"Apa? Pembunuhan?"
Letnan Samsuri mengangguk, "Ya," jawabnya mantab.
Pria berusia tiga puluhan itu berdiri di ambang pintu TKP. Tampak olehnya meja makan yang porak-poranda dengan sisa makanan yang sudah menjamur dan kering. Bola matanya kemudian bergulir meneliti ruangan yang tidak terlalu besar itu. Perabot kayu tersusun rapih di tempatnya masing-masing. Ada banyak guci mahal yang menjadi penghias di sudut ruangan. Dinding krem-nya dihiasi beberapa lukisan abstrak dan juga patung dari kepala rusa yang diawetkan.
Tidak ada satu pun foto keluarga yang terpajang, seru Lentan Samsuri dalam hati.
Sejak dia masuk ke ruang tamu sampai ruang keluarga, tidak ada satu pun figura berisi foto keluarga yang dilihatnya. Letnan Samsuri tidak bisa memastikan berapa total jumlah anggota keluarga yang menghuni rumah tersebut. Tetapi di sini, setidaknya dia melihat ada tiga jasad manusia—yang telah memasuki tahap pembusukan—tergeletak dengan tubuh membengkak di atas lantai rumah yang terbuat dari kayu. Adalah jasad sepasang suami istri dan jasad seorang bocah laki-laki—yang diperkirakan masih berusia lima tahun. Di sekitaran kolong meja makan, jejak darah tampak telah mengerak di lantai. Letnan Samsuri memalingkan wajah. Dia merasa tidak sanggup. Selain bau busuk yang menguar cukup menyengat, kondisi ketiga jasad itu juga sangat memprihatikan. Mengenaskan. Bagian mulut jasad-jasad tersebut separuh keroak akibat dimakan belatung. Sungguh, pemandangan yang sangat mengerikan.
"Kamu itu jangan main-main, Dimas!"
"Sungguh, Kapten! Saya tidak berbohong!" tekan Dimas untuk ke sekian kalinya. Dia mengejar Kaptennya, Rahman Depari, sampai di mulut lobi. Wajah Kapten Rahman Depari yang memang sudah keriput seketika semakin berkerut dalam dibuatnya. Dia kesal setengah mati.
"Ini pembunuhan satu keluarga, Kapten!"
"Omong kosong apa itu?!" balasnya keras.
Seketika semua mata langsung menyambar dua sosok pria yang tengah beradu mulut di pintu masuk itu. Teriakan keduanya rupanya menarik perhatian orang-orang yang tengah berjaga di Sentra Pelayanan dan Pengaduan. AKP Rahman Depari dan anak buahnya, IPTU Dimas Armedy Chan, tampaknya sedang bersitegang. Kejadian semacam ini sebenarnya sudah sangat sering terjadi. Mereka memang ibarat dua sisi koin yang saling berlawanan, selalu berbeda pendapat, namun tetap dituntut untuk menjadi pribadi yang professional, saling bahu-membahu demi menumpas kejahatan.
YOU ARE READING
SIGNAL: 86
Mystery / Thriller[Misteri/Thriller] Bercerita tentang petualangan dua orang detektif kepolisian dari masa yang berbeda. Kisah ini bermula saat seorang perwira polisi bernama Dimas Armedy Chan--tanpa sengaja--menemukan sebuah walkie-talkie/HT tua di tempat pemusnah...