10. Kabar Duka

52 8 9
                                    

         "Wah, karyaku diumumkan di sekolah dan semua orang berbisik-bisik membicarakannya." ~Milenius

-●-


           Pagi yang sangat cerah, semua para siswa berbondong-bondong menuju ke lapangan sekolah baris-berbaris untuk melaksanakan upacara bendera. Hari senin merupakan hari yang paling malas untuk pergi ke sekolah selain karna hari pertama setelah libur, senin juga merupakan awal penyiksaan tugas-tugas yang diikuti oleh hari berikut dan seterusnya.

Tetapi tidak untuk Milen, hari ini ia bersemangat untuk pergi ke sekolah karna tidak sabar untuk mendengarkan kabar gembira yang akan membuat moodnya menjadi semakin lebih baik.

Upacara dimulai dengan sangat khidmat, bendera merah putih itu berkibar tinggi tertiup oleh angin. Tidak berselang lama kabar duka pun disampaikan oleh kepala sekolah dengan wajah yang terlihat bersedih.

"Sekolah sedang berduka ... siswa teladan, cerdas, dan salah satu kebanggaan sekolah sekaligus ketua OSIS kita, Kenjo Julian telah perpulang kerahmatullah pada hari minggu kemarin sekitar jam 10.30. Semoga beliau diterima di sisi Tuhan dan diampuni segala dosa-dosanya. Alfatihah ...."

Tidak berselang lama bisik-bisikan pun mulai terdengar tentang rumor kematian Julian. Mulai dari pembunuhan, bunuh diri, setres dan berbagai gosip aneh lainnya. Tidak ada yang benar-benar menyangka rumor itu tersebar begitu saja tanpa tahu apa kebenarannya.

Teman yang menjadi saksi pun tidak tahu menahu soal pembunuhan itu, walaupun begitu dia tetap diintrogasi sebagai formalitas karna menjadi orang pertama yang menemukam mayat Julian. Semua keburukan-keburukan Julian pun terbongkar, karna temannya angkat bicara saat ditanyai oleh kepolisian mengenai apakah Julian memiliki musuh, akan tetapi kepolisian tetap tidak memiliki cukup bukti khusus untuk mencurigai siapa pun, sehingga kematian Julian menjadi kasus pembunuhan yang tidak terpecahkan.

Di kantin, Milen memakan mienya dengan tenang, tidak berselang lama datang Arvin membawa semangkuk bakso dan duduk di sebelah Milen, pandangannya lurus menatap bakso yang hanya ia aduk-aduk tanpa berniat untuk memakannya.

"Julian ... anak yang malang," gumam Arvin pelan, Milen menoleh dan mengangguk singkat.

"Kita sudah mengenal cukup lama, tetapi aku tidak pernah tahu sikap kamu seperti apa? Ekspresi kamu enggak kebaca, datar tanpa senyuman ataupun tawa, apa di rumah sikap kamu sama seperti di sekolah?" tanya Arvin yang sedikit penasaran dengan sikap Milen, susah untuk didekati.

"Ada masalah apa lo sama gue? Gue enggak pernah nyuruh lo deket-deket sama gue? Yang ada lo ikutin gue, kan?" celetuk Milen membuat Arvin menelan ludahnya sendiri.

"Bukan gitu maksud ak—"

"Apa? Gue tahu kok. Lo deket-deket sama gue cuman karena gue pernah tolongin Bila, kan? Lo cari perlindungan dari gue?" gerutu Milen memotong perkataan Arvin.

"Enggak git—"

"Sekarang apa yang lo takutin? Si tukang bully itu sudah mati, kan? Enggak akan ada lagi yang gangguin kalian berdua! Kalian bisa pergi dari kehidupan gue, gue gak butuh orang kaya lo! Gak guna!" bentak Milen kepada Arvin, lalu pergi begitu saja tanpa mendengarkan pembelaan dari Arvin.

Arvin terdiam cukup lama mencerna setiap kata yang keluar dari bibir Milen, apakah benar ia tidak berguna? Menyusahkan? Milen sudah pergi cukup lama pun Arvin masih terdiam mematung. Arvin adalah seorang pria dan harga dirinya telah diijak-ijak oleh orang yang di anggapnya teman baik, apakah pantas?

"Hey?" sapa Abila sambil menepuk pundak Arvin pelan, Arvin mengerjapkan matanya lalu pergi begitu saja tanpa jawaban, meninggalkan kebingungan pada benak Abila.

"Dia kenapa, Kak?" tanya Qirane penasaran, Arvin tidak seperti biasanya bersikap tidak sopan seperti ini.

"Enggak tahu," jawab Abila sambil mengangkat bahunya, "Lagi dapet kali, makannya kayak gitu."

"Heh, dia cowok bukan cewek, Kak," sentak Qirane membuat Abila terkekeh pelan.

"Tumben kamu pinter, Qi?" gumam Abila membuat Qirane memanyunkan kedua bibirnya.

"Aku masih bisa denger, Kak," cicitnya dengan ekspresi wajah sedih yang di buat-buat.

"Enggak, bercanda, kok. Mending ayo kita makan, bentar lagi masuk, nih," ajak Abila yang diangguki oleh Qirane, mereka berdua pun makan dengan lahap walau pun Abila masih memikirkan sikap Arvin barusan, ia berniat akan menanyakannya nanti.

🌱🌱🌱

       Bel berbunyi dengan sangat nyaring, semua siswa pun bergembira dan berbondong-bondong pergi meninggalkan kelas masing-masing, pulang sekolah merupakan suatu kebahagiaan yang selalu ditunggu bagi para pelajar.

Milen berdiri di depan gerbang sekolah, menunggu adiknya–Kholid yang katanya akan menjemput dirinya. Adik kesayangannya itu tadi siang menelpon dan memberi tahu bahwa dirinya akan menjemput Milen di gerbang sekolah nanti. Sepuluh menit sudah berlalu, tetapi yang ditunggu tidak kunjung datang membuat Milen sedikit khawatir kala ponsel milik Kholid tidak bisa dihubungi.

Arvin yang melihat Milen berdiri sendirian berniat untuk menghampiri dan menawarkan tumpangan, kebetulan tadi Abila bilang kalau dirinya memiliki tugas kelompok sehingga Abila  tidak bisa pulang bareng bersama dirinya.

"Nunggu jemputan? Mau aku anterin?" ajak Arvin pelan sambil menyodorkan helm miliknya.

Milen menolak, "Gue nunggu adik gue, lo duluan aja."

Tidak berselang lama Kholid datang dengan  senyuman khasnya sambil membuka helm.

"Kemana saja, sih, Dek?" tanya Milen sedikit kesal.

"Sorry, Kak. Tadi macet," ucapnya sambil cengengesan lalu menengok ke arah pria di sebelah Milen, "Dia siapa, Kak?"

"Hey, aku Arvin temennya Milen," celetuk Arvin karna ia yakin jika Milen tidak akan mungkin memperkenalkan dirinya sebagai teman. Milen yang mendengarnya langsung menoleh, menatap Arvin tajam.

"Oh ... kirain pacar Kakak," ucap Kholid menggoda kakanya itu.

"Hush. Ayo pulang, katanya mau beli kucing?" sela Milen cepat, sebelum adiknya–Kholid memikirkan hal-hal aneh tentang dirinya dan Arvin.

"Iya, Kakak bawel, ih. Duluan, ya, Kak Vin," pamit Kholid kepada Arvin.

Arvin hanya tersenyum simpul sebagai jawaban. Kholid terlihat begitu berbeda dengan kakaknya–Milen membuatnya sedikit heran dan bertanya-tanya. Kenapa jika di sekolah Milen terlihat begitu dingin dan cuek, tetapi barusan di depan adiknya terlihat begitu hangat dan ramah, tatapannya pun terlihat berbeda saat Milen menatap Adiknya dan orang lain di sekitarnya. Apa sebenarnya yang Milen sembunyikan? Pikir Arvin merasa mulai aneh.

####

Haii, jangan lupa tinggalkan jejak, vote dan komentar, itu tanda jika kalian menghargai penulisnya^^

31/08/21

Milenius [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang