20. Am I Just Dreaming?

1.9K 316 73
                                    

"Lalu apa yang terjadi setelah itu?" tanya Dimas sembari menatap wajah Nala lekat-lekat.

"Mereka menyeret Eja menuju toilet. Aku ...," Nala menghela napas sebentar. Berulang kali tangannya yang gemetar bergerak mengusap wajah. Ekspresinya yang semula tenang kini lenyap diganti luka. "... tidak bisa menyelamatkannya."

Dimas mungkin tidak tahu betapa menyesalnya Nala saat itu. Kalau saja memang bisa, apapun dan bagaimanapun caranya, dia rela menukar hari itu dengan hari berikutnya ... atau hari-hari lainnya. Berharap agar hari itu tidak pernah ada dan tidak perlu terjadi. Fakta kenapa dia harus bertemu Eja dengan cara seperti itu, rasanya lebih menyakitkan dari apapun. Dia bahkan rela menukar dunia ini jika Tuhan mengizinkan.

Baron, si anak walikota itu, juga teman-temannya memang benar-benar sangat mengerikan. Hal yang dia dengar soal Baron ternyata bukan sekadar omongan belaka. Mereka memang sekumpulan bajingan gila berotak kosong.

Saat itu Nala hendak menyusul mereka ke dalam toilet, tetapi dia dihadang oleh beberapa orang teman Baron yang masih tinggal. Dia terpaksa meladeni. Bersama Arjuna dan Ragil, dia sempat terlibat adu jotos dengan mereka. Nala yang berhasil lolos lebih dulu segera berlari ke dalam toilet. Bagai mimpi buruk, begitu dia tiba di sana, dia mendapati Baron dan teman-temannya mengerumuni tubuh Eja yang sedang mengejang.

"Bangsat!" Nala berteriak keras, kemudian segera menghambur untuk menghajar Baron. Dia mendendang tangan anak walikota itu sekuat mungkin hingga jarum suntik yang Baron pegang terpental jatuh ke lantai. "Kau menyuntikkan sesuatu padanya?!"

Baron membalas dengan tatapan sinis. "Siapa lagi ini? Sepertinya memang banyak orang yang ingin mai—"

Sayangnya, Nala sudah keburu menghadiahi tinju ke perutnya sebelum anak walikota itu selesai bicara. Baron mengerang kesakitan. "Lumayan juga," kekehnya masam. Tangannya langsung menyambar alat pel lantai untuk membalas pukulan Nala barusan. Namun sayang, gagang pel itu sudah patah menjadi dua sebelum sempat dia ayunkan.

Nala mengamuk sejadi-jadinya. Memukul juga menendang apa saja yang terlihat di depannya. Beberapa pintu bilik toilet bahkan rusak akibat emosinya yang tidak terkontrol. Sementara di tempatnya berdiri Baron masih bisa tertawa meski sudah mendapat banyak pukulan. Saat itu Nala menyadari satu hal, bahwa pada akhirnya, emosinya itulah yang justru akan menghancurkan dirinya sendiri. Sebab, sedetik kemudian, dua orang teman Baron berhasil melumpuhkan dan menahan tubuhnya di atas lantai yang dingin.

"Sudah kubilang anak SMP dilarang main terlalu malam, tapi dia tidak mau dengar." Baron mendengus geli lalu mengedik ke arah tiga orang temannya yang lain. Baron mulai merekam dengan ponselnya saat ketiga orang itu berjalan mendekati Eja. Mereka menarik tubuh Eja setengah berdiri, kemudian ....

Nala merasa sangat tidak berdaya. Matanya membulat menatap ngeri, nyaris tidak berkedip hingga dia merasa kedua matanya akan meledak akibat menahan panas. Nala sempat berpikir saat itu, kenapa dia harus begitu peduli pada Eja? Padahal, mereka baru bertemu sekali ini. Dengan segenap sisa kewarasannya, Nala berusaha meronta keras, dengan suara yang lambat laun melirih menahan tangis. Demi apapun, dia memohon, meminta, menyumpah, juga menurunkan harga dirinya di hadapan anak walikota itu.

"Hah! Kumohon .... Tolong hentikan ...! Jangan sentuh dia ...!"

Dengan napas tertahan, Eja berteriak kesakitan. Akibat pengaruh obat, Eja mungkin tidak sadar dan hanya menikmatinya setelahnya. Entahlah. Tiba-tiba Nala merasa seisi toilet seolah berdengung menyayat telinganya. Dia menangis. Sesuatu seakan memenuhi dadanya dan dia sangat ingin membunuh semua orang saat itu. Eja telah direnggut darinya, saat Nala bahkan belum sempat mengenalnya.

________________

"Aku sangat ingin membunuhnya (Baron). Berkali-kali. Kalau dia mati, aku kubuat dia hidup lagi, lalu aku akan membunuhnya lagi, menghidupkannya lagi, dan membunuhnya lagi, sampai dia benar-benar mati di tanganku." Suara Nala terdengar bergetar menahan amarah. Tiba-tiba dia menutup wajahnya. Meletakkan tangannya di dahi, dan mulai menangis sunyi. Serta merta Dimas juga ikut terdiam dan membiarkan Nala tenggelam seorang diri.

SIGNAL: 86Where stories live. Discover now