tempat itu! Hm?" Dimas kembali menekankan. Namun, di seberang sana Samsuri seolah tidak memedulikan semua ucapannya.

Dia menanyakan, "Katakan, apa ada masalah, Inspektur?"

Dimas menggeleng kuat, meski tahu Samsuri tidak akan bisa melihatnya. "Saya hanya ...," lirihnya dengan suara tersendat-sendat. "Ingin Anda hidup bahagia, Letnan. Bersama Eja dan Bunda Elizar ...."

Samsuri langsung disergap rasa cemas ketika mendengar dua nama itu disebut oleh Dimas. Meski suara kusut dari HT sesekali menginterupsi, dia tidak mungkin salah dengar. Barusan Dimas memanggil Elizar dengan sebutan 'Bunda'. Juga, Eja .... Mustahil. Dimas tidak mengenal Eja di sini. Mereka belum pernah bertemu, bagaimana mungkin ....

SIGNAL: 86Where stories live. Discover now