34. A Thing To Remember

1.2K 234 25
                                    

Agus Sinar sedang mengemudikan mobilnya malam itu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Agus Sinar sedang mengemudikan mobilnya malam itu. Jam saku tak berpenutup yang dia gantung di kaca tengah telah menunjukkan pukul delapan kurang. Dua jam beranjak begitu cepat rupanya. Namun, sedari tadi dia masih berputar-putar tidak menentu, membawa mobilnya melaju ke desa-desa yang tidak dikenalnya.

Sesekali matanya melirik kanan kiri. Gang masuk menuju TKP yang dimaksud oleh rekannya ternyata sulit sekali ditemukan. Sepi. Tidak ada satu orang pun yang lewat. Rumah-rumah papan tertutup rapat. Agus Sinar tidak tahu harus pada siapa menanyakan arah.

Agus Sinar hanya mengemudi lurus.

Ketika dia hampir mencapai sebuah belokan, tiba-tiba saja seseorang melompat ke depan mobilnya. Agus Sinar terkejut bukan main. Buru-buru diinjaknya pedal rem kemudian. Namun, dia tidak bisa mengelakkan posisi mobilnya. Agus Sinar rasa orang itu terjengkang ke tanah akibat membentur moncong mobilnya.

Apakah dia mati, terkanya gusar.

Agus Sinar menimbang-nimbang situasi di sekitarnya. Terbentang lahan kosong tanpa lampu penerangan sejauh mata memandang. Hanya sorot lampu mobilnya yang tampak menerangi jalanan di depan. Keringat meluncur deras dari dahinya. Sedetik kemudian ekspresinya berubah panik, ketika dilihatnya orang itu bangkit berdiri lalu mengentak-entak kap depan mobilnya dengan sangat kuat.

Pria itu berbadan tegap tanpa rambut di kepala. Kedua tangannya merayap sampai ke jendela pengemudi. Lewat gerakan tangan, pria itu memberi perintah pada Agus Sinar agar segera menurunkan kaca jendela mobil.

Agus Sinar mencoba bersikap tenang di kursinya. Dia meraba-raba kompartemen, kemudian mengambil sebuah pisau yang selalu dia simpan di sana. Sesuatu yang buruk bisa saja terjadi. Profesinya sebagai seorang jurnalis sewaktu-waktu bisa membuatnya berada dalam bahaya. Karena itulah Agus Sinar harus selalu bersikap waspada.

Gedoran pada jendela semakin menguat. Agus Sinar menelan ludah gugup. Samar-samar dia mendengar pria itu meneriakkan sesuatu--entah apa.

Begitu kaca mobil bergerak turun, serentetan kalimat dari mulut pria itu pun langsung menyerbu Agus Sinar detik itu juga.

“To-tolong! Ada—seseorang yang butuh bantuan!” Pria itu tersengal hebat hanya untuk menyelesaikan kalimatnya.

Masih sambil menggenggam pisau kuat-kuat, Agus Sinar menatap pria itu dengan pandangan memicing.

“Becak saya mogok di jalan sana, Pak.” Pria itu berkata lagi sembari menunjuk sesuatu di kejauhan. Raut wajahnya tampak kesal, sebab Agus Sinar masih bergeming di tempatnya.

“Saya membawa seorang penumpang. Di-dia sedang hamil—besar. Harus segera dibawa ke rumah sakit, ta-tapi becak saya mogok.”

“Apa?” Agus Sinar ikut panik mendengar penjelasan pria itu. Dia meletakkan kembali pisaunya di kompartemen. “Di mana?” Agus Sinar hendak keluar, tetapi pria itu menyarankan agar Agus Sinar tetap mengendarai mobilnya. Jaraknya cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. Lagipula tidak mungkin mereka menggotong-gotong wanita hamil dalam keadaan genting seperti ini.

SIGNAL: 86Where stories live. Discover now