18. Seorang Ibu

20 2 0
                                    

"Apa urusanmu? Mengapa mencoba mengusikku? Kamu ingin membuktikan apa dengan kebenaran itu?"
~Milenius

⚘⚘⚘

          Pulang sekolah merupakan kebahagiaan bagi semua para pelajar termasuk Milen, ia melangkahkan kakinya dengan terburu-buru ke luar gerbang, tidak menghiraukan bisik-bisik seseorang di sekitarnya. Ponsel yang terus berbunyi menandakan pesan masuk pun tak Milen hiraukan.

Kholid tidak akan menjemputnya, lantas ia harus bergegas menunggu kendaraan umum di depan gerbang sekolah. Milen tidak ada waktu untuk sekedar meladeni ocehan Kenan ataupun bisik-bisikan orang di sekitar yang masih membicarakannya, yang Milen perlukan saat ini adalah ia harus pulang secepatnya ke rumah.

"Len," ucap seseorang membuat Milen menoleh, Arvin sedang duduk di motor matick kesayangannya menyodorkan helm ke arah Milen.

"Ngapain?"

"Pulang bareng, itukan udah tugas gue," jelas Arvin tegas membuat Milen menggerutu pelan, ia lupa akan kesepakatan itu dengan Arvin.

Milen memakai helm dan duduk di belakang Arvin, tanpa Milen sadari Arvin tersenyum tipis di balik kaca helm yang sengaja di tutupnya.

"Lo ke mana tadi istirahat?" tanya Arvin memulai pembicaraan.

"Makan di kantin."

"Gue cari gak ketemu di kantin, bahkan di kelas lo juga gak ada. Tapi, tadi gue lihat lo habis dari belakang, dari gudang? Ngapain?"

"Bukan urusan, lo!"

"Akhir-akhir ini gue jarang lihat lo, Len. Ke mana saja?" tanya Arvin membuat Milen menghela napas panjang.

"Apa hubungannya sama lo?" jawab Milen sinis.

"Gue cuman nanya, gue lihat lo ke luar dari ruangan guru itu sehari sebelum guru dia meninggal," jelas Arvin yang di jawab helaan napas oleh Milen.

"Bener, kan?" tanya Arvin memastikan.

"Iya, lalu? Lo curiga gue pelakunya?"

"Enggak, bukan begitu," bantah Arvin cepat.

"Turunin gue aja di sini, gue bisa pulang sendiri."

"Gue enggak bermaksud beg—"

"Diam, kalo lo mau anterin gue pulang sampai rumah!" geram Milen membuat Arvin langsung diam. 

Arvin hanya bisa pasrah tidak menjawab pertanyaan atau mungkin sebuah pernyataan yang tidak bisa Arvin bantah, apalagi Arvin tahu kalau Milen memiliki sikap yang nekatan.

Sesampainya di depan rumah Milen langsung pergi ke dalam tanpa mengucapkan satu patah kata pun ataupun berterima kasih, membuat Arvin memukul pelan helm yang dipakainya.

"Ngambekkan," dengusnya pelan.

🦋🦋🦋


          Milen menghempaskan badannya ke atas kasur, ia lelah sekali, bukan hanya badannya tetapi juga batinnya. Belum selesai dengan Kenan, Milen malah menambah masalah dengan Arvin juga kematian guru itu, mengapa Arvin bertanya seperti itu padanya? Milen tidak mempercayai siapapun di dunia ini termasuk keluarganya sendiri kucuali ibu dan adiknya, lantas mengapa Arvin bisa mencurigainya seperti itu? Milen tidak akan melakukan kesalahan, ya, tentu saja.

Mengapa jika berhubungan dengan perasaan bisa serumit ini? Dari awal Milen seharusnya tidak menggubris Kenan dan sekarang ia malah dengan mudah terjebak rencana Arvin sehingga membuatnya harus berurusan dengan dua orang pria sekaligus.  

"Huft, semenjak kenal Arvin kenapa hidup gue gak tenang, sih," gerutu Milen kesal pada dirinya sendiri.

Tok ... tok ... tok ....

"Milen, sayang. Keluar, makan, yuk," ucap Anis pelan lalu kembali pergi setelah mendapatkan jawaban dari Milen.

Milen segera berbegas, mengganti pakaian dan buru-buru ke luar kamar untuk makan bersama dengan keluarga kecil yang selalu tampak harmonis itu.

"Ayah, mana, Bu?" tanya Milen saat sampai di meja makan dan tidak menemukan Hendra.

"Katanya lembur, pekerjaan di kantor lagi banyak," jawab Anis pelan sambil menaruh piring di hadapan Milen.

"Akhir-akhir ini Ayah sibuk banget, ya," celetuk Kholid tiba-tiba.

Milen hanya diam sedangkan Anis terlihat menghela napas panjang. Milen berpikir, mungkin ibunya itu sedang merasa lelah dengan pekerjaan rumah, terlihat dari raut wajahnya yang mulai menua dan kulit putih yang terlihat kusam juga beberapa keriput yang sudah mulai terlihat.

Benar kata orang-orang, jika sudah berumah tangga apalagi sudah memiliki seorang anak tidak akan ada waktu bagi seorang ibu rumah tangga untuk merawat dirinya sendiri termasuk berdandan yang ada hanya repot mengurus anak, rumah dan keluarganya. Betapa banyaknya beban yang dipikul oleh seorang ibu membuat Milen merasa enggan untuk menikah apalagi mempunyai seorang anak.

"Yasudah, yuk makan nanti keburu dingin masakannya," ajak Anis lembut membuyarkan lamunan Milen.

Milen duduk di kursi depan tv menonton acara kesukaannya, kartun.

"Udah gede masih nonton kartun!" ejek Kholid dan mengubah chanelnya ke siaran lain, lalu duduk di samping Milen.

Tidak mau kalah, Milen kembali membalas ejekan dari Kholid, "Udah gede nonton orang bego!"

"Maksudnya?" tanya Kholid menatap Milen tidak mengerti.

"Udah tahu suaminya selingkuh berkali-kali masih aja di maafin, bego gak, tuh?" tanya Milen sinis melihat adegan sepasang suami–istri yang sedang bertengkar.

"Namanya juga cinta, Kak," jawab Kholid tersenyum mengejek.

"Cinta boleh, bego jangan! Kalo Kakak di selingkuhin, nih. Udah, Kakak tinggalin aja tuh cowok, kalo perlu bunuh aja sekalian biar enggak nyakitin orang lain!" cibir Milen membuat Kholid memutar matanya malas. "Pacar saja enggak punya, gimana mau di selingkuhin," batin Kholid.

"Sebenci itu sama perselingkuhan?"

"Kamu tahu, Dek? Selingkuh itu bukan cuman menghianati dan menyakiti satu orang saja tetapi juga banyak pihak. Selingkuh menjadikanmu seorang yang pembohong, berbohong untuk menutupi kesalahannya, membuatmu serakah dengan menginginkan keduanya, kalau sudah sekali selingkuh dan dimaafkan dengan mudahnya dia akan membuat kesalahan itu lagi, kenapa? Karna di pikiran dia, yang ini saja di maafkan nanti juga pasti akan dimaafkan," jelas Milen panjang lebar.

"Kakak tahu dari mana?" tanya Kholid bingung dengan perkataan kakaknya yang sangat membenci prselingkuhan.

"Lah, bukannya kamu yang nonton, Dek?"

"Ouh, filmnya, Kak? Kakak nonton juga?" tanya Kholid sedikit tersenyum memincingkan sedikit matanya ke arah Milen.

"Kamu yang nonton, ya, Kakak ikutan nonton juga, Dek. Aneh kamu ini," dengus Milen pelan.

"Eh, iya ya, Kak, hehe," jawab Kholid cengengesan.

"Kamu ini nonton apa enggak, sih, Dek? Sini mana remotnya?"

"Enggak mau ... aku itu nonton tahu, Kak. Cuman saking menghayatinya aku gak mengerti maksud Kakak tadi, hehe ...," imbuh Kholid diakhiri cengengesan.

"Sini, Dek," pinta Milen sambil berusaha mengambil remot dari tangan Kholid. Kholid yang tak mau kalah berusaha menjauhkan remot dari sang kakak agar tidak bisa diraihnya.

Dari kejauhan, Anis melihat kejadian itu dengan senyuman bahagian, anak-anak yang dahulu masih ia gendong sekarang sudah besar dan tidak lama lagi ia akan segera menikahkan keduanya lalu mengurus cucu-cucunya kelak dihari tua, membayangkannya saja sudah membuatnya senang dan tersenyum bahagia.

####

Haii, jangan lupa tinggalkan jejak, vote dan komentar kritikan dan saran diperbolehkan asal yang sopan, ya.

29 September 2022

Milenius [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang