53. Kembali

420 133 6
                                    

Hujan turun teramat deras malam itu, membawa angin serta guruh dan petir merambat hingga ke penjuru kaki langit bersama suaranya yang menggelegar.

Listrik mendadak padam. Kendati sulit baginya memantau sekitar, Samsuri bergegas memasuki mobilnya yang terparkir di bahu jalan, kemudian bersiap di balik roda kemudi.

Menit berikutnya sederet lampu jalan di sepanjang kawasan pemukiman kembali menyala terang. Segera Samsuri menoleh dari balik kaca jendela mobilnya yang tergarisi oleh tetesan air. Didapatinya suara-suara berisik di luar sana berikut Lydia yang sedang berlarian mengejar Agus Sinar sampai ke halaman rumah.

Kedua orang itu saling berteriak di bawah hujan yang semakin lebat. Mempermasalahkan sesuatu yang tak bisa didengar jelas oleh Samsuri tetapi cukup menarik perhatiannya. Dia menunggu lama di dalam mobilnya, hingga adu mulut itu kemudian dimenangkan oleh Agus Sinar, begitu saja dia melepas genggaman Lydia di lengannya, lalu belari meninggalkan wanita itu tanpa lagi bersedia menoleh ke belakang.

Agus Sinar menyusul Samsuri duduk di kursi penumpang. Membersihkan dirinya dari titik-titik air yang menempel di sekujur tubuh, sembari sesekali menengok Lydia yang masih bergeming di tempat, menatapnya dalam dengan penuh harap agar Agus Sinar tidak meninggalkannya.

Samsuri sangat mengenali binar tatapan itu. Sedikitnya dia prihatin, dan tak bisa mengabaikannya begitu saja. Dia membujuk Agus Sinar dengan suara pelan, "Tinggallah. Kurasa lebih baik kau menunggu dirumah. Temani Lydia. Jangan biarkan dia merasa sendiria."

Samsuri berpikir itu adalah pilihan yang terbaik. Hujan di luar turun teramat deras, namun dia dapat mendengar Agus Sinar berdecak enggan.

"Lydia hanya terlalu berlebihan. Aku paham dia cemas. Tapi ...." Agus Sinar menggeleng. Ucapannya terpotong oleh gelegar petir. Saat hatinya telah siap dan merasa lebih tenang, dia kembali melanjutkan, "Apa kau tahu yang dia takutkan? Dirinya sendiri. Dia cemas kalau dirinya akan diincar oleh si pelaku. Itu yang dia pikirkan, Samsuri, bukan Dimas. Dia ... hanya memikirkan dirinya sendiri. Aku tidak habis pikir."

Keheningan terjadi setelahnya. Suasana berubah canggung, Samsuri memutuskan tidak lagi membahasnya. Dia bertanya apakah Agus Sinar siap untuk pergi, namun dia tidak mendapat jawaban apa pun darinya. Ekspresi wajahnya luar biasa cemas. Mereka tidak bisa mengulur waktu lebih lama lagi. Menghidupkan mesin, mobil itu lantas melaju lurus, membelah malam dan jalanan berair. Menempuh perjalanan berkilo-kilo meter, hingga tiba di tepian Waduk Sei Ladi.

Lokasi di sekitar Waduk Sei Ladi berselimut kabut. Samsuri turun demi melihat Ayis dan dua orang anak buahnya sedang berdiri di sisi sebuah sedan. Sementara di tepian waduk, telah menyebar sejumlah peronel kepolisian, mengenakan jas hujan, mencari dengan jeli jejak keberadaan Dimas dan pelaku.

Ayis menyambut kedatangan mereka dengan senyum getir. Dan pada detik itu Samsuri merasakan dadanya berdenyar oleh firasat buruk.

"Jadi, ini mobil pelaku?" Samsuri bertanya. Sedang Agus Sinar menyatroni sisi mobil itu dengan tidak sabaran, dia menjengukan kepala ke dalam ruang mobil, dan mendapati tak ada siapapun di dalam sana. "Di mana Dimas?"

Ayis menggeleng resah. "Saat ditemukan, sedan ini sudah dalam keadaan kosong. Pintunya depannya terbuka. Dan kami menemukan benda ini di kursi penumpang." Ayis menyerahkan plastik kantong barang bukti berisi sebuah tas. Warnanya coklat tua, tidak bercorak, dan terdapat noda darah pada sisi bagian belakangnya.

"Benar ini punya Dimas." Agus Sinar mengonfirmasi. Dia mengenali gantungan kunci yang tersemat di ujung risleting. Itu adalah hadiah pemberian darinya. Seketika Agus Sinar panik dan tidak tahu harus berbuat apa.

Ragu-ragu Ayis berujar, "Kami menduga ... pelaku mungkin saja kabur setelah melempar Dimas ke dalam waduk."

"Itu tidak mungkin!" teriak Agus Sinar berang. Dia menolak percaya. Hatinya mengatakan hal semacam itu tidak mungkin terjadi pada Dimas. "Dia anak yang baik. Kenapa orang gila itu berniat mencelakainya?"

SIGNAL: 86Where stories live. Discover now