22. Kesedihan

19 2 0
                                    

     "Waktu akan membawa kita pada titik temu yang bertabrakan."
~Milenius

_0_

             Hendra terbangun karna cahaya matahari yang menembus kaca dan mengenai wajahnya, senyuman kecut terbit dari bibirnya, ia merasa semua orang telah menderita karna dirinya, istrinya–Anis bahkan meninggalkannya dan sekarang Wika bersikap acuh tak acuh padanya, kedua purtranya bahkan tertelantarkan karna ulah dirinya terutama pada gadis itu–Milen.

Pintu diketuk, lalu terbukalah sosok perempuan yang ia cintai melewati dirinya begitu saja dan pergi ke kamar mandi tanpa sepatah kata pun. Hendra menghela napas panjang, mana yang harus ia perjuangkan, istrinya atau kekasih barunya.

Hendra masuk ke dalam kamar karna melihat ada sampah berserakan di dalam sana, alangkah kangetnya Hendra saat melihat itu semua, apalagi surat yang ia temuka di dekat lemari, apa ini penyebab Wika menjadi begitu dingin padanya? Menghela napas untuk kesekian kalinya, Hendra tak habis pikir dengan jalan pikiran putrinya itu, ini sudah termasuk tindakan pengancaman dan surat ini bisa saja memenjarakan dirinya.

Wika datang dengan mengenakan handuk, menatap Hendra sekilas lalu mengambil pakaian dan pergi ke kamar ganti.

Tok. Tok. Tok.

"Wika, tolong maafkan anakku, dia hanya anak kecil, tolong jangan di anggap serius," ucap Hendra mencoba untuk membujuk Wika.

Wika membuka pintu, membantingnya dengan keras. "Mas, mending kamu pulang, deh."

"Iya, aku akan pulang tapi maafkan lah putriku, dia akan menjadi anakmu juga, kan? Nanti dia akan bersikap baik padamu ...," rayu Hendra berusaha meluluhkan hati Wika.

Wika yang sudah tidak tahan mengepalkan tangannya, menyeret Hendra untuk segera keluar dari dalam apartemennya.

"Wika, Wika ... apa yang kamu lakukan?" Hendra terus berucap sambil memohon-mohon tetapi tidak digubris oleh Wika.

"Diam! Sudah cukup ... sekarang kamu pergi dan jangan pernah kembali lagi!" usir Wika dengan nada yang pelan dan tenang, terlihat dari wajahnya yang memerah, menahan amarah.

Hendra hanya terdiam dan menatap wajah Wika dengan tatapan kesal apalagi saat Wika membanting pintu dengan keras di hadapannya.

"Dasar anak sialan!" Dengan tergesa-gesa Hendra bergegas pulang ke rumah, berniat untuk memarahi anak yang sudah membuat hubungannya dengan Wika menjadi kacau seperti ini.

🐞🐞🐞


          Milen bersiap untuk berangkat sekolah, semenjak kepergian ibunya ia hanya memakan roti dan susu setiap pagi, sekarang tidak ada lagi makanan-makanan lezat di meja yang menggugah selera.

Brak.

Suara bantingan pintu membuat Milen menoleh, ia melihat Hendra datang dengan wajah merah padam, kedua tangannya bahkan terlihat mengepal kuat samapai urat-uratnya terlihat. Hendra menghampiri Milen dengan napas tidak beraturan, lalu bertanya dengan nada marah, "Apa yang kamu lakukan!"

"Maksud, Bapak?" Milen balik bertanya dan kembali memakan sisa roti di tangannya dengan tenang.

Hendra marah, mengambil gelas yang berisi susu lalu membantingnya ke lantai, Milen pun berdiri menatap Hendra dengan tatapan datar.

"Kamu jangan pura-pura enggak tahu, ya!" tuduh Hendra dengan sura lantang.

"Lalu kenapa?" tanya Milen dengan suara meninggi, tersulut oleh amarah.

"Kenapa? Kamu nanya kenapa?!" decak Hendra kesal.

Plak.

Sebuah tamparan di pipi membuat Milen menggeram kesal, tangannya mengepal kuat dan wajahnya memerah.

"Dasar anak gak tahu diri!" murka Hendra menatap tajam Milen.

"Ya!" kata Milen dengan lantang, "Suami tidak tahu diri!"

"Apa maksudmu, anak kurang ajar!" hardik Hendra membuat Milen tersenyum kecut.

Tanpa memperdulikan ucapan Hendra, Milen bergegas pergi meninggalkan Hendra sendirian dalam amarahnya.

🐞🐞🐞


            Di sekolah rumor tentang cinta segitiga Milen sudah berhembus, anggin berlalu dengan begitu cepat, tergantikan oleh gosip baru setiap bulannya. Wajah Milen menekuk, sorot matanya tajam, ia berjalan dengan tenang melewati kelas pergi menuju taman belakang sekolah, tempat kesukaannya.

Tangannya perlahan memegang pipi, senyuman miring tercetak jelas dari kedua bibir yang mulai bergetar itu, Milen bersumpah akan membunuh wanita sialan itu apapun caranya.

Arvin tiba-tiba datang menyodorkan segelas minuman dingin ke hadapan Milen, Milen sedikit tertegun, dia pikir hubungannya dengan Arvin akan berakhir dengan cepat, nyatanya cowok itu masih saja mengganggu dirinya.

"Ambil," titah Arvin lalu meletakannya di tangan Milen, Arvin duduk di sebelah Milen sambil menatap wajah Milen intens.

"Pipi, lo kenapa?" tanyanya tetapi tak digubris oleh Milen, Milen hanya acuh dan menyeruput minuman yang diberi oleh Arvin barusan.

"Hmm ... gue lihat lo senyum-senyum sendiri, lo kenapa, sih?" Arvin masih berusaha bertanya.

"Senyuman lo aneh, tahu. Lo kerasukan setan, ya? Jawab, dong semua ucapan gue!" Arvin sedikit menggerutu, dengan jahilnya ia mengambil minuman yang sedang Milen minum.

"Ah, apaan, sih?" gerutu Milen saat Arvin mengambilnya dengan paksa.

Arvin hanya cengengesan lalu memberikan kembali minuman itu kepada Milen, tetapi Milen tidak mengambilnya dan berlalu pergi meninggalkan Arvin sendirian.

Arvin bingung, memang seharusnya ia tidak menjahili seseorang seperti Milen, ia tersenyum kecut dan bergumam, "Sikap dia kok aneh, ya? Eh, orangnya memang sudah aneh, tapi kok sekarang makin aneh aja, kira-kira ada apa, ya?"

Arvin menjadi penasaran, tidak seperti biasanya Milen bersikap seperti itu apalagi di pipinya terlihat memerah, seperti sudah di tampar, apa ada masalah di rumahnya, Arvin pun tak tahu.

####


Haii, jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komentar^^


09 Mei 2023

Milenius [END]Where stories live. Discover now