47. Teror

643 132 17
                                    

Malam sebelumnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam sebelumnya.

Eja dan Yas terdiam selagi Dokter Lazuardi mengamati mereka. Pria itu tidak mengatakan sesuatu pun, membuat Eja dan Yas lantas saling pandang dalam kecanggungan yang begitu kentara. Hanya tersisa mereka bertiga di selasar itu. Eja menelan ludah gugup. Sementara Yas berdiri terpaku, menyadari senyum Lazuardi mendadak terbit ketika melirik sebelah tangan Yas yang berada di balik punggung--mencoba menyembunyikan teropongnya dari Lazuardi. Eja bertanya-tanya apakah tadi Lazuardi melihat mereka sewaktu menggunakan teropong itu? Kalau iya, apa yang akan dia lakukan? Melihat wajahnya saja, terlebih dari dekat seperti ini, Eja langsung diserang rasa panik.

"Raiza," panggil pria itu tiba-tiba. Eja mengangkat wajah. Lazuardi tampak berpikir sebelum kembali berbicara, "Kau bisa kembali ke kamarmu. Dan Yas, ikutlah denganku."

"Ke mana?" Lazuardi sudah berbalik ketika Yas menanyakan itu. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut pria itu. Yas beralih memandang Eja yang saat itu juga sama seperti dirinya, cemas dan bingung.

"Aku akan segera kembali," begitulah janji terakhir Yas pada Eja sebelum melangkah mengikuti Lazuardi. Namun, janji itu tidak kunjung terpenuhi. Sebab, sampai saat ini Eja belum mendapati Yas kembali ke kamar mereka. Ranjangnya kosong, tak ada lagi suara berisik Yas yang biasa mengganggunya.

Malam semakin larut dalam kesunyian. Jam di dinding kamar terus berdetak dan berputar sebagaimana mestinya. Akan tetapi, Eja merasa saat ini waktu seakan bergerak teramat lambat. Lampu di seluruh gedung pusat rehabilitasi telah dipadamkan sejak beberapa jam yang lalu. Dan bayang-bayang mengerikan itu, pikiran buruk itu, terus saja datang menghampirinya. Kian lama kian membesar, membuat Eja merasa kehilangan rasa aman, dan semakin yakin bahwa memang ada yang tidak beres di tempat ini.

Eja tak bisa terus-menerus duduk di pinggiran ranjang, menunggu ketidakpastian seperti orang tolol. Dia harus segera mencari Yas, bagaimanapun caranya, sebelum terlambat.

Eja berjalan ke arah pintu lalu membukanya secara perlahan. Suara deritnya timbul, memecah kesunyian di lorong lantai itu, sebelum kemudian lenyap begitu saja. Cahaya dari ujung bolpen pemberian Nala sekonyong-konyong bergerak menyorot jalan-jalan yang dia lalui. Dia terus melangkah, memandang berkeliling, mencari-cari di mana ruangan Lazuardi berada.

Kekhawatiran lagi-lagi menyaput benaknya ketika derap langkah terdengar dari arah lorong tangga. Eja menduga tampaknya ada seseorang yang membuntutinya. Berjalan lebih cepat, Eja kemudian berbelok menuju lorong kiri. Bersembunyi di balik dindingnya untuk memastikan, namun tak ada seseorang pun yang muncul di sana.

Di tempat itu, Eja dihadapkan pada sederet ruangan tanpa papan penanda di atas pintunya. Selama ia berjalan, angin berembus masuk melalui celah di atas jendela, mengusiknya dengan hawa dingin yang dirasanya tidak seperti hari-hari biasa.

Suara langkah kaki itu mulai terdengar lagi. Semakin keras dan semakin keras. Membuat Eja waswas dan secara naluriah bergerak menolehkan kepala. Sayangnya, Eja terlambat menghindar ketika sebuah pukulan datang menyerangnya di belakang kepala. Tubuhnya berakhir terjerembab di atas lantai. Pukulan yang datang dengan begitu tiba-tiba itu meninggalkan denyut nyeri yang tak berkesudahan. Akan tetapi, rasa sakit itu seolah tertahan begitu saja. Segenap ketakutan yang datang menjalarinya saat ini terasa jauh lebih mengerikan.

SIGNAL: 86Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang