29. Hiatus

1.9K 276 69
                                    

|| Warning: 4000++ words ||

“Rumah yang bau kandang sapi itu, kira-kira milik siapa, ya, Pak?”

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

“Rumah yang bau kandang sapi itu, kira-kira milik siapa, ya, Pak?”

Suara berat Samsuri keluar dari dalam tape recorder, begitu Ayis menekan tombol pemicu. Lingkar gerigi pada micro casette yang berada dalam benda segenggaman tangannya itu pun berputar searah jarum jam. Terjadi jeda cukup lama, sebelum suara berikutnya masuk ke telinga.

“Oh, itu!” Seorang pria menyahut— “Itu rumah punya si Wahyam, dukun yang cukup tersohor di kampung ni,”
—kental dengan logat melayunya.

“Dukun?” Samsuri kembali menanyakan, yang sesegera mungkin disambar oleh si pria melayu tadi.

“Dijamin ... bisa sembuhkan bermacam-macam penyakit.”

Selang semenit, dentingan cukup keras mengemuka dari dalam alat perekam. Ayis reka suara tersebut berasal dari sendok dan gelas yang saling diadu satu sama lain. Dalam rentang waktu yang cukup singkat, pekikan keras seorang pria pun menjadi suara berikutnya yang keluar dari dalam alat tersebut. “Yuk, kemanisan iki!”

Gerung kendaraan ikut melatarbelakangi sesaat kemudian. Namun, pada detik-detik berikutnya, rekaman lebih banyak disi oleh perbincangan antar lima orang lebih, menggunakan bahasa campuran—jawa dan melayu—dalam tempo cepat.

“Akeh pasiene sing teko seko ndi ndi njalok dibukake jodo karo ndhe e ne.”

Suara kekehan samar menyelinap ke telinga Ayis. Dia yakin, pastilah berasal dari mulut Ajun Komisarisnya.

Ayis sempat tertawa juga. Namun, begitu mendapati raut tidak suka di wajah Samsuri yang tengah menunggunya di kursi penumpang, dia pun segera menerjemahkan kalimat si pria jawa tadi ke dalam bahasa. “Banyak pasiennya yang datang dari mana saja minta dibukakan jodoh sama dia.”

Samsuri tampak mengangguk-angguk. Kemudian, keduanya pun kembali memusatkan pikiran pada isi rekaman tersebut.

Pria jawa lain ikut menimpali kali ini. Tekanan dalam suaranya yang lebih lembut, membuat Ayis mengira-ngira, bukan si pria jawa sebelumnya yang berbicara. Dia membeberkan bahwa Wahyam rupanya punya pekerjaan sampingan.

"Kadang-kadang dukun itu pun pergi keluar desa untuk mengantar pupuk kandang yang dia olah sendiri dari kotoran ternaknya."

Di menit yang entah sudah keberapa, mereka mulai menanyakan asal-usul Samsuri. Merasa penasaran lantaran sejak tadi Samsuri terus mengorek informasi tentang dukun itu.

"Cukup," ujar Samsuri tiba-tiba.

Ayis kembali menekan tombol pemicu—yang kerasnya tidak main-main—sampai tombol tersebut menyembul keluar. Rekaman itu pun berhenti memutar suara.

“Bagaimana reaksi mereka, saat Anda menyodorkan foto Siti Sundari ...," Ayis sengaja menggantung ucapannya. "..., Pak?" lanjutnya lagi, sedikit ragu-ragu. Rasanya Ayis masih belum terbiasa menanggalkan sebutan "Letnan" dari Ajun Komisaris itu.

SIGNAL: 86Where stories live. Discover now