29. New Habit

4.2K 234 2
                                    

Vote yah:)
<^•^>

Menyesali keputusan dimasa lalu adalah sesuatu yang kini selalu menghantui kehidupan seorang Leonard Avery Bloomberg. Sepertinya Ia terus mengulang kesalahan dan kali ini Ia menderita lebih lagi.

Bodoh!

Setiap pulang kerumah, yang Leonard lakukan hanya berdiam diri dikamar yang merupakan saksi bisu pergolakan terakhir mereka diatas ranjang.

Leonard bahkan mengingat dengan jelas kalimatnya saat itu yang tidak ingin menceraikan Maxima. Anehnya kalimat itu barulah Ia ingat kembali saat penyesalan itu datang. Sekali lagi bodohnya dirinya.

Ia begitu terbebani dengan masalah lain sampai-sampai mengorbankan sesuatu yang harusnya Ia perjuangkan kembali.

Leonard terlalu menganggap remeh soal perceraiannya. Ia menyangka hal itu hanya akan terjadi, sementara Ia menata hidupnya sendiri dan memantaskan diri kembali pada Maxima.

Leonard tidak sadar jika Ia kembali melepaskan hal berharga yang dalam pikirannya sedang Ia perjuangkan.

Naif!

Terkadang muncul keinginan untuk mencari Maxima. Ia ingin menjelaskan, tapi setiap pemikiran itu datang, Ia kembali dihantam kenyataan jika Ia telah melepaskan bahkan dengan sukarela.

Hugo dan Laura bahkan memberinya kesempatan untuk berpikir namun ke naifannya mengalahkan hal yang harusnya Ia pikirkan matang-matang itu.

Umurnya yang sudah kepala tiga itu bahkan tidak ada apa-apanya dibanding pilihan bodoh yang diambilnya itu.

Leonard menunduk di tepi ranjang. Hatinya meraung-raung dengan ekspresi yang sangat kacau.

Masih pantaskah Ia memperjuangkan wanita yang dicintainya saat Ia sendiri dengan segala kesadarannya telah melepaskan wanita itu?

Harusnya Leonard bersyukur, dulu masih diberi kesempatan merengkuh tubuh itu karena statusnya sebagai suami. Ia harusnya bisa menjaga status itu dan kembali memperjuangkan cinta Maxima.

Bahkan sudah begitu jelas jika Maxima berubah. Benar kata ibunya, Maxima berubah. Wanita itu menjadi sedikit lebih hangat, lebih ekspresif, lebih menambah kosa kata dalam kalimatnya dan terlebih, lebih menerima dirinya.

Bukankah harusnya Ia menggunakan kesempatan itu dengan baik?

Tapi apa yang dilakukannya?

Sungguh lemah pikirannya!

"Maxie, aku rindu. Kau dimana sayang? Tolong jangan membenciku yang bodoh ini."

Bulir-bulir air mata kembali menetes dipipi Leonard.

Kamar itu sendiri menjadi saksi sebanyak apa air mata yang telah Ia tumpahkan karena kebodohannya.

"Maaf, aku melepasmu. Aku terlalu terbuai karena kau begitu baik menerimaku saat itu. Aku...aku harusnya hanya fokus padamu. Maafkan aku Maxie... kumohon....kumohon...kembalilah."

Leonard menangis dengan keras ditepi ranjang. Ia tak memperdulikan keadaannya. Masih memakai jas lengkap karena baru pulang kantor. Ia bahkan belum mengisi perutnya.

Mungkin laki-laki itu sedang menghukum dirinya. Entah apa yang akan didapatkannya dari hal tersebut.

Sudah beberapa bulan berlalu dan kini sudah memasuki awal dingin di California, namun tampaknya tak ada yang bisa menandingi dingin dan kesepiannya hati Leonard saat ini.

Tak ada api yang bisa menghangatkannya. Semua terhempas karena kebodohannya.

<^•^>

Let It GoWhere stories live. Discover now