42. Peti Mati Tanpa Isi

1.7K 204 26
                                    

Pukul empat pagi, di dalam ruang interogasi khusus, seorang perwira berpangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP) tengah duduk menyilang kaki di balik layar laptopnya. Polisi itu dikenal sebagai Anton Medan walau nama aslinya adalah Wiraji. Sangar seperti preman. Garang seperti mafia. Demikianlah garis-garis wajah membentuk rupanya. Anton mengulum bibir dalam-dalam. Cahaya pancar berasal layar laptop membiaskan sinar ke wajahnya, membuat bintik-bintik hitam di sekitar pipi perwira itu jadi kelihatan jelas.

Di hadapannya, Dahlan duduk dengan kedua tangan terlipat di atas meja. Sungguh lucu. Pemandangan yang acap kali terlihat semasa sekolah, di mana seorang guru memerintahkan kepada anak-anak muridnya supaya duduk dengan tertib apabila mereka ingin cepat-cepat pulang. Anton sempat mendengus melihat tingkah Dahlan.

"Jika Anda ingin cepat pulang, jawab saja pertanyaan yang saya ajukan!" ujarnya memperingatkan, yang hanya ditanggapi Dahlan dengan senyum separuh.

Wajah Dahlan terlihat sangat tenang meski sudah tiga jam lebih dia diperiksa di ruang interogasi. Dahlan mengikuti semua prosedur dengan baik, kendati ada beberapa pertanyaan yang sengaja tidak dijawabnya.

Merasa bosan, lambat laun Dahlan pun menggeser posisi duduknya. Bola matanya berpindah mengamati seisi ruangan. Menengadahkan kepala, dia melihat empat buah kamera CCTV yang diletakkan di tiap sudut atas ruangan. Sebentar kemudian Dahlan menunduk. Lalu entah sebab apa tiba-tiba dia tersenyum pada langit-langit. Seperti sedang mengkhayalkan sesuatu. Seperti sedang mencoba menghibur diri. Seolah lampu di atas kepalanya bisa diajak bicara.

Anton masih setia mempelajari sepak terjang Dahlan lewat dokumen di tangan. Mantan kepala unit identifikasi—yang kini menjabat sebaga kepala Lembaga Penelitian POH perwakilan Kepri—itu tidak memiliki catatan kriminal yang menodai reputasinya. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada pria ini? Batinnya penasaran. Mengapa orang sepertinya bisa terjebak di tempat seperti ini? Kedua hal itu masih abu-abu—belum jelas dan masih harus digali olehnya.

"Apa sebenarnya motivasi Anda pergi ke Dapur 12?!" tanya Anton dengan tegas. "Apa Anda berniat kabur?!"

Anton tidak yakin dengan pertanyaan terakhir yang dia ajukan. Kabur? kabur dari apa kira-kira, pikirnya.

"Kabur?" Dahlan spontan menyemburkan tawa. Sedari tadi sesi tanya-jawab hanya berputar ke situ-situ saja. "Kabur bagaimana maksud kalian? Kalian pasti sudah periksa kan isi mobil saya? Saya tidak bawa tas atau koper di dalam mobil saya. Bagaimana mungkin tuduhan semacam itu kalian lontarkan pada saya?"

"Lalu, untuk apa Anda pergi ke sana, Pak Tua?!" tekan Anton kesal. Dia tidak ingin kalah dari logika-logika yang Dahlan ucapkan selama berkelit.

Dahlan mengunci rapat-rapat mulutnya untuk pertanyaan yang satu itu. Membuat Anton terang saja berang dan langsung menggebrak meja.

"Kenapa Anda menyerang pria bernama Agus Sinar, hah?!" Dia beralih ke pertanyaan selanjutnya.

Di kursinya, Dahlan bersiap membuka mulut, tetapi Anton justru mendahuluinya dengan melontarkan sebuah peringatan bernada tajam, "Jawab langsung ke inti dan tidak usah bertele-tele!"

Walaupun umur Dahlan terpaut jauh lebih tua darinya, Anton terlihat tidak ingin kalah dari ajang adu urat tersebut. Dahlan menaikkan sudut bibirnya. Orang-orang intel memang terkenal dengan watak keras dan ketegasannya.

"Saya menyerangnya dengan tujuan untuk membela diri," jawab Dahlan dengan wajah setenang air. "Pria itu berniat mencelakai saya. Kalau saja saya tidak banting setir, mobil kami mungkin sudah ...." Dahlan memutus kalimatnya di akhir. Lewat kedua tangan, dia memeragakan bagaimana dua moncong mobil dapat saling bertubrukan dengan cepat. Dahlan bergidik ngeri. Bisa-bisa dia mati kalau reka adegan itu sampai terjadi.

SIGNAL: 86Where stories live. Discover now