55.2 Menelisik Bagian II

374 118 14
                                    

Di pertigaan, ketika lampu rambu-rambu lalu lintas usai menghitung mundur detik-detik yang tersisa, Samsuri tampak lebih banyak termenung. Dia tidak segera menjalankan kendaraan yang dia tumpangi, baru tersentak dari lamunan ketika terdengar suara klakson beruntun dari penjuru kawasan jalan raya Sudirman.

Ada sesuatu yang terus merangkak di pikirannya dan hal itu mengemuka sejak nama Haszni Yusuf muncul secara tiba-tiba dalam benaknya.

Benang merah dan potongan teka-teka itu mengarah pada satu nama. Namun, alih-alih menyelidiki lebih jauh mengenai hal tersebut, Samsuri justru memilih menjalankan mobilnya menuju rumah sakit.

Pergerakannya seolah sudah dikomando. Dia begitu antusias ketika berderap melintasi selasar sembari membawa bingkisan bersamanya. Senyum di wajahnya turut mengembang dan kedua matanya bersinar-sinar penuh harap. Akan tetapi, sesaat begitu ia tiba di depan sebuah kamar rawat inap, Samsuri mendadak ragu dengan apa yang sedang dia lakukan saat ini.

Dia tertegun, menatap tuas pintu di hadapannya dengan perasaan yang luar biasa bergejolak di dada. Hatinya seakan sedang berteriak, menginginkannya untuk segera menyeruak masuk ke dalam sana. Akan tetapi, untuk satu alasan yang tidak dipahaminya, dia merasa belum siap menemui Dimas.

"Apa kau tidak ingin masuk?" suara itu tiba-tiba saja mucul dari balik punggungnya, menggugah Samsuri dari lamunan. Ketika kemudian Samsuri menoleh, dia menemukan sosok Elizar berdiri tidak begitu jauh darinya, sedang memandanginya dengan tatapan bingung.

Pertanyaan itu menggantung. Tidak sepatah kata pun Samsuri ucapkan untuk menjawab rasa penasaran Elizar. Kendati demikian, Elizar sangat mengerti arti di balik riak wajah Samsuri. Elizar tahu bahwa Samsuri sangat ingin memastikan Dimas baik-baik saja. Dan dia sangat ingin menjaganya tetap aman dalam jangkauan.

Ada suatu ikatan di antara keduanya yang takkan pernah bisa dipahami oleh Elizar. Ikatan yang bahkan Samsuri sendiri pun tidak tahu bagaimana menamainya. Ikatan yang begitu kuat hingga tak jarang membuat Elizar cemburu karenanya.

"Ada Eja di dalam sana. Kusuruh dia menemani Dimas sebentar." Perlahan jemari Elizar bergerak menggenggam tuas pintu. Samsuri bersiap kabur dari tempat itu, tetapi Elizar dengan cepat meraih tangannya dan memaksanya untuk berderap ke dalam ruangan.

Di dalam ruang rawat inap yang tak begitu luas itu, Samsuri mendapati Dimas sedang tertidur pulas di atas ranjang. Wajah pucatnya tersorot potongan cahaya matahari yang jatuh melalui kaca jendela. Membuat bekas luka di kulit wajahnya menjadi semakin kentara karenanya. 

Berlama-lama menatap Dimas rupanya membuat perasaan bersalah itu lagi-lagi datang menghampiri Samsuri. Dia merasakannya seolah perasaan itu akan membunuhnya. 

Alur pikirannya kini kembali terjalin pada kepingan tentang hari itu. Ketika dia dan Dimas saling terhubung melalui HT tua untuk terakhir kalinya. Kenangan itu merasukinya tanpa jeda. Ucapan Dimas mengambang, begitu sulit untuk dia tepis. Dan kata-kata itu semakin jelas bergema dalam ruang-ruang kosong di kepalanya, ketika Dimas menginginkan Samsuri menjauh dari bahaya.

Dimas telah banyak mengalami kehilangan. Samsuri berpikir, bagaimana mungkin dia menjadi satu-satunya orang yang lebih mementingkan diri sendiri. Dia tidak seharusnya bersikap egois dan menjadi seseorang yang tidak tahu malu. 

Perasaan bersalah itu telah sepenuhnya menenggelamkan Samsuri dalam penyesalan. Begitu sulit baginya untuk menemukan jalan keluar. Dia seakan terjerat di dalamnya. Namun kemudian, kaitan jemari mungil Eja di telapak tangannya membawa Samsuri kembali pada kenyataan. Dia lantas beralih menatap Eja dan tersenyum samar. Tidak lama setelahnya, Elizar berjalan mendekat dan membimbing Eja keluar dari dalam ruang rawat inap. Kesempatan yang Elizar berikan kepadanya itu, membuat Samsuri lebih leluasa mengekspresikan bagaimana perasaannya saat ini.

"Aku tidak akan melarikan diri." Air matanya jatuh seketika berbisik seorang diri di ruangan itu. "Jika semua hal tidak berjalan sebagaimana mestinya, Dimas mungkin akan menjadi bagian dari keluarga kita ...."

"Bukan kita." Samsuri menggeleng, buru-buru meralat kalimat itu di dalam hatinya. 

"Kita" bukanlah kata yang tepat untuk dia ucapkan. Sebab tidak ada dia di dalamnya. Setelah ini, Samsuri mungkin akan menghilang untuk selamanya. Pertanyaan terburuknya adalah, apakah dia siap menghadapi itu semua, dan apakah dia siap untuk kehilangan segala-galanya.

"Inspektur, bagunlah, katakan apakah dugaanku benar ...."

Hening.

Tidak ada siapa pun yang menjawabnya, selain suara dengkuran halus yang keluar dari celah bibir Dimas.

Samsuri lantas mendekat dan mengambil tempat di bibir ranjang. Dari posisi itu, dia dapat melihat Dimas dua kali lebih jelas. Kedua mata anak lelaki itu tampak bergerak gelisah di balik kelopak mata. Seakan hendak membuka lantaran tidurnya terganggu oleh Samsuri.

Dari balik saku celana, Samsuri kemudian menarik sebuah jurnal berisi catatan penyelidikannya. Jemari tangannya bergerak menyingkap lembar demi lembar halaman sembari bergumam dengan nada suara yang terdengar putus asa.

"Haszni Yusuf ... bagaimana caraku menyelidikinya?"

Dia terus menelusuri halaman buku. Sayangnya, tidak ada petunjuk yang dapat Samsuri temukan di dalam sana. Bahkan, ketika dia sampai pada halaman terakhir, dia hanya mendapati selembar foto di sana. Foto Eja dengan rona wajah cerianya yang selalu berhasil membuat Samsuri jatuh dalam kenyamanan. Dia hendak meninggalkan foto itu di sisi ranjang, bermaksud memberikannya kepada Dimas. Namun, dia urung melakukannya, sebab tidak ingin membuat Dimas merasa terbebani.

Samsuri memandanginya selama beberapa saat. Lalu tiba-tiba saja nama itu muncul dalam pikirannya. 

"Firas,"

Kedua mata Samsuri membeliak. Bunga yang menjadi latar belakang tempat Eja bermain di dalam foto itu, mengingatkannya akan buket bunga yang pernah dia lihat di kamar Firas beberapa waktu lalu. Hal itu membuat semangat Samsuri terpantik dan dia bergegas bangkit berdiri.

"Aku harus menemuinya. Barangkali Firas dapat membantuku menyelidiki tentang Haszni Yusuf."

Samsuri menoleh sebelum berjalan keluar meninggalkan Dimas di kamar itu. Dia telah mencapai selasar di sayap kiri ketika tanpa disadarinya, foto Eja tergelincir sewaktu dia hendak menyelipkannya ke dalam jurnal.

Benda itu melayang di atas lantai dan menguak tulisan di sisi sebaliknya. Tulisan yang Samsuri buat dengan penuh harap dan derai air mata, juga perasaan takut akan dirinya yang takkan bisa kembali untuk Eja.

"Namanya Raiza Arieh. Tolong jaga dia dengan baik ...."

SIGNAL: 86Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum