51. Titik Akhir [2]

453 123 7
                                    

Suasana di taman pemakaman kota tampak begitu sendu pagi itu. Cuaca sebentar berangin, sebentar kemudian terdengar gemuruh menyelinap di balik awan mendung. Seolah tengah membawa pertanda. Bahwa rintik hujan akan segera turun sebentar lagi. Menyusul mereka yang sedang berduka di sisi gundukan makam seseorang.

Kehilangan sosok seorang ayah, kian tahun terlewat Eja merasa dirinya kian terbiasa dengan itu semua. Dia bahkan nyaris lupa pada lekuk wajah dan senyum hangat yang selalu Samsuri berikan padanya, pada kenangan yang Samsuri tinggalkan untuknya, juga pada duka dan rasa kehilangannya saat pertama kali mendapati rumah begitu sunyi tanpa kehadiran Samsuri.

Dia tidak lagi merindu, apalagi memikirkan masa-masa itu. Namun, hari ini berbeda. Langit menangis, begitu pula Eja yang tidak kuasa menahan air matanya jatuh. Dia meraung tak rela di tengah prosesi pemakaman saat ingatan itu kembali berlintasan di lini memorinya. Ingatan itu terus muncul seolah dia sudah mengalaminya sebanyak ribuan kali. 

Gelak tawa Haszni Yusuf mengganggunya. Eja mendengarnya seolah pria itu sedang berdiri di dekatnya. Tawa pria itu semakin keras dan pecah saat dia menunjukkan pada Eja sebuah ironi yang tak pernah dibayangkannya. Jasad Samsuri berbaring begitu saja di atas dedaunan kering. Hatinya terasa begitu hancur dan tertekan melihat itu semua. Dia tidak ingin mengingatnya lagi, namun bayang-bayang mengerikan itu terus saja berlarian dalam kepalanya, membuat dia berteriak histeris, seolah sesuatu hendak merenggutnya dari masa kini.

Agus Sinar menjengukkan kepala dengan segera. Dia yang semula siap mengangkat peti jenazah Samsuri berlari cepat menghampiri Eja. Elizar tidak ada untuk menemaninya saat ini, sehingga Agus Sinarlah yang bertugas menenangkannya. Pria itu memeluknya, memberinya usapan hangat di punggung, dan menyeka air di sudut matanya. Selayaknya seorang ayah, Agus Sinar memenuhinya dengan kasih sayang. Namun, sebesar apa pun upaya yang dia lakukan, sosok Samsuri tidak akan mungkin bisa tergantikan di hati anak lelaki itu.

"Eja, tenanglah. Kita semua ada di sini." Agus Sinar menghibur. Eja membalasnya dengan senyum getir. Berusaha berbesar hati menerima saat perlahan-lahan peti berisi jenazah Samsuri diturunkan ke tempat peristirahatan terakhir.

Dari seberang makam, Nala memperhatikannya dengan raut wajah cemas. Tak ada seorang pun yang menyadari ketika kemudian Nala menyusup di antara celah kerumunan demi mencapai Eja. Mereka berdiri berisian. Eja sendiri baru menyadarinya ketika ujung jemari mereka saling bersentuhan.

"Nala ...." Eja menunduk, lalu mundur selangkah demi selangkah menjauhi Nala. Dia tidak ingin terlihat konyol di depan makam sang ayah.

"Kamu enggak harus merasa bersalah," suara Nala menyusul guncangan lembut di lengan Eja. "Semuanya sudah kembali, Ja. Kamu, ayahmu, Dimas juga ... dia kembali meskipun dalam keadaan koma. Aku yakin orang seperti Dimas nggak akan mati secepat itu."

Kalimat terakhir Nala terdengar seperti lelucon basi yang tak seharusnya dilontarkan di saat seperti ini. Eja memberinya sejurus tatapan dingin, berusaha tidak peduli dengan kata-katanya.

Dia ingin terlihat tegar, namun Nala, dengan segala tingkah anehnya dan sikapnya yang penuh percaya diri itu, selalu saja berhasil membuat dia kalah. Sentuhan kecil pada jemari tangannya lambat laun berubah menjadi genggaman yang begitu erat. Eja membiarkan dirinya jatuh dalam kenyamanan, sebab Nala terus menahannya.

Kedua matanya memerah, lalu turun buliran air mata di pipinya.

Dalam benaknya Eja bertanya-tanya adakah cara untuk mengembalikan semuanya seperti sedia kala? Dia berbisik untuk menyuarakan pertanyaan itu. Namun, Nala tidak memberinya jawaban apa pun. Nala hanya tersenyum selagi mengusap pipinya dengan ujung kemeja.

___________________

SIGNAL: 86Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang