[Case 1: Home Sweet Home (?)]

4.1K 510 78
                                    

Tik tik tik

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tik tik tik...

Bunyi hujan di atas genting...
Airnya turun tidak terkira...
Cobalah tengok dahan dan ranting...
Pohon dan kebun basah semua...

Sembari menatap jendela rumah, anak kecil itu bersenandung riang dalam hati. Dia sangat menyukai lagu tersebut—salah satu lagu anak-anak yang diciptakan oleh Ibu Soed. Lagu tersebut menyiratkan banyak makna di dalamnya. Salah satunya, kita diajarkan untuk mensyukuri rahmat yang diberikan Tuhan kepada kita meski dalam bentuk hujan sekali pun. Toh, anugerah itu hanya kita rasakan sementara saja, bukan? Seperti halnya ungkapan habis gelap terbitlah terang. Jika beruntung, sesekali kita bisa melihat pelangi setelahnya.

Jalanan tampak sepi di luar sana. Bulir-bulir air jatuh menyeret debu, perlahan bergerak turun, meninggalkan jejak lelehannya pada kaca jendela. Entah sudah berapa kali anak kecil berwajah manis dan berhidung kecil itu mengembuskan napasnya. Hawa dingin yang masuk lewat ventilasi membuat anak kecil itu mulai mengantuk. Matanya terasa sangat berat. Kelopak matanya perlahan mulai menutup, lalu tersentak, kembali membuka. Dia menepuk-nepuk wajahnya sendiri dengan tangan. Menggeleng pelan. Berusaha melawan rasa kantuk yang hampir menguasai dirinya. Dia ingin tetap terjaga. Sepasang mata hazelnya yang terang seolah tidak membiarkan dirinya lepas dari sederet kalimat yang tertulis di jendela besar itu.

"sayang semuanya"

Dia tersenyum menatap tulisan tangannya yang terlihat aneh dan hampir tak berbentuk itu. Tadi sore, saat bermain mobil-mobilan bersama adiknya, dia menuliskan untaian kata itu di sana. Orang lain mungkin tidak akan bisa membaca tulisan cakar ayam tersebut, tetapi setidaknya sederet kalimat tersebut telah mewakili isi hati bocah lelaki berusia enam tahun itu. Dia sayang semuanya—semua yang tinggal di rumah tua pinggir jalan itu. Mata polosnya tak henti-henti memandang dengan binar kebahagian. Wajahnya terlihat sangat senang. Namun, sedetik kemudian senyum di wajah anak kecil itu lenyap ketika mendengar suara ibunya berteriak dari dapur.

"Makanan sudah siap!" seru Ibu keras. Ibu mematikan api kompor. Sup yang masih menggelegak bagai lava panas diangkat, kemudian diletakkan di tengah-tengah meja makan. Ibu menyusun beberapa piring dan menyendok nasi di atasnya.

Anak kecil itu turun dari kursi, kemudian melangkah menuju ruang makan. Dia melihat semua orang telah berkumpul dan mengelilingi meja makan. Anak kecil itu tidak segera bergabung, sebab dia merasa ingin pipis dulu. Dia pun buru-buru menuju kamar mandi. Setelah selesai dengan urusannya, anak kecil itu pun kembali ke ruang makan.

Namun, dia justru dibuat kaget. Kedua matanya membesar, tatkala melihat meja makan mereka yang tadinya penuh canda-tawa kini berubah jadi malapetaka. Semua tampak berantakan. Seluruh makanan yang tadinya tertata rapi di atas meja tumpah. Piring-piring dan gelas menggelinding jatuh ke lantai, bercak sup berserak di sana-sini.

Anak kecil itu ketakutan setengah mati, melihat tubuh Ayah dan Ibu tersungkur di kolong meja. Mulut Ayah dan Ibu mengeluarkan darah kental dan berbuih. Dia juga melihat tubuh adiknya menggelepar di lantai bagai seekor ikan yang keluar dari akuarium. Kaki kecil adiknya menendang-nendang udara berusaha lepas dari siksaan yang membelenggu jiwanya. Entah bagaimana darah tiba-tiba sudah membanjiri lantai rumah mereka, persis seperti kubangan lumpur.

"Ayah! Ibu! Adek!"

"La-lari ...," lirih Ibu di tengah-tengah sakaratul mautnya.

Tanpa sadar air mata berderai membasahi pipi anak kecil itu. Ayah. Ibu. Adek. Semuanya yang dia sayang, tiba-tiba terenggut di depan matanya. Mereka meregang nyawa dengan cara yang mengerikan.

"Ian, cepat! Kakak ... akh—" lirih Ibu terbatuk-batuk sebelum akhirnya malaikat maut benar-benar mencabut nyawanya.

Anak kecil itu perlahan mundur. Dia berbalik hendak berlari, tetapi yang terjadi, tubuh kecilnya justru terhempas sewaktu menabrak tubuh tinggi seorang lelaki yang menghalanginya di ambang pintu.

"Aaa ...!"

Jeritan anak kecil itu melengking hebat di tengah hujan yang mengguyur lebat atap rumah. Petir menyambar tak kalah kuat. Di detik berikutnya lampu tiba-tiba padam, bak juru selamat yang ingin melindungi anak kecil itu.

"Di mana kau, bocah sialan!" teriak si lelaki misterius dalam kegelapan. Sial! Dalam sepersekian detik, dia telah kehilangan jejak anak kecil itu.

Seperti orang kerasukan, lelaki misterius itu menendang dan menghancurkan apa saja yang tak terlihat di depan matanya.

Gelap.

Dia tidak bisa melihat dengan jelas. Hanya kilat dan gunturlah yang membantunya melihat dalam kegelapan.

"Jadi, kau ingin bermain petak umpet, ya?"

Lelaki itu menyeringai lalu naik ke lantai dua. Langkahnya kuat menghentak. Tap. Tap. Tap. Dia memeriksa setiap kamar, membuka almari, namun nihil.

"Baik. Aku akan menghitung mundur dari angka lima puluh. Bersiaplah menerima hukumanmu jika kau sampai tertangkap."

Lelaki itu turun kembali ke lantai satu. Kali ini memeriksa ruang tamu dan ruang keluarga. Dia juga memeriksa barisan kolong kursi, tetapi anak kecil itu tidak ada di mana pun.

"Dengar, kalau aku berhasil menangkapmu, kau harus mati menyusul keluargamu!"

Hahaha! Lelaki itu tertawa setan. Tidak peduli pada kilat dan guntur yang saling bersahutan. Tidak peduli pada petir yang menggelegar mengerikan, juga pada langit dan bumi. Bahkan, sekalipun Tuhan akan mendengarnya dari atas sana, dia tetap tidak peduli. Dia telah dibutakan rasa haus membunuh.

Perlahan, namun pasti, dia menghitung keras-keras.

Lima puluh...

Empat puluh sembilan...

Empat puluh delapan...

Empat puluh tujuh...

SIGNAL: 86Where stories live. Discover now