38. Datang ke Rumah

21 2 0
                                    

"Orang yang mengganggu ketenangan hidup orang lain itu namanya penjahat!"
~Milenius


🦋

           Malam ini ponsel milik Milen terus berdering pertanda telepon masuk. Milen mengabaikannya, tetapi sebuah pesan masuk membuatnya berdecak kesal.

Arvin
Kalau kamu enggak jawab telpon aku, aku bakalan dateng ke rumah kamu malam ini.

Deringan telepon langsung Milen angkat, ia sudah muak terus meladeni ocehan Arvin. Ini menyedihkan, ini bukanlah kehidupan yang ia inginkan.

"Ada, apa? Hah!" jawab Milen dengan ketus, tetapi terdengar kekehan singkat dari sebrang sana.

"Aku kangen," ucap Arvin dengan nada manjanya.

"Gue enggak!"

"Aku mau cerita sesuatu," lanjutnya lagi.

"Gue enggak mau dengar!" maki Milen dengan nada menahan amarah.

"Ya, sudah kalau gitu. Aku akan pergi ke rumahmu," ancamnya membuat Milen terkekeh pelan.

"Biar gue saja yang ke rumah, lo."

"Beneran? Mau gue jemput? Gue bisa bilang Mamah," jawab Arvin terdengar riang.

"Gue bisa pergi sendiri, jangan bilang siapa-siapa!" titah Milen lalu menutup sambungan telpon.

Milen segera bersiap-siap dengan mengenakan pakaian serba hitam serta topi dan masker, tangannya mengambil pisau dari dalam laci lalu menyembunyikannya di punggung. Milen sudah lelah hidup dalam ancaman, ia muak dengan semua tinggkah laku Arvin yang selalu mengganggunya, selalu berada di sekitarnya.

Milen mengunci pintu, naik ke balkon lalu turun dengan perlahan. Ia mengendap-endap untuk pergi, memesan taksi online dan pergi menuju rumah Arvin. Sesampainya di kediaman Arvin ia langsung masuk dan mengendap-endap, untunglah pintu gerbang belum dikunci dan tidak ada penjaganya, mungkin sedang ada urusan lain.

Milen memanjat poho, mengetuk pintu jendela Arvin, Arvin yang terkejuta langsung membukakannya.

"Hati-hati!" titah Arvin sambil memegang tangan Milen, membantunya untuk masuk.

"Kamu kenapa enggak masuk lewat pintu? Malah langsung masuk ke kamar lagi," goda Arvin. Wajah Milen memerah, bukan karna tersipu malu, tetapi menahan amarah.

"Lo bisa diem, enggak?! Muak gue terus dengerin ocehan lo!" bentak Milen, membuat Arvin terkekeh.

"Kamu kenapa, sih? Marah-marah saja kebiasaannya," ledek Arvin. Tangannya memegang rambut Milen, tetapi Milen menepisnya dengan cepat.

"Lo lupa kalau gue ini pembunuh? Hah!" bisik Milen, Arvin yang mendengarnya tersenyum samar.

"Sayang, kalau memang kamu pembunuh, kamu pasti sudah membunuh gue dari kemaren-kemaren, kan? Atau ... kamu sudah mulai suka sama aku, kan?" tanya Arvin membuat Milen melotot tajam.

Arvin mengelilingi Milen lalu berdiri di hadapan Milen, ia memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Arvin berucap, "Kalau kamu beneran pembunuh, kamu seharusnya sudah ditanggap, enggak mungkin masih berkeliaran bebas kayak gini!"

Milen mendekat, memegang bahu Arvin lalu tersenyum miring. Ia berucap, "Itu karna kecerdasa gue!"

Jleb ....

Sebuah pisau tiba-tiba menancap di perut Arvin. Arvin merintih kesakitan tangannya bergerak menahan tangan Milen, tetapi Milen menekankan tusukannya membuat darah bercucuran sampai membasahi lantai.

"Akh ...," suara rintihan itu mengenggema di ruang kamarnya, Arvin lalu mendorong Milen dengan sekuat tenaga membuat Milen terjatuh membentur dinding dan topinya terlepas. Arvin yang memegang perutnya dengan susah payah ia berjalan menjauhi Milen.

Milen yang tidak mau incarannya selamat, segera mengikuti Arvin, tangannya masih memegang pisau yang berlumuran darah.

"Sayang ... kamu mau ke mana, hah? Haha ...." Milen mengejek sambil tersenyum, berjalan pelan mengikuti Arvin.

Arvin berjalan dengan perlahan, sesampainya di tangga baru selangkah, Milen sudah berlari mendorong Arvin membuat Arvin terjatuh menggelinding ke bawah dan kepalanya terbentur lantai.

Seseorang yang baru membuka pintu terkejut melihat Arvin yang terjatuh, ia segera melihat ke atas. Di sana ada seorang gadis yang baru dikenalkan kepadanya beberapa hari yang lalu, membawa pisau yang berumuran darah. "Sial," gumam Milen pelan melihat ibunya Arvin yang berada di bawah, mematung melihat kehadirannya.

Milen segera berlari karna ayahnya Arvin berusaha mengejarnya. Milen kembali kek kamar Arvin dan mengunci pintunya lalu turun menggunakan pohon yang sama saat ia naik tadi. Pikirnya ia akan berhasil kabur karna ayahnya Arvin akan lama menggendor pintu atau putar balik menuruni tangga ke luar menuju pintu utama. Ternyataan perkiraannya meleset, saat ia sudah dekat menuju gerbang ke luar tanpa Milen sadari sudah ada dua orang satpam yang menunggunya, mereka bersembunyi di dekat gerbang lalu menagkap Milen dengan mudah.

"Gimana, dia ketangkep?" ucap ayahnya Arvin dari belakang, membuat Milen mendengus. Ternyata orang itu sudah menelpon satpam di depan rumah saat dirinya turun dari atas pohon tadi. "Sial, sial, sial!" runtuk Milen dalam hati.

Tidak berselang lama polisi dan mobil ambulance datang secara bersamaan. Abila, dia mematung melihat kepergian Milen dengan kedua tangannya yang diborgol, ia tidak percaya bahwa yang ia anggap sahabat itu ternyata seorang pembunuh. Setelah kepergian Milen, Abila segera melihat kondisi Arvin yang akan dibawa ke dalam ambulance. Abila langsung menangis sesegukan saat ikut mengantarkan Arvin ke rumah sakit, Arvin terbaring tak sadarkan diri dengan luka di perut dan kepalanya, sungguh mengerikan.

Milen ditahan untuk diperiksa lebih lanjut, keluarganya pun datang dengan perasaan tidak percaya terutama ibunya–Anis. Mana mungkin putrinya mampu melakukan kejahatan yang begitu kejam seperti itu? Anis bahkan sampai pingsan saat mendengar kabarnya, Kholid pun sangat syok sama dengan ayahnya Hendra.

###

Haii, jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komentar^^

18 Mei 2023

Milenius [END]Where stories live. Discover now