44. Babak Baru

1.1K 162 14
                                    

15 Agustus 2006

Duduk menyendiri, di kedai kopi yang cukup ramai, lama-lama membuat ia merasa tidak nyaman. Sedari tadi, sudut matanya menatap pintu masuk dan sisi luar jendela. Menanti-nanti kehadiran seseorang.

Tidak ada. Mungkin sebentar lagi. Selalu, kalimat itu yang dia gumamkan sebagai upaya menghibur diri.

Agus Sinar menghela napas saking penatnya. Sore itu, seharusnya dia bertemu dengan seseorang di kedai kopi. Seorang narasumber, Firas namanya, yang bersedia meluangkan waktu untuk dia tanyai soal Haszni Yusuf.

Sedikit tentang Firas yang dia tahu: dia merupakan mahasiswa di Universitas Internasional Batam yang mendapat kesempatan emas untuk melakukan penelitian bersama Haszni Yusuf. Penelitian itu bertujuan untuk menguji kelayakan laboratorium di Lembaga Penelitian Pusat Orang Hilang sebelum lembaga penelitian itu diresmikan kegunaannya. Ada beberapa hal yang sangat ingin Agus Sinar pastikan. Tentunya, berkaitan dengan kasus penggelapan dana yang sempat menjerat Haszni Yusuf beberapa waktu lalu.

Sebenarnya Agus Sinar sudah hampir menyerah pada kasus itu. Dia telah mengajukan surat resign. Hanya tinggal menunggu waktu sampai surat itu diproses oleh atasannya dan dia resmi berhenti dari pekerjaannya. Akan tetapi, satu hari yang lalu, tiba-tiba saja Firas menghubunginya. Membuat rasa penasaran itu kembali bangkit dan sulit untuk Agus Sinar abaikan. Firas bilang, dia punya informasi penting perihal kasus itu. Katanya, Haszni Yusuf menggunakan dana milyaran yang digelapkannya untuk mendirikan sebuah fasilitas penelitian ilegal.

Dua jam sudah dia menunggu. Tetapi sosok Firas tidak kunjung menampakkan diri. Agus Sinar telah mencoba menghubungi Firas berulang kali, tetapi panggilannya terus dialihkan ke pesan suara.

Agus Sinar mendadak cemas. Dia meremas jemarinya sampai berkeringat banyak. Diliriknya arloji di pergelangan tangan. Kali ini, tidak ada lagi kata 'mungkin sebentar lagi' yang membuat ia tetap bertahan di kedai itu.

Usai membayar pesanan di kasir, Agus Sinar memutuskan pergi dari tempat itu. Dia memacu mobilnya menuju kawasan padat pemukiman yang banyak ditempati oleh gedung-gedung indekos. Rata-rata, harga sewa di tempat itu, untuk satu unitnya terbilang cukup murah, sehingga banyak sekali mahasiswa dan karyawan yang menetap di sana.

Agus Sinar menelisik sejenak, lalu turun dari mobil. Ada banyak sekali gang di kawasan itu. Dia mesti berjalan kaki dari sana. Mengambil rute jalan lurus, terus melewati gang sempit yang berkelok-kelok, kemudian berhenti di sebuah persimpangan. Tak jauh dari tempatnya berdiri, dia melihat penjual sepatu bekas tengah menggelar dagangan di atas trotoar. Pedagang sate dan bakso keliling berdatangan, menempati lapak strategis di dekat pohon trembesi.

Agus Sinar bergegas menghampiri para pedangan itu. Usai menyapa dan berbasa-basi ala kadar, dia menanyakan sebuah alamat kepada mereka.

"Apa Bapak tahu, di mana alamat ini?" Agus Sinar menunjukkan secarik kertas. "Dira House. Katanya sih ada di dekat sini."

"Dira House?" sahut si pedagang sate seraya menatap gedung-gedung di seberang jalanan.

"Oh, saya sering lewat depan kos-kosan itu," sela si pedangan bakso keliling. "Bapak masuk aja dari gang yang itu. Yang ada gambarnya itu. Nanti juga ketemu kos-kosannya."

Agus Sinar mengangguk, kemudian berterima kasih kepada mereka.

Dia menyebrang jalan, lalu memasuki gang yang dimaksud oleh si pedagang bakso. Di kanan kiri, berdiri gedung-gedung bertingkat tiga sampai empat. Ada tembok yang membatasi gedung-gedung itu. Tidak begitu panjang; mulai dari mulut gang sampai ke tiang listrik pertama. Sebab, gedung-gedung berikutnya saling berhadapan dengan jalan dan dikelilingi pagar besi berterali.

SIGNAL: 86Where stories live. Discover now